DIALEKTIKA NASIKH – MANSUKH DALAM STUDI AL-QUR’AN


Oleh:
Agus Miswanto, MA

PRAWACANA
Adalah satu bahasan dalam studi al-qur’an yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan adalah fenomena naskh. Fenomena naskh yang diakui oleh para ulama merupakan bukti adanya dialektika hubungan antara wahyu dan realitas.
Sebab, naskh merupakan upaya membatalkan dan tidak memberlakukan hukum, baik pembatalan tersebut berkaitan dengan penghapusan hukum dan melepaskanya dari pembacaan maupun membiarkan teks tersebut tetap ada sebagai petunjuk akan adanya hukum yang di-mansukh. Akan tetapi fenomena naskh dalam pemikiran keagamaan yang hegemonicdan mapan memunculkan banyak persoalan yang memiliki kompleksitas yang luas dan tinggi, baik dalam teologi maupun fiqh (yurisprudensi) islam. Bahkan dalam kajian keislaman, fenomena naskh tidak hanya terdapat pada ayat-ayat yang ada dalam al-qur’an, juga merambah pada teks hadis.[1]

Berkaitan dengan persoalan naskh ini, para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda, baik dari segi keberadaan naskh, pengertian atau konsep naskh, ruang lingkup naskh, fungsi naskh, pola-pola naskh, maupuin implikasi adanya naskh. Begitu banyaknya persoalan yang muncul di sekitar naskh, maka penulis di sini hanya akan membatasi pembahasanya pada pengertian atau konsep naskh yang ada dalam al-Qur’an menurut berbagai ulama.

KONSEP NASKH

Para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian naskh. Berikut ini penulis akan mencoba mengeksplorasi beberapa pengertian naskh menurut berbagai perspektif; naskh dalam perspektif ulama mutaqaddimin, muta’akhirin, modernis dan neo-modernis.

1.Naskh Dalam Perspektif Ulama Mutaqaddimin

Para ulama Mutaqaddimin (abad I hingga III H.) mengertikan kata naskh dengan begitu luas. Dr. M. Quraish Shihab, dengan mengutip pendapat Asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, menjelaskan pengertian naskh dalam pandangan ulama Mutaqaddimin. Menurut ulama Mutaqaddimin, pengertian naskh mencakup : (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian ; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang dating kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; dan (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[2] Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebagian ulama Mutaqaddimin juga menganggap bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti perintah untuk bersabar atau Manahan diri pada periode makkah disaat kaum Muslimin lemah, dianggap telah di-naskh oleh ayat yang memperbolehkan berperang pada periode Madinah. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian Naskh.[3] Jadi, naskh dalam perspektif ulama Mutaqaddimin mencakup pengertian takhsish, taqyid, istitsna, dan bara’atul ashliah. Begitu luasnya pengertian naskh menurut ulama Mutaqaddimin pada akhirnya berimplikasi pada banyaknya ayat-ayat dalam Al-quran yang mengalami naskh.[4]

2.Naskh dalam Perspektif Ulama Muta’akhirin
Berbeda dengan ulama Mutaqaddimin yang mengartikan naskh dengan begitu luas, mencakup takhsish, taqyid, istitsna, dan baraa’atul ashliah, ulama mutaakhirin memiliki pengertian yang lebih perspektif. Dalam pandangan mereka, naskh berarti mengganti atau mencabut hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian(raf’u al-hukm asy-syar’i dalillin syar’iyyin muta’akhirin),[5] diantara yang berpendapat seperti itu adalah imam asy-Syafi’i” dan Imam Ibnu Hazm.[6]

Berkaitan dengan pembatasan pengertian naskh menurut ulama Mutaqaddimin tersebut, paling tidak ada tiga hal yang perlu kita perhatikan dan garis bawahi, yaitu: pertama, kata “raf’u” (penghapusan) , kedua, “al-hukm asy-syar’i” (hukum syara’), dan ketiga, “bi dalilin syar’iyyin muta’akhirin” (dengan menggunakan dalil syara’ yang dating kemudian). Kata “raf’u”(penghapusan) bisa mengeluarkan ayat yang tidak dihapus, misalnya ayat yang tidak men-takhsis, karena ayat takhsis pada dasarnya tidak menghapuskan suatu hukum, tetapi hanya membatasi suatu ayat atas atuan-satuannya. Selanjutnya, kata “al-hukm asy-syar’iy” mengandung pengertian bahwa selain hukum syara’ tidak mungkin terjadi naskh. Sedangkan kata “bi dalilin syar’iyyin muta’akhirin “ dengan jelas menunjukkan bahwa hukum syara’ yang datang lebih dulu baru bisa di-naskh dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Ini berarti bahwa ayat yang di-naskh harus datang (turun) lebih dahulu daripada ayat yang me-naskh. Sebagai contoh tentang adanya naskh adalah mengenai dihapuskannya kewajiban bagi seorang muslim dalam shalat untuk menghadap Baitul Maqdis dan diganti dengan kewajiban menghadap Masjidil Haram.

Selain asy-syafi’i, Ibn Hazm dan jumhur ulama yang mengakui adanya naskh dan telah memberikan devinisi tentangnya, terdapat ulama dari golongan mutaakhirin yang justru menolak tentang adanya naskh dalam Al-Quran, dia adalah Abu Muslim al-Isfahani dan Sayyid al-Khu’i. Dalam pandangan Abu Muslim al-Isfahani, tidak ada nasikh-mansukh dalam Al-Quran. Untuk menguatkan pendapatnya dia berhujjah dengan Q.S. 41;42 “Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya”. Ayat ini menurut Abu Muslim al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran . Selain itu, menurut kelompok yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran, mereka juga berpendapat bahwa pembatalan hukum dari Allah akan mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya; yaitu (a) ketidaktahuan Tuhan, sehingga ia perlu mengganti atau membatalkan hukum dengan hukum yang lain, dan (b) kesia-sian dan permainan belaka.

Tetapi pendapat Abu Muslim tersebut di-counter oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa argumen yang dikemukakan oleh Abu Muslim berkaitan dengan ayat tersebut sangat tidak tepat, karena ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi berbicara tentang kebatilan, yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum tuhan yang dibatalkan bukan berarti batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaanya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkanitu sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan yang membatalkan keduanya hak dan benar, bukan batil.

Selain itu jumhur ulama, untuk menguatkan pendapatnya, juga berargumen dengan Q.S. 2: 106, “Kami tidak me-naskh-kan ayat atau kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah mahakuasa atas segala sesuatu”. Dengan argumen yang dikemukakan oleh para pendukung naskh ini, menurut Quraish Shihab, maka tertolaklah pendapat para ulama yang tidak mengakui adanya naskh dalam al-Qur’an.[7] Meskipun demikian, Quraish Shihab memandang perlu adanya rekonsiliasi antara kedua kelompok tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh ulama muta’akhirin, sebagaimana usaha mereka dalam meninjau istilah yang digunakan oleh ulama mutaqaddimin. Dalam hal ini ia merekomendasikan kepada kita untuk menjadikan pemikiran Muhammad abduh dalam penfsiranya tentang ayat-ayat al-qur’an sebagai titik tolak.

3.Naskh Dalam Perspektif Modernis

Di antara ulama modernis yang melakukan kajian terhadap nasikh-mansukh adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Muhammad Abduh – meskipun tidak mendukung pengertian kata “ayat” dalam Q.S al-Baqarah ayat 106 sebagai ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan “sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya mengisyaratkan bahwa “ayat” pada surat tersebut adalah mukjizat – ia tetap berpendapat bahwa dicantumkanya “ilmu Tuhan”, “diturunkan”, dan “tuduhan kebohongan” adalah isyarat yang menunjukan bahwa kata “ayat” dalam Q.S. an-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an.[8]

Apa yang dinyatakan Muhammad Abduh di atas lebih dikuatkan lagi oleh adanya kata “Ruh al-Quds” yakni Jibril yang mengantarkan turunya al-Qur’an. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang ta’awudz (a’udzubillah) apabila membaca al-Qur’an serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat al-Qur’an), kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa yang membawanya “turun” serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (al-Qur’an).

Dari uraian tersebut memang terlihat bahwa Muhammad Abduh menolak adanya naskh dalam al-Qur’an dalam arti pembatalan tetapi ia menyetujui bahwa dalam al-Qur’an terdapat (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).

Dengan demikian, kita cenderung memahami pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain”. Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.[9]

4.Naskh Dalam Perspektif Neo-Modernis

Mahmoud Muhammad Taha, atau sering juga dipanggil dengan ustadz Mahmoud, seorang pemikir Sudan, menawarkan sebuah konsep naskh yang berbeda dengan konsep naskh yang selama ini kita pahami. Dalam pandangan Mahmoud Muhammad Taha, sebenarnya syariah islam memliki dua pesan, yaitu pesan pertama (the first Massage of Islam) dan pesan kedua (the Second Massage of Islam). Pesan kedua Islam ini menurutnya, merupakan ayat-ayat makiyah, namun berbeda sama sekali dengan angan-angan sosial kita selama ini bahwa makiyah-madaniyah hanya sebagai pemilahan tempat atau waktu pewahyuan. Ustadz Mahmoud menyatakan bahwa ayat-ayat dalam Al-Quran harus dimaknai sebagai teks-teks yang berhadapan dengan audience, atau dalam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid, merupakan dialektika hubungan antar wahyu dan ralitas, yaitu realitas masyarakat abad VII Masehi lampau. Pesan Makkah atau ayat-ayat Makiyyah merupakan pesan Islam atau ayat-ayat yang abadi dan Fundamental, yang menekankan martabat yang inhern pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain. Dalam arti bahwa manusia pertama kali diseru untuk masuk Islam paripurna melaui ayat-ayat Makiyyah (pesan kedua). Pesan itu ditandai dengan persamaan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih, beragama, dan berkeyakinan. Baiak substansi pesan Islam periode Makkah maupun perilaku pengembangnnya selama periode makkah, semuanya didasarkan pada ‘ismah, yaitu kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau bayangan kekerasan atau paksaan apa pun.[10]

Namun, ketika tingkat tertinggi dari pesan itu dengan keras dan dengan tidak masuk akal ditolak dan secara praktis ditunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat abad VII Masehi belum siap untuk melaksanakannya, maka pesan yang lebih realistis pada masa Madinah (The First Message of Islam) diberikan dan dilaksanakan. Dengan jalan ini aspek-aspek pesan peride Makkah yang belum siap untuk diterapkan dalam praktik pada konteks sejarah abad VII Masehi, ditunda dan diganti dengan prinsip-prinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan diterapkan pada masa Madinah. Tetapi, dalam pandangan Ustadz Mahmoud Muhammad Taha aspek-aspek pesan Makkah yang ditunda pelaksanaannya itu tidak akan pernah hilangsebagai sebuah sumber hukum. Ia hanya ditangguhkan pelaksanaannya dalam kondisi yang tepat dimasa depan.[11]

Dalam rangka menggali kembali pesan kedua yang tertangguhkan itu, Ustadz Mahmoud Muhammad Taha memunculkan konsep evolusi Syari’ah yang berupa nasikh-mansukh (naskh). Naskh (pergantian atau penangguhan) dalam perspektif Mahmoud Muhammad Taha adalah dalam pengertian pergantian atau penangguhan waktu. Yaitu penangguhan diberlakukannya ayat-ayat Makiyyah sampai datangnya saat yang tepat untuk memberlakukannya, yang dalam pandangan ustadz Mahmoud, abad XX ini adalah saat yang tepat untuk memberlakukan ayat-ayat Makiyyah, dan menggeser keberlakuan ayat-ayat Madaniyyah yang diskriminatif. Pemikiran revolusioner ustadz Mahmoud adalah ide bahwa proses penangguhan (naskh) dalam faktanya merupakan suatu penundaan tetapi bukan dalam artian yang final dan konklusif. Ketika premis dasar ini diakui, keseluruhan era baru yurisprudensi Islam dapat dimulai, suatu era yang diikuti dengan perkembangan – perkembangan kebebasan dan kesetaraan penuh bagi ummat manusia tanpa adanya diskriminasi atas jenis kelamin dan agama atau keyakinan. Sebagaimana yang tampak dewasa ini hukum syari’ah Islam histories telah melakukan diskriminasi atas dasar jenis kelamin dan agama.[12]

PURNAWACANA

Setelah mengeksplorasi berbagai konsep naskh., pemalakah melihat adanya pergeseran pemikiran para ulama dalam memahami nasakh. Menurut pemakalah, pemahaman para ulama Mutaqaddimin dan Mutaakhirin lebuh banyak didasarkan pada bagaimana mereka melihat adanya pertentangan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dengan kurang – untuk mengatakan tidak – mempertimbangkan realitas masyarakat yang ada saat itu. Tetapi konsep Nasakh-nya ustadz Mahmoud lebih didasarkan pada pertimbangan adanya ayat-ayat Madaniyyah yang diskriminatif, yang sekarang ini sudah bukan saatnya memberlakukan ayat-ayat yang diskriminatif tersebut untuk kemudian digantikan (di-nasakh) dengan ayat-ayat yang universal-demokratis.

Dalam pandangan pemakalah, dengan melihat realitas kehidupan seperti sekarang ini maka konsep naskh yang digagas oleh Ustadz Mahmoud Muhammad Taha adalah yang paling tepat dan rasional. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa konsep nasakh yang telah digagas oleh Ulama Mutaqaddimin, Mutaakhirin dan Modernis adalah sesuatu yang salah dan tidak berguna. Karena bagaimanapun pemikiran seseorang adalah hasil dari persentuhannya dengan realitas yang ada disekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah; wacana Kebebasan Sipil, Hak asazi Manusia dan Hubungan international dalam Islam, alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Ranny, Cet. 3, (Yogyakarta; LkiS, 2001.

M. Abu Zahroh, Ushul Fiqh , alih bahasa Saifullah Ma’sum dkk, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Firadaus, 1994.

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (bandung: Mizan, 1994

Mahmoud Muhamed Taha, Syariah Demokratik (The Second Massage of Islam), alih bahasa Nur Rahman, Cet. 1 (Surabaya; eLSAD, 1996

May Rahmawatie dan Yudie R. hartono, al-Qur’an Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan, cet. 1, (bekasi: Gugus Press, 2000

Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulum al-Qur’an

Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Naskh, alih bahasa Khoiron Nahdiyyin, Tekstualitas al-qur’an: kritik terhadap Ulumu al-Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2001.

Subhi as-Salih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, cet. IX, (ttp, Dar al-ilmi Li al-Malayin, tth.

End Notes
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Lihat pembagian naskh menurut Muhammad Abdul Azhim az-zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan fi Ulum al-Qur’an, dalam May Rahmawatie dan Yudie R. hartono, al-Qur’an Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan, cet. 1, (bekasi: Gugus Press, 2000), hal. 345 – 346. lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Naskh, alih bahasa Khoiron Nahdiyyin, Tekstualitas al-qur’an: kritik terhadap Ulumu al-Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2001), hal. 153.

[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (bandung: Mizan, 1994), hal. 144

[3] M. Quraish Shihab, Membumikan, hal. 144. sebagai contoh tentang tradisi pra Islam yang kemudian dihapus oleh Syariat Islam, yang juga dianggap sebagai bagian dari pengertian naskh adalah diperbolehkanyaa eorang laki-laki untuk menikah dengan perempuan yang tanpa batas, tetapi setelah datangnya Islam, tradisi tersebut dihapus, dan seorang lali-laki hanya diperbolehkan menikah maksimal dengan empat orang perempuan.

[4] Dalam pandangan an-nahas ayat dalam al-Qur’an yang mengalami naskh ada 100 ayat, sedangkan menurut as-Suyuthi hanya 22 ayat. Lihat May Rahmawatie dan Yudie R. hartono, al-Qur’an buku yang Menyesatkan, hal. 341. Sedangkan beberapa contoh tentang ayat – ayat dalam al-Qur’an yang dianggap telah mengalami naskh adalah; ayat tentang wajibnya berwasiat kepada ahli waris bagi seseorangyang sudah ada tanda-tanda kematian (al-baqarah: 80), ayat tersebut di naskh oleh ayat mawarist(al-Baqarah; 182), dan ayat tentang larangan minuman keras (khamr). Lihat M. Abu Zahroh, Ushul Fiqh , alih bahasa Saifullah Ma’sum dkk, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Firadaus, 1994), hal. 287, 291 – 292.

[5] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hal. 144. Lihat juga Subhi as-Salih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, cet. IX, (ttp, Dar al-ilmi Li al-Malayin, tth), hal. 261.

[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal. 283 – 284.

[7] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hal. 145 - 146

[8] Ibid, hal 147

[9] Ibid, hal 147 – 148. lihat juga may Rahmawatie dan Yudie R hartono, Al-Qur’an Kitab yang .., hal 355

[10] Abdullah ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah; wacana Kebebasan Sipil, Hak asazi Manusia dan Hubungan international dalam Islam, alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-ranny, Cet. 3, (Yogyakarta; LkiS, 2001), hal. 103.

[11] Ibid, hal. 103 – 104.

[12] Mahmoud Muhamed Taha, Syariah Demokratik (The Second Massage of Islam), alih bahasa Nur Rahman, Cet. 1 (Surabaya; eLSAD, 1996), hal. 55 – 56.

--------------------------------------------------------------------------------

No comments: