Kenabian dan kerasulan


Oleh:
Agus Miswanto, MA

B. PENGETAHUAN TENTANG NABI DAN RASUL

1. Pengertian Nabi Dan Rasul

Secara etimologis kata nabi berasal dari kata na-ba artinya ditinggikan, atau dari kata na-ba-a artinya berita. Dengan demikian seorang nabi adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh allah swt dengan memberikanya berita (wahyu). Sementara rasul berasal dari kata ar-sa-la artinya mengutus. Setelah dibentuk menjadi rasul berarti yang diutus. Dengan demikian seorang rasul adalah seseorang yang diutus oleh allah swt untuk menyampaikan misi, pesan (ar-risalah)

Secara terminologis nabi dan rasul adalah manusia biasa, laki-laki, yang dipilih oleh allah swt untuk menerima wahyu. Apabila tidak diiringi dengan kewajiban menyampaikannya atau membawa satu misi tertentu, maka ia disebut nabi saja. Namun bila diikuti dengan kewajiban menyampaikan atau membawa misi (ar-risalah) tertentu maka dia disebut (juga) dengan rasul. Jadi setiap rasul adalah nabi, tetapi tidak setiap nabi menjadi rasul.

2. Kebutuhan Manusian Kepada Rasul

Iman kepada rasul menempati urutan keempat rukun iman, sebagai bagian dari ma’rifatul wasithah (perantara) di antara Allah dan manusia. Pada hakekatnya, manusia diciptakan Allah dalam keadaan dhaif (lemah). Kelemahan manusia membuatnya membutuhkan orang yang dapat memberikan bimbingan ke arah yang benar. Sepanjang sejarah manusia, Tuhan selalu mengutus para rasul untuk memimpin dan membimbing manusia ke jalan yang benar, karena itu, setiap umat diutus kepada mereka seorang rasul yang berfungsi memberikan peringatan (QS father(35): 24). Muhammad Abduh memberikan ilustrasi kedudukan nabi bagaikan kedudukan akal bagi setiap manusia.

Sejalan dengan penjelasan di atas, dalam Islam, iman kepada rasul-rasul Allah adalah suatu kewajiban yang tidak dapat dipisahkan dari seorang muslim. Oleh karenanya, taat kepada rasul ditempatkan pada peringkat kedua setelah taat kepada Allah. Hal ini memberi arti bahwa iman atau taat kepada rasul sama dengan iman dan taat kepada Allah (QS an-Nisa (4): 80).

Manusia dengan segala perangkat dan sifat kelemahan yang dimilkinya tidak mampu memahami tuntutan dari ayat-ayat Allah tanpa ada bimbingan dari para rasul, sebab manusia tidak mampu langsung berhubungan dengan Allah tanpa ada sifat-sifat kekhususan yang dimilikinya. Ketidakmampuan tersebut membutuhkan orang-orang yang mampu menjembatani antara Allah dan manusia, untuk menerjemahkan segala perintah dan larangan Allah yang harus ditaati atau ditinggalkan. Oleh sebab itu, rasul dapat dikatakan sebagai duta-duta allah untuk menyampaikan dan menerangkan ayat-ayat Allah kepada manusia. Rasul adalah yang mewakili kekuasaan tertinggi di bidang perundang-undangan dalam kehidupan manusia.

Keterbatasan manusia menyebabkanya tidak mampu mengetahui hakekat ajaran Tuhan yang sebenarnya, tanpa ada seorang manusia pilihan (nabi atau rasul) yang mampu memberikan penjelasan dan penafsiran tentang wahyu Allah, sebagai kebenaran yang langsung disampaikan Tuhan kepada salah seorang dari hamba-Nya. Dengan perkataan lain, wahyu terjadi karena adanya komunikasi antara Tuhan dan manusia. Sedangkan komunikasi tersebut bisa terjadi bila manusia memiliki sifat istimewa, dan sifat tersebut hanya dimilki oleh rasul-rasul.

3. Syarat Dan Karakter Seorang Nabi/Rasul

Kenabian bukanlah suatu tujuan yang dapat diraih dengan cara tertentu, sehingga bisa dicapai oleh orang yang bersungguh-sungguh, juga bukanlah pangkat yang dapat ditempuh melalui perjuangan. Tetapi ia adalah kedudukan yang tinggi dan pangkat istimewa yang diberikan Allah karena karunia-Nya kepada siapa saja dari makhluk-Nya yang Dia kehendaki. Maka Dia mempersiapkannya agar mampu memikulnya. Dia menjaganya dari pengaruh setan dan memiliharanya dari kemusyrikan karena rahmat dan kasih sayang-Nya semata, tanpa ada upaya yang ia kerahkan untuk mendapatkan dan untuk mencapai derajat kenabian itu.

أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا`

“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni`mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS Maryam: 58)

Stastus sebagai nabi dan rasul tidak bisa diusahakan oleh siapapun. Kenabian diberikan oleh Allah kepada manusia yang menjadi pilihannya. Sebelum mengangkat sesorang menjadi utusan dan pembawa berita ketuhanan, Allah telah mempersiapkanya dan memberikan karakter-karakter unik dan sifat-sifat mulia yang tidak sembarangan orang menyandangnya. Keunikan tersebutlah yang membedakanya dengan manusia-manusia lainya. Untuk memberikan penanda, bahwa Allah akan mengutus nabi atau rasul tentu harus melihat informasi yang diberikan kitab-kitab suci sebelumnya. Disamping hal tersebut, paling tidak ada dua penanda yang bersifat universal yang bisa dijadikan rujukan akan datangnya utusan Allah AWT, yaitu:

1) Syarat yang bersifat Subyektif (Kondisi Internal)

Sebagaimana manusia biasa lainya nabi dan rasul pun hidup seperti kebanyakan manusia yaitu makan, minum, tidur, berjalan-jalan, kawin, punya anak, merasa senang, susah, sakit, sehat, lemah, kuat dan sifat-sifat manusiawi lainya. Penegasan ini dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an sebagi berikut:

Karakter ini ditegaskan dalam kitab suci, untuk mengingatkan kepada manusia bahwa para nabi dan rasul itu adalah manusia pada umumnya yang membedakan mereka adalah tugas kewahyukan yang diberikan tuhan kepada mereka (QS Al-Kahfi(18): 110). Dalam konteks ayat di atas Allah swt sebenarnya mengingatkan kepada manusia, bahwa mereka, para nabi dan rasul itu adalah manusia maka jangan sekali-kali menjadikan mereka sebagai Tuhan atau sesembahan manusia, mereka itu hanya sekedar utusan yang diutus oleh Allah kepada umat manusia.

Walaupun demikian, seorang calon utusan itu harus memiliki keistimewaan-keistimewaan dibandingkan dengan manusia lainnya, karena dia sendiri yang memang dipersiapkan oleh Allah sebagai subyek teladan. Oleh karena itu seorang harus memenuhi paling tidak tiga prasyarat pribadi yang istimewa, yaitu:

a. Al-Mitsaliyah (keteladanan) artinya sesorang yang akan diangkat menjadi nabi haruslah memiliki kemanusiaan yang sempurna; baik fisik, akal fikiran, maupun rohani.

b. Syaraf an-nasab (keturunan yang mulia) artinya sesorang yang akan diangkat menjadi nabi haruslah berasal dari keturunan yang mulia; terjauh dari segala bentuk kerendahan budi dan hal-hal lain yang menjatuhkan martabat dan nilai-nilai kemanusianya.

c. Memiliki sifat-sifat yang terpuji yang menjadi bagian dari pesona pribadinya, seperti:

a) As-Sidqu ( Jujur Dan Benar)
Artinya selalu berkata benar dan jujur, tidak pernah berdusta dalam keadaan bagaimanapun. Apa pun yang dikatakan oleh seorang rasul – baik berupa berita, janji, ramalan masa depan dan lain-lain – selalu mengandung kebenaran. Mustahil seorang rasul mempunyai sifat kazib atau pendusta, karena hal tersebut menyebabkan tidak adanya orang yang akan membenarkan risalahnya. Sedangkan orang biasa saja yang mempunyai sifat pendusta, tidak akan dipercaya orang, apalagi rasul. Sifat sidik ini banyak disebtkan dalam al-Qur’an, yaitu:

قَالُوا يَاوَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ`
"Mereka berkata: "Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?" Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya).” (QS Yasin: 52)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا`

“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (QS Maryam: 41)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا`

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS Maryam: 56)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا`

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (QS Maryam: 56)

وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ`

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS az-Zumar: 33)

b) Al-Amanah (Dipercaya)
Artinya seorang rasul selalu menjaga dan menunaikan amanah yang dipikulkan ke pundaknya. Perbuatanya akan selalu sama dengan perkataanya. Dia akan selalu menjaga amanah kapanpun dan dimanapun, baik dilihat dan diketahui oleh orang lain maupun tidak. Oleh sebab itu mustahil seorang rasul berkhianat, melanggar amanat atau tidak seia kata dan perbuatan. Seseorang yang memiliki sifat khianat tidak pantas menjadi nabi, apalagi rasul.

c) At-Tabligh (Menyampaikan)
Artinya seorang rasul akan menyampaikan apa saja yang diperintahkan oleh Allah swt untuk disampaikan. Tidak akan ada satu bujukan atau ancaman yang menyebabkan dia menyembunyikan sebagaian dari wahyu yang wajib disampaikannya. Mustahil seorang rasul menyembunyikan wahyu ilahi. Jika itu terjadi tentu batal nubuwah dan risalahnya.

d) Al-Fathonah (Cerdas)
Artinya seorang rasul memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, pikiran jernih, penuh kearifan, dan kebijaksanaan. Dia akan mampu mengatasi persoalan yang paling dilematis sekalipun tanpa harus meninggalkan kejujuran dan kebenaran.

e) As-Sabr (Sabar)
Allah swt mengutus para rasul-Nya kepada manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak mereka untuk taat kepada Allah serta memperingatkan agar tidak mendurhakaiNya. Ini adalah tugas berat dan sulit, tidak semua orang mampu memikulnya, akan tetapi orang-orang pilihanlah yang pantas dan mampuuntuk itu. Karenanya para rasul Allah menmui bermacam-macam kesulitan dan ganggua, tetapi mereka tidak patah semangat karenanya, juga hal itu tidak membuat mereka melangkah surut ke belakang.

Allah telah mengisahkan kepada kita sebagian nabi-nabiNya, sekaligus berbagai rintangan yang menghadangnya di jalan dakwaj, juga sikap sabar mereka untuk memenangkan yang hak dan meninggikan kalimat Allah. Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad untuk bersabar, sebagai bentuk peneladanan kepada para ulul azmi. Allah berfirman:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ`

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (QS Al-Ahqaf: 35)

Tentu kita mendapat pelajaran dengan apa yang dikisahkan Allah tentang Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa AS, dengan umatnya yang menentang dan mengganggu, namun demikian mereka tetap bersabar, teguh, dan tegar sampai Allah menurunkan putusan-Nya. Demikian pula dengan perjalanan hidup penutup para nabi, Nabi Muhammad SAW, di dalamnya terdapat teladan agung dalam kesabaran dan ketabahan. Kaumnya telah mendustakan, menghina, mengganggu dan mengisolirnya, tetapi beliau bersabar menghadapinya sampai Allah memenagkan agama-Nya.

f) Al-‘Ishmah (Ma’sum, terpelihara)
Setiap nabi dan rasul adalah ma’shum artinya terpelihara dari segala macam dosa, baik yang kecil apalagi yang besar. Tetapi sebagai manusia biasa yang juga tidak terbebas dari sifat lupa seorang nabi dan rasul bisa saja melakukan kekhilafan, baik dalam mengambil keputusan ataupun prilaku. Akan tetapi kekhilafan para nabi dan rasul segera mendapatkan koreksi dari Allah swt sehingga dengan segera meraka memperbaiki kesalahannya tersebut.

Menurut Sayid Sabiq bahwa kekhilafan dan kekeliruan ijtihad yang dilakukan oleh seorang Nabi dan rasul bukanlah kemaksiatan dan kedurhakaan, karena kemaksiatan mustahil dilakukan oleh seseorang yang dipilih oleh Allah swt untuk mengemban tugas suci. Dengan demikian bahwa kekhilafan dan kekeliruan ijtihad yang dilakukan oleh seorang nabi dan rasul tidaklah menghilangkan sifat kema’sumanya, karena kekhilafan dan kekeliruan betapa pun kecilnya selalu mendapat koreksi dari Allah swt, sehingga selain hal-hal yang dikoreksi itu para rasul dan nabi selalu menjadi anutan dan teladan bagi umat manusia, terutama pengikutnya.

2) Syarat Yang Bersifat Obyektif (Kondisi Eksternal)

a. Diramalkan (Dinubuatkan) Di Dalam Kitab-Kitab Suci Sebelumnya
Nubuat atau ramalan kenabian ini merupakan indikasi yang bersifat obyektif adanya informasi akan diutusnya seseorang oleh Allah swt. Hal ini dialami oleh nabi-nabi terdahulu yang mereka sebelum diutus ke bumi sudah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci sebelumnya. Termasuk dalam hal ini adalah Nabi Isa yang banyak diramalkan oleh Taurat, tetapi ramalan tersebut banyak diingkari oleh orang-orang Yahudi. Demikian juga Nabi Muhammad saw yang banyak dinubuatkan oleh Taurat dan juga injil, tetapi banyak pemuka-pemuka Taurat maupun Injil yang membuta terhadap kenyataan ini. Ini dapat dijumpai dalam beberapa ayat al-Qur’an berikut ini:

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ`

"Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)" Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata". (QS As-Shaf: 6). Lihat juga misalnya QS al-Ahqaf: 10, As-Syuara: 197, al-A’raf: 157, Al-An’am: 20, dan al-Baqarah; 129.

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا`

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS al-Fath: 29)

b. Syariat (Ajaran) Agama Nabi Sebelumnya Sudah Banyak Terjadi Penyimpangan
Allah banyak menyebutkan terjadinya pemalsuan dan pengubahan terhadap kitab suci sebelumnya dalam beberapa ayat al-Qur’an:

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ`
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”. (QS Al-Baqarah: 75)

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ`

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (QS al-Baqarah (2): 79

Di antara bentuk pengubahan yang dilakukan ahli kitab adalah penisbatan anak kepada Allah. Seperti yang dilakukan oleh Yahudi dengan mengatakan bahwa Ezra (Uzair) adalah anak Allah (QS At-Taubah: 30). Begitu pula penuhanan orang-orang Nasrani terhadap Nabi Isa AS serta perkataan mereka bahwa Allah adalah salah satu oknum dari tiga unsure atau yang lebih dikenal dengan kepercayaan trinitas (I Yohanes 5:7-8, Matius 28: 19, dan II Korintus 13:13).

Menurut Irena Handono (mantan biarawati), bahwa konsep trinitas yang diyakini oleh orang-orang nasrani di atas sebenarnya bertentangan dalam Bibel sendiri (I Korintus 8: 6 dan kisah Para Rasul 7: 55). Dalam ayat ini, tergambar bahwa Allah dan Yesus adalah dua pribadi yang berbeda. Kemudian setelah Paulus meninggal dunia, keyakinan trinitas (Tuhan Bapa dan Tuhan anak) dikembangkan oleh pemimpin-pemimpin Kristen (Apologet). Pada Konsili Nicea tahun 325 M ditetapkan Yesus sebagai Tuhan, kemudian menyusul pada konsili Konstatin pada tahun 381 M Roh Kudus ditetapkan sebagai Tuhan. Oleh karena itu, Allah swt mengutuk perbuatan mereka itu sebagai kekafiran:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ`لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ`

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS al-Maidah (5): 72-73)

c. Amil az-zaman (dibutuhkan zaman), karena sudah begitu parahnya kondisi sosial masyarakat.

Kehancuran moral masyarakat sudah merajalela, sehingga kehadiran seorang nabi sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengisi kekosongan rohani, memperbaiki segala kerusakan masyarakat, dan mengembalikan umat manusia kepada kehidupan yang sesuai dengan fitrah penciptaanya.

4.Nama dan Tugas Para Rasul
Allah swt tidak menyebutkan berapa jumlah keseluruhan Nabi dan rasul. Oleh karena itu kita tidak dapat mengetahui berapa jumlah keseluruhanya. Tapi yang pasti adalah untuk setiap umat Allah mengutus seorang rasul, seperti yang dinyatakan oleh Allah dalam QS fathir (35): 24, dan Yunus (10): 47. Hanya sebagian saja diantara para nabi dan rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw yang diceritakan di dalam al-Qur’an (QS al-Mukmin (40): 78). Sementara jumlah nabi dan rasul yang diceritakan di dalam al-Qur’an hanya 25 orang; 18 orang disebutkan dalam QS al-An’am : 83-86, dan tujuh orang lagi dalam beberapa ayat terpisah, yaitu: QS Hud (11): 50, 61, 84, Ali Imron(3): 33, Al-Anbiya (21): 85, dan al-fath (48): 29.

Kalau diurutkan secara kronologis nama-nama nabi dan rasul yang 25 tersebut adalah sebagai berikut: Adam, Idris, Nuh, Hud, Shaleh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub, Yusuf, Luth, Ayyub, Syu’aib, Musa, Harun, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Yunus, Zakariya, Yahya, Isa, dan Muhammad saw.

Pada umunya para nabi dan rasul dilahirkan, hidup dan diutus di negeri-negeri Timur Tengah. Misalnya nabi Ibrahim diutus di Irak, hijrah ke negeri Kan’an, lalu berpindah-pindah antara Hijaz, syam, dan Ma’ad. Nabi Isma’il lahir di Syam, dibesarkan dan diutus di Makkah al-Mukarramah. Nabi Ishaq di utus di Ma’ad. Nabi Ya’qub diutus di Ma’ad, tetapi kemudian pindahke Mesir dan tinggal di sana bersama dengan anak-anaknya. Nabi Yusuf diutus di Mesir. Begitu juga nabi Musa dan Harun, tetapi kemudian pindah ke Sinai. Nabi daud dan sulaiman diutus di al-Quds. Kemudian nabi-nabi Bani Israil lainya sampai nabi Isa diutus di tanah Syam. Nabi Isa sendiri lahir di Baitul Lahmin (Betlehem) dan hidup al-Maqdis sampai allah mengangkatnya. Kemudian nabi terakhir Muhammad saw lahir dan diutus di Makkah al-Mukarramah, kemudian hijrah ke madinah al-Munawarah.

Semua rasul tersebut mempunyai tugas yang sama yaitu menegakan kalimat tauhid la ilaha illallah, mengajak umat manusia hanya beribadah kepada Allah swt semata, menjauhi segala macam thaghut dan menegakan agama (iqamatuddin) Islam dalam seluruh kehidupan. Ini dapat dilihat dalam QS al-Anbiya’(21): 25, an-Nahl (16): 36, As-Syura(42): 13. Dalam menjalankan tugasnya tersebut para rasul berperan sebagai mubasyirin dan munzirin artinya memberikan kabar gembira bahwa Allah swt akan memberikan pahala, keridhaan, dan balasan surga bagi orang yang beriman dan taat; dan memberikan peringatan akan kemarahan dan azab Allah bagi yang tidak mau beriman dan bagi yang durhaka. Ini dapat dilihat dalam QS al-An’am(6): 48-49.

5. Mukjizat Para Rasul
Kata mukjizat berasal dari kata bahasa Arab yang berarti melemahkan, dari kata ‘ajaza (lemah). Dalam aqidah Islam mukjizat dimaknakan sebagai suatu peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan yang digunakan untuk mendukung kerasulan seorang rasul, sekaligus melamahkan lawan-lawan para rasul.

Pengertian ini terkait dengan kehadiran seorang nabi atau rasul. Nabi dan rasul di dalam menyampaikan ajarannya selalu mendapatkan tantangan dari masyarakatnya. Misalnya, ajarannya dianggap obrolan bohong, bahkan dianggap sebagai tipu daya (sihir). Lihat QS al-Anfal (8): 31, Shad (38): 1-4, al-Zukhruf (43): 30 dan lain-lain. Untuk membuktikan kerasulan tersebut sekaligus membantah tuduhan para penantangnya, lalu nabi diberi kelebihan (mukjizat) berupa peristiwa besar yang luar biasa. Peristiwa inilah yang disebut dengan mukjizat.

Melalui tangan para nabi dan rasul telah terjadi mukjizat-mukjizat yang memaksa akal sehat untuk tunduk dan mempercayai apa yang dibawa oleh para rasul, baik itu karena diminta oleh kaumnya maupun tidak. Mukjizat-mukjizat tersebut tidak lepas dari bentuk-bentuk berikut ini:

1) Ilmu, seperti pemberitahuan tentang hal-hal ghaib yang sudah terjadi ataupun yang akan terjadi, umpamanya pengabaran Nabi Isa As kepada kaumnya tentang apa yang mereka makan dan apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka. Sebagaimana pengabaran Nabi Muhammad Saw tentang fitnah-fitnah atau tanda-tanda hari kiamat yang bakal terjadi, sebagaimana banyak dijelaskan dalam hadits-hadits.

2) Kemampuan dan Kekuatan, seperti mengubah tongkat menjadi ular besar, yakni mukjizat Nabi Musa AS yang diutus kepada Firaun dan kaumnya. Kemudian penyembuhan penyakit kulit, buta, serta menghidupkan orang-orang yang sudah mati, yang kesemuanya adalah mukjizat Nabi Isa AS. Juga terbelahnya bulan menjadi dua yang merupakan salah satu tanda kebenaran rasulullah Muhammad SAW.

3) Kecukupan, misalnya perlindungan bagi rasulullah dari orang-orang yang menginginkan kejahatan kepadanya. Hal ini sering terjadi, ketika di Makah sewaktu malam hijrah, ketika di dalam gua, lalu dalam perjalanan ke Madinah ketika bertemu dengan Suraqah bin Malik, lalu di Madinah ketika orang-orang Yahudi ingin menculiknya dan lain-lain. Contoh-contoh ini menunjukan bahwa Allah mencukupi rasul-Nya dengan perlindungan, sehingga tidak membutuhkan lagi perlindungan makhluk lain.

Dari tiga jenis mukjizat para nabi di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya bertujuan untuk membenarkan kerasulan para rasul, dengan kemapuanya melebihi kemampuan masyarakatnya. Masyarakatnya tidak berdaya (‘ajaza) menantang para rasul, sehingga mereka menerima kebenaran ajaran yang dibawa para rasul.

Para nabi memiliki mukjizat yang berbeda sesuai dengan kondisi masyaraktnya. Nabi Musa, karena masyarakatnya sangat ahli dalam ilmu sihir, maka mukjizatnya ialah kemampuan merubah tongkat menjadi ular besar, yang mampu menelan semua ular yang dimunculkan para penyihir Fir’aun. Nabi Isa, karena masyarakatnya ahli di bidang pengobatan, mukjizatnya ialah kemampuan menyembuhkan orang buta sehingga mampu melihat kembali. Sedangkan nabi Muhammad, karena masyarakatnya ahli dalam bidang sastra, maka mukjizatnya ialah al-qur’an, yang melebihi sastra Arab gubahan para sastrawan yang dianggap tidak ada yang mampu menyaingi al-qur’an ketika itu.

Bagaimana canggihnya kemampuan sastrawan Arab, namun mereka tidak mampu (tidak berdaya) menyamai al-Qur’an. Ketidakberdayaan itu digambarkan al-Qur’an dalam tiga bentuk.

1) Tidak berdaya menyamainya secara keseluruhan. “Katakanlah, bahwa sekiranya manusia-manusia dan jin berkumpul untuk membuat sesuatu yang sama dengan al-qur’an ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, kendatipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS al-isra (17): 88).

2) Ketidakberdayaan menyamainya sepuluh surat seperti al-qur’an. “Bahkan mereka mengatakan : “muhammad tidak membuat-buat al-qur’an itu”. Katakanlah: “bahwa (kalau demikian) datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya dan panggilah orang-orang (yang kamu sanggup memanggilnya) selain allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS hud (11): 13).

3) Ketidakberdayaan menyamai al-qur’an walau hanya satu surat saja. “Dan sekiranya kalian meragukan apa-apa yang telah kami turunkan kepada hamba kami, maka datangkanlah sebuah surat yang sama dengannya dan ajaklah penolong-penolong selain allah, jika memang kamu orang-orang yang benar” (QS al-baqarah (2): 23).

Khusus mukjizat nabi Muhammad dalam bentuk al-Qur’an, dimaksudkan kecuali sebagai penantang kemampuan sastrawan Arab, juga dimaksudkan agar mukjizatnya bersifat lestari sesuai dengan posisi yang dibawanya (Islam) sebagai agama terakhir, sehingga kemukjizatanya dapat disaksikan sampai saat ini. Hal ini berbeda dengan mukjizat rasul sebelumnya dalam bentuk peristiwa (tongkat menjadi ular, menyembuhkan orang buta) yang tidak bisa terulang lagi pada masa kini.

No comments: