Kronologi Al-Qur'an Dalam Perspectif Barat: Studi Pemikiran Theodore Noeldeke Tentang Konsep Makiyah dan Madaniyah


A.PENDAHULUAN



 
Catatan: Tulisan ini bisa di download di sini atau di sini


Dalam buku Major Themes of the Quran, ketika meninjau berbagai literature Barat mengenai al-Qur’an, Rahman mengkritik kajian Barat terhadap al-Qur’an yang hanya terbatas pada dua hal; karya yang mencari pengaruh Yahudi – Kristen di dalam al-Qur’an dan karya tentang rangkaian kronologi ayat-ayat al-Qur’an, sehingga kajian Barat kurang memperhatikan, untuk tidak mengatakan melupakan, karya-karya yang menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek tertentu dalam al-Qur’an.[1]

Walaupun ada benarnya, apa yang dikemukakan oleh Rahman di atas, kita tidak bisa menutup mata bahwa kajian Barat terhadap al-Qur’an sedikit banyak telah memberikan wacana intelektual yang luas dan segar yang hal itu tidak diberikan oleh akademisi muslim sendiri. Dalam kaitan ini, tulisan ini mencoba untuk membedah kronologi ayat-ayat al-Qur’an dalam perspektif Barat, khususnya pemikiran Theodore Noeldeke. Noeldeke merupakan seorang tokoh intelektual Jerman abad ke-19 yang karya-karyanya menjadi rujukan standar dalam kajian tentang al-Qur’an hingga dewasa ini.[2]


B.LATAR BELAKANG PEMIKIRAN THEODORE NOELDEKE


1.Theodore Noeldeke dan Karyanya
Theodore Noeldeke merupakan seorang intelektual pakar al-qur’an abad XIX yang lahir di Jerman. Ia mengawali ketertarikanya kepada al-Qur’an dengan menulis beografi Nabi dalam dua jilid kecil karyanya, Das Leben Muhammad’s nach den Quellen Populer dargestalt (1862). Setelah itu, ia memenangkan hadiah monograf untuk penulisan sejarah kritis teks al-Qur’an yang diadakan oleh Parisian Academic des Inscriptions et Belles – Lettres,[3] dengan tulisanya berbahasa Latin yang membahas tentang asal-usul dan komposisi al-Qur’an. Tulisan ini kemudian direvisi dan diperluas ke dalam karyanya, Geschichte des Qorans, yang terbit pada 1860.[4]


Sejarah selanjutnya karya Noeldeke benar-benar seperti legenda. Ketika penerbit mengusulkan penerbitan edisi kedua karya tersebut pada 1898, Noeldeke – yang semakin menua – tidak sanggup menyelesaikanya, dan akhirnya diambil alih muridnya, Friedrich Schwally. Schwally menyelesaikan perevisianya dengan sangat lambat, lantaran kecermatan dan berbagai alas an lainya, dan baru pada 1909 terbeit bagian pertamanya “tentang asal-usul al-qur’an” (Ueber den Ursprung des Qorans). Bagian keduanya, “pengumpulan al-Qur’an” (Die Samlung des Qorans), juga muncul dalam tenggang waktu yang lama pada 1919, setelah wafatnya Schwally pada awal tahun itu, sehingga dalam proses pencetakan diawasi oleh iparnya, Heinrich Zimmern, dan koleganya, A. Fischer. Sebelum wafat, Schwally telah menulis lebih dari sekedar pengantar untuk bagian ketiga, “sejarah teks al-Qur’an”, (Geschicht des Qorantexts). Bagian ini kemudian dilanjutkan penulisanya oleh Gotthelf Bergstraeser dan diterbitkan secara terpisah dalam tiga Lieferungen (bagian). Setelah publikasi Lieferung pertama dan kedua (1926, 1929), sejumlah bahan penting ditemukan yang mengakibatkan penundaan penerbitan Lieferung ketiga. Namun, Bergstraeser tiba-tiba wafat pada 1933. Murid Noeldeke lainya, Otto Pretzl, kemudian menyelesaikan penulisan bagian tersebut da baru diterbitkan pada 1938.[5]


Dengan demikian, proses perivisian karya Noeldeke oleh murid-muridnya berjalan selama 60 tahun. Tetapi, proses perivisian yang lama ini sebanding dengan hasil yang dicapai karya tersebut. Karya yang menunjukan hasil kerjasama yang mengagumkan itu telah menjadi karya standar terbaik dan satu-satunya di bidang ini dan telah menjadi fondasi bagi seluruh kajian keserjanaan Barat tentang al-Qur’an.[6] Dan hingga dewasa ini, belum ada karya kesarjanaan Barat lainya yang mampu menandingi keluasan dan kedalaman bahasan tentang sejarah al-Qur’an yang disusun Noledeke beserta murid-muridnya.


2.Sense Of Academic Crisis
Bisa dikatakan bahwa perhatian kearjanaan Eropa terhadap al-Qur’an sudah cukup lama, yaitu semenjak kepala biara Cluny ke Toledo pada catur wulan kedua abad kedua belas.[7] Hanya saja kajian-kajian al-Qur’an yang cukup lama ini tidak dibarengi dengan sikap jujur dan obyektif, sehingga karya akademisi barat semenjak abad XII sampai akhir abad XVIII atau awal abad XIX banyak mengandung prasangka negatif dan bias terhadap Islam.[8] Dengan demikian kajian-kajian yang kritis obyektif terhadap al-Qur’an di barat masih sangat langka untuk tidak mengatakan tidak ada. Realitas yang demikian ini memunculkan kegelisahan akademik Theodore Noeldeke untuk memulai menulis kajian kritis terhadap al-Qur’an, Geschicht Des Qorans.[9] Dalam kaitan ini, Th. Noeldeke dalam pandangan M. Arkoun sebagai orang yang telah berjasa besar dalam memperkenalkan untuk pertama kalinya sejak abad IV/ X M mengenai sejarah kritis dari teks al-Qur’an.[10]


Disamping hal tersebut, kajian-kajian kronologi intelektual Muslim yang selama ini berkembang tidak begitu memuaskan. Terutama sekali rujukan-rujukan histories yang menjadi dasar penanggalan Intelektual Muslim kurang bisa dipertanggunjawabkan secara akademik.[11] Dalam kaitan ini, menurut Taufik Adnan Amal, bahwa ketika kajian-kajian kronologi al-Qur’an di dunia Islam menapaki titik lesunya dan hanya berkutat pada riwayat-riwayat lama tanpa membuahkan hasil signifikan, perkembangan di dunia akademik Barat justru berada di titik berlawanan.[12]


C.METODOLOGI PEMIKIRAN THEDORE NOELDEKE


1.Kerangka Teoritik
Kerangka teoritik yang dibangun Theodore Noeldeke dalam merumuskan kronologi pewahyuan al-qur’an adalah berdasarkan urutan gagasan kewahyuan.[13] Teori ini sebelumnya telah diintrodusir oleh Gustav Weil[14] dalam karyanya Historisch Kritissche Einleitung im der Koran, pada 1844. Dalam karyanya ini Weil memang menerima asumsi para sarjana Muslim bahwa surat-surat al-Qur’an merupakan unit-unit wahyu orisinil, dan karena itu disusun dalam suatu tatanan kronologis berdasarkan bahan-bahan tradisional.[15]


Langkah pertama dalam upaya penyusan kronologi semacam ini adalah penentuan unit-unit wahyu dalam sebagaian besar surat al-Qur’an yang memiliki kandungan ayat dari berbagai perode pewahyuan. Seperti ada sebagian kecil surat yang telah disepakati sebagai unit-unit wahyu orisinil, baik periode Makah maupun Madinah.[16] Dalam konteks ini, pekerjaan yang tersisa adalah menentukan masa pewahyuanya secara lebih akurat. Tetapi sehubungan dengan surat-surat yang memilki kandungan unit wahyu dari berbagai masa, maka penentuan unit-unit wahyunya dilakukan dengan menerapkan metode analisis sastera yang berpijak pada kesatuan gagasan dan gaya al-qur’an – baik prosaic maupun puitis atau analisis wacana.[17]


Ketika unit-unit wahyu telah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah memberi penanggalan terhadapnya. Suatu kajian terhadap perkembangan misi kenabian Muhammad dalam pentas sejarah, untuk menemukan pijakan bagi penanggalan al-qur’an, dilakukan terlebih dahulu. Kesepakatan yang eksis dalam berbagai system penanggalan tentang butir-butir khas dalam wahyu-wahyu yang awal akan sangat membantu dalam menetapkan unit-unit wahyu yang bisa dikelompokan dan diberi penanggalan dari masa tersebut. Demikian pula berbagai rjukan histories yang ada dalam al-Qur’an – misalnya 30: 1-2 yang merujuk pada kekalahan Bizantium atas Persia, 3: 121-129 tentang perang badr, 9: 25-27 tentang Perang Hunain, dan lain-lain – dijadikan pegangan dalam penangglan unit-unit wahyu tersebut. Senada dengan ini adalah gagasan atau ungkapan tertentu yang muncul pada periode tertentu, juga diberi penangglan yang agak pasti. Bagian-bagian al-Qur’an yang merekomendasikan peperangan atau berbicara tentang pengikut-pengikut Nabi yang terlibat dalam pertempuran, ungkapan-ungkapan Muhajirun, Ansar, alladzina fi qulubihim maradl, munafiqun dan lainya, secara jelas berasal dari masa setelah hijrah.[18]


2.Pendekatan dalam Kajian
Dalam merekonstruksikan system kronologis pewahyuan al-Qur’an, Noeldeke – Schwally menggunakan pendekatan histories-philologis dan susastra. Dengan pendekatan sejarah,[19] segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah ini sesorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari kontek historisnya.[20] Seseorang yang ingin memahami al-qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunyaal-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringinya. (asbabun nuzul).[21]


Sementara pendekatan susastra digunakan untuk melihat gaya bahasa al-Qur’an - seperti rima dan persajakan – dan perbendaharaan katanya. Dengan memadukan pendekatan histories-filologis dan Susatra, Noeldeke – Schwally berpandangan bahwa pembabakanpewahyuan al-qur’an merupakan gerak maju yang ajegkepada surat-surat atau ayat-ayat yang lebih panjang.[22]


3.Metode Dalam Kajian
Dalam upaya merekonstruksi secara kronologis wahyu-wahyu al-Qura’an secara signifikan dan memuaskan, Theodore Noeldeke melakukan kerja metode ganda. Pertama, dengan mengeksploitasi bahan-bahan tradisional islam dan memperhatikan bukti-bukti internal al-Qur’an sendiri – yakni rujukan-rujukan histories di dalamnya, terutama periode madinah dari karir kenabian Muhammad. Kedua, perhatian juga dipusatkan pada pertimbangan gaya al-Qur’an, perbendaharaan katanya, dan semisalnya. Singkatnya, al-Qur’an telah menjadi sasaran penelitian yang cermat selaras dengan metode kritik sastra dan kritik sejarah modern.[23]


D.KONSTRUKSI KRONOLOGI AL-QUR’AN THEODOR NOELDEKE



Xplore The Religion
Theodore Noeldeke mengemukakan tiga criteria untuk aransemen kronologi al-Qur’anya: (i) rujukan-rujuakn kepada peristiwa-peristiwa histories yang diketahui dari sumber lainya; (ii) karakter wahyu sebagai refleksi perubahan situasi dan peran Muhammad; dan (iii) penampakan atau bentuk lahiriyah wahyu. Periodesasi tradisional kesarjanaan Islam – makiyah dan Madaniyah – dielaborasi lebih jauh lewat pembabakan surat-surat makiyah kedalam tiga kelompok, dan dengan demikian seluruh surat al-Qur’an membentuk empat periode pewahyuan:[24] (i) Makah pertama atau awal; (ii) Makah kedua atau Tengah; (iii) Makah ketiga atau akhir; dan (iv) Madinah.[25] Titik-titik peralihan untuk keempat periode ini adalah masa hijrah ke Abisina (sekitar 615) untuk periode Makah awal dan Makah tengah, saat kembalinya Nabi dari Thaif (620) untuk periode Makah tengah dan Makah akhir, serta peristiwa hijrah (September 622) untuk periode Makah akhir dan Madinah.[26]


Gagasan yang dikemukakan Noeldeke - Schwally dalam karya mereka, Geschichte des Qorans (Erstel Teil, “bagian pertama”) di atas, merupakan pendapat yang diadopsi dari G. Weil, dengan sejumlah perubahan pada susunan kronologis surat-surat al-Qur’an..Karya patungan Noeldeke – schwally ini mempengaruhi Regis Blechere dalam Reclassement des Sourates (1949 – 1950). Dalam terjemahan tersebut, ia menyusun surat-surat al-Qur’an secara kronologis yang hanya berbeda dari susunan Noeldeke – Schwally dalam beberapa hal. Asumsi dasar penanggalan empat periode beserta kriterianya diterima sepenuhnya oleh Blachere.[27]


1.Periode Makah Pertama
Suarat-surat pada periode ini cenderung pendek-pendek. Ayat-ayatnya juga pendek-pendek serta berima. Surat-surat sering diawali dengan ungkapan sumpah, serta bahasanya penuh dengan tamsilan dan keindahan puitis. Susunan kronologis surat-surat al-Qur’an pada periode ini adalah sebagai berikut:
Urut Kronologis Nama Surat No. Surat Keterangan
1 Al-‘Alaq 96 Ayat 9-11 belakangan
2 Al-Muddatsir 74 Ayat 31-34, 41 belakangan
3 Al-Lahab 111
4 Quraisy 106
5 Al-Kawtsar 108
6 Al-Humazah 104
7 Al-Ma’un 107
8 Al-Takatsur 102
9 Al-Fil 105 Ayat 6, Mk. Akhir.
10 Al-Layl 92
11 Al-Balad 90
12 Alam Nasyrah 94
13 Al-Dhuha 93
14 Al-Qadr 97
15 Al-Thariq 86
16 Al-Syams 91
17 ‘Abasa 80
18 Al-Qolam 68 Ayat 17 belakangan
19 Al-A’la 87
20 Al-Tin 95
21 Al-Ashr 103 Ayat 3 Mk. Akhir
22 Al-Buruj 85 Ayat 8-11 belakangan
23 Al-Muzammil 73
24 Al-Qori’ah 101
25 Al-Zalzalah 99
26 Al-Infithar 82
27 Al-Takwir 81
28 Al-Najm 53 Ayat 23, 26-32 belakangan
29 Al-Insyiqaq 84 Ayat 25 Mk. Akhir
30 Al-‘Adiyat 100
31 Al-Nazi’at 79 Ayat 27-46 belakangan
32 Al-Mursalat 77
33 Al-Naba’ 78 Ayat 37 Mk. Tengah
34 Al-Ghasyiyah 88
35 Al-Fajr 89
36 Al-Qiyamah 75 Ayat 16-19 ?
37 Al-Muthafifin 83
38 Al-Haqqah 69
39 Al-Dzariyat 51 Ayat 24 belakangan
40 Al-Tur 52 Ayat 21, 29 belakangan
41 Al-Waqi’ah 56 Ayat 75 belakangan
42 Al-Ma’arij 70
43 Al-Rahman 55 Ayat 8-9 belakangan
44 Al-Ikhlash 112
45 Al-Kafirun 109
46 Al-Falaq 113
47 Al-Nas 114
48 Al-Fatihah 1
Menurut Taufik Adnan Amal, bahwa Noeldeke –Schwally menerima seluruh surat yang dikemukakan oleh Weil – dengan susunan yang agak berbeda – dan menambahkan ke dalamnya 3 surat lagi (surat 1, 51, dan 55).[28] Sementara gagasan Noeldeke – Schwally tersebut diterima seluruhnya oleh Blechere, kecuali dua surat (surat 51 dan 68), dan menambahkan satu surat lagi (surat 76) ke dalam periode ini.[29]


2.Periode Makah Kedua (Tengah)
Surat-surat periode ini lebih panjang dan lebih berbentuk prosa, tetapi tetap dengan kualitas puitis yang indah. Gayanya membentuk suatu transisi antara surat-surat periode Makkah pertama dan ketiga. Tanda-tanda kemahakuasaan Tuhan dalam alam dan sifat-sifat ilahi seperti rahmah ditekankan, sementara Tuhan sendiri sering disebut sebagai al-rahman. Deskripsi yang hidup tentang surga dan neraka diungkapkan, serta dalam periode inilah kisah-kisah umat nabi sebelum Muhammad yang diazab Tuhan – atau lebih dikenal dalam akademisi Barat sebagai “kisah-kisah pengazaban” – dintroduksi. Surat-surat periode ini adalah sebagai berikut:
Urut Kronologis Nama Surat No. Surat Keterangan
 Al-Qomar 54
2 Al-Shaffat 37
3 Nuh 71
4 Al-insan 76
5 Al-Dukhan 44
6 Qaf 50
7 Tha Ha 20
8 Al-Syu’ara’ 26
9 Al-hijr 15
10 Maryam 19 Ayat 35-40 belakangan
11 Shad 38
12 Ya Sin 36
13 Al-Zukhruf 43
14 Jinn 72
15 Al-Mulk 67
16 Al-Mu’minun 23
17 Al-Anbiya’ 21
18 Al-Furqan 25 Ayat 66 ?.
19 Al-Isra’ 17
20 Al-Naml 27
21 Al-Kahfi 18
Dalam periode ini, Noeldeke – Schwally menerima sejumlah 18 surat dari kronologi Weil[30] – tetapi ditempatkan dalam urutan kronologis berbeda – dan menambahkan 3 surat lain (17; 27; 18) ke dalam system penanggalan mereka. Kemudian gagasan Noeldeke – Schwally ini, sebagian besar diterima oleh Blachere,[31] kecuali surat 51 yang ditempatkan di awal susunan kronologisnya, surat 68 ditempatkan sebelum surat 37, dan surat 17 yang ditempatkan pada periode ketiga. Sebagaimana dengan kasus periode pertama, periode kedua ini system penanggalan Noldeke – Schwally ini pun mencentumkan beberapa surat – misalnya surat 67; 76 dan lain-lain – yang ditempatkan para sarjana muslim pada pewahyuan belakangan.[32]


3.Periode Makah Ketiga (akhir)
Surat-surat perode Makkah ketiga ini lebih panjang dan lebih berbentuk prosa. Noeldeke – Schwally mengemukakan bahwa penggunaan al-rahman sebagai nama Tuhan berakhir pada periode ini, tetapi karakteristik-karakteristik periode kedua lainya semakin mengental. Kisah-kisah kenabian dan pengazaban umat terdahulu dituturkan kembali secara rinci. Susunan kronologis surat-surat al-qur’an periode ini adalah sebagai berikut:


Urut Kronologis Nama Surat No. Surat Keterangan
1 Al-Sajadah 32
2 Fushilat 41
3 Al-Jatshiyah 45
4 Al-Nahl 16 Ayat 41, 110-124 Md.
5 Al-Rum 30
6 Hud 11
7 Ibrahim 14 Ayat 38 Md.
8 Yusuf 12
9 Al-Ma’un 40 Ayat 57 ?.
10 Al-Qashash 28
11 Al-Zumar 39
12 Al-‘Ankabut 29 Ayat 1-11, 46 Md.Ayat 69?.
13 Luqman 31 Ayat 14 & 27-29 Md. 12 & 16-19 belakangan.
14 Al-Syura 42
15 Yunus 10
16 Saba’ 34
17 Fathir 35
18 Al-A’raf 7 Ayat 157 Md.
19 Al-Ahqaf 46
20 Al-An’am 6
21 Al-Ra’d 13
Sementara untukMekah akhir, Noeldeke – Schwally menerima hampir seluruh surat yang ditempatkan Weil dalam periode ini [33]– dengan sekuensi kronologi yang berbeda – kecuali 5 surat (surat 72; 27; 17; dan 64). Susunan kronologis Noeldeke –Schwally kemudian diterima secera penuh oleh Blachere dengan menyisipkan surat 17 di antara surat 16 dalam rangkaian kronologis tersebut.[34] Tetapi, sejumlah surat yang ditempatkan oleh ketiga sarjana barat ini kedalam surat-surat periode ketiga ini lazimnya dipandang para sarjana muslim turun lebih awal – misalnya surat 7; 35; 28; dan lain sebagaianya – atau bahkan lebih belakangan lagi – misalnya surat 13.[35]


4.Periode Madinah
Surat-surat periode ini tidak memperlihatkan banyak perubahan gaya dari periode ketiga dibandingkan perubahan pokok bahasan. Perubahan ini terjadi dengan semakin meningkatnya kekuasaan politik Nabi dan perkembangan umum peristiwa-peristiwa di Madinah setelah Hijrah. Pengakuan terhadap Nabi sebagai pemimpin masyarakat, menyebabkan wahyu-wahyu berisi hokum dan aturan kemasyarakatan. Tema-tema dan istilah-istilah kunci baru turut membedakan surat-surat periode ini dengan periode sebelumnya. Susunan kronologis surat-surat al-Qur’an periode ini adalah sebagai berikut:


Urut Kronologis Nama Surat No. Surat Keterangan
1 Al-Baqarah 2
2 Al-Bayyinah 98
3 Al-Tagabun 64
4 Al-Jumu’ah 62
5 Al-Anfal 8
6 Muhammad 47
7 Ali ‘Imran 3
8 Al-Shaff 61
9 Al-Hadid 57
10 Al-Nisa’ 4
11 Al-Thalaq 65
12 Al-Hasyr 59
13 Al-Ahzab 33
14 Al-Munafiqun 63
15 Al-Nur 24
16 Al-Mujadilah 58
17 Al-Hajj 22
18 Al-Fath 48
19 Al-Tahrim 66
20 Al-Mumtahanah 60
21 Al-Nashr 110
22 Al-Hujurat 49
23 Al-Tawbah 9
24 Al-Maidah 5
Dalam periode keempat (madaniyah) ini, sejumlah besar surat yang dipandang para sarjana muslim diwahyukan di masa ini disepakati oleh Noldeke – schwallysekalipun dalam urutan kronolgis yang berbeda, kecuali sejumlah kecil surat. Seluruh surat madaniyah yang diajukan Weil[36] – dengan tambahan satu surat (surat 64) – terlihat diterima Noeldeke – Schwally. Tetapi persamaan sekuensi surat di antara keduanya hanya tampak pada permulaanya dan penghujung kronologis, atau pada dua surat pertama dan dua surat terakhir. Aransmen kronolis surat-surat madanaiyah versi Noeldeke –Schwally ini kemudian diterima sepenuhnya – tanpa kecuali oleh Blachere.[37]


E.CATATAN PENUTUP



Xplore The Religion
Untuk rancangan kronologisNoeldeke – Schwally mengandung banyak kelemahan yang dapat diungkapkan sebagai berikut; Pertama, kelemahan utama aransmen yang diajukan oleh Noeldeke – Schwally terletak pada asumsinya tentang gaya al-Qur’an, yakni gaya tersebut merupakan gerak maju yang ajegkepada surat-surat atau ayat-ayat yang lebih panjang. Memang benar bahwa terjadi perubahan dari tahun ke tahun, tetapi hal ini bukan merupakan alas an yang abash untuk menerima asumsi tersebut. Sebab gaya al-Qur’an dari masa yang sama mungkin saja beragam selaras dengan tujuan-tujuanya, seperti yang diungkapkan sendiri oleh kitab suci tersebut (47: 20, 62: 2).[38]


Kedua, Noeldeke – Schwally tampaknya keliru ketika membatasi penggunaan al-rahman sebagai nama Tuhan untuk masa singkat atau beberap tahun saja. Nama diri ini, menurut Noeldeke – Schwally, diperkenalkan pada periode Makah tengah, tetapi tdak ada suatu bukti pun menunjukan bahwa penggunaanya secara jelas telah dihentikan. Sebaliknya, al-rahman terus digunakan pada ungkapan pembuka setiap surat – kecuali surat 9 – dalam formula bismillahi ar-rahmani ar-rahimi, dan orang-orang Makah mengajukan keberatan terhadap penggunaanya sebagai pembuka rancangan awal Perjanjian Khuzaibiyah (628) tampaknya memandang al-rahman al-rahim sebagai nama-nama diri Tuhan.[39]


End Notes
________________________________________
[1] Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), x-xi. Lihat juga Ali Masrur, “Ahli Kitab dalam al-Qur’an : Model Penafsiran Fazlur Rahman”, dalam Abdul Mustakim & Sahiron Samsuddin (ed), Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 43.
[2] Th. Noeldeke mendapatkan pujian dari M. Arkoun sebagai orang yang telah berjasa besar dalam memperkenalkan untuk pertama kalinya sejak abad IV/ X M pertanyaan yang tak terelakan mengenai sejarah kritis dari teks al-Qur’an. Lih. Muhammed arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, alih bahasa Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), 31.
[3] Sayembara ini menarik tiga cendikiawan; Aloys Sprenger; Michele Amari, seorang Itali yang mulai terkenal sebagai pakar sejarah Sicilia Islam; dan seorang Jerman muda Theodore Noeldeke yang pada tahun 1856 telah menerbitkan pembahasan resmi dalam bahasa Latin mengenai asal usul komposisi al-Qur’an. Lihat. W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Qur’an, alih bahasa LilianD. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998), h. 155.
[4] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2001), h. 387-388.
[5] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah,h. 388.
[6] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah , h. 388.
[7] Perhatian ilmiah kesarjanaan Barat terhadap al-Qur’an bermula dengan kunjungan Petrus Venerabilis, kepala biara Cluny, ke Toledo pada perempatan ke dua abad ke-12. Dengan pertimbangan utama membasmi kepercayaan heretic – yakni Yahudi dan Islam – dan membela keyakinan kristiani, ia membentuk dan membiayai suatu tim penerjemah yang ditugaskanya menerjemahkan seramgkaian teks Arab yang secara keseluruhan akan merupakan pijakan ilmiah bagi para misionaris Kristen yang berurusan dengan Islam. Hasil kerja tim tersebut, dikenal sebagai Cluniac Corpus, kemudian tersebar luas. Tetapi kumpulan terjemahan ini tidak digunkan secara menyeluruh; hanya bagian-bagain yang memiliki manfaat langsung dan berguna dalam polemik yang dieksploitasi serta dikutip tanpa komentar.[7] Maxime Rodinson, “The western Image and Western Studies of Islam”, dalam Joseph Schacht & C.E Bosworth, The Legacy of Islam, Edisi 2, (Oxford: Oxford at The Clerendon Press, 1974), h. 15-17.
[8] Trauma yang membekas akibat perang salib – dimana umat Kristiani behadapan dengan umat Islam sebagai musuh – tampaknya telah menyulut semangat apologetik kristiani. Sarjana-sarjana Kristen yang berada di garis belakang peperangan berupaya membuat gambaran-gambaran yang bersifat imajiner untuk mengobarkan semangat umat Kristiani dan kemudian disebarkan ke berbagai kalangan di dalam Kristen. Jadi, bisa dikatakan bahwa perang salib pada faktanya telah memberi andil yang cukup besar dalam menciptakan berbagai kesalahpahaman Barat terhadap Islam, selain telah mendorong munculnya upaya-upaya terorganisasi untuk mempelajari agama tersebut melalui kitab sucinya.[8] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2001), h. 371.
[9] Karya tersebut pada awalnya pemenang hadiah dari Parisian Academie des Inscriptions et belles-lettres dalam suatu monograf berhadiah dengan tema, “a Critical History of texs of the Coran”. Dalam lomba monograf berhadiah tersebut dijelaskan bahwa karya yang diusulkan harus mengkaji bagian-bagian primitif dan sifat bagian-bagian itu masing-masing; memastikan sejauh mungkin, dengan bantuan sejarawan arab dan komentatornya, serta mengkaji bagian-bagian itu sendiri guna mencari saat-saat dalam khidupan Muhammad yang diceritakan di dalamnya; mengemukakan perubahan yang terdapat dalam al-Qur’an sejak pembawaanya oleh Muhammad sampai resensi definitive yang memberikan Qur’an bentuknya yang kita lihat sekarang; setelah mengkaji naskah-naskah yang paling tua, mengemukakan variasi-variasi yang muncul dari resensi-resensinya. Lihat.W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Qur’an, alih bahasa LilianD. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998), h. 155.
[10] Lih. Muhammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, alih bahasa Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), 31.
[11] Ini terutama sekali karena dasar penanggalan kronologi al-qur’an didasarkan pada riwayat-riwayat asbabun Nuzul. Dan kebanyakan riwayat-riwayat turunya al-Qur’an (asbabun Nuzul) tersebut, hadis-hadisnya pada umumnya lemah dan kurang bisa dipertanggungjawabkan dalam konteks kritik hadis. Disamping itu, riwayat yang berkenaan dengan nuzulnya al-qur’an juga sangat sedikit sekali, sementara ayat-ayat/ surat-surat yang lain tidak riwayat tentang sebab nuzulnya.
[12] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi , h. 99 – 100.
[13] W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Qur’an, alih bahasa LilianD. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998), h. 100.
[14] Titik awal perhatian barat terhadap kajian kronologi al-Qur’an dapat dikatakan bermula dengan karya Gustav Weil, Historisch Kritissche Einleitung im der Koran, pada 1844. dalam karya ini Weil memang menerima asumsi para sarjana Muslim bahwa surat-surat al-Qur’an merupakan unit-unit wahyu orisinil, dan karena itu disusun dalam suatu tatanan kronologis berdasarkan bahan-bahan tradisional. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi , h. 100
[15] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi , h. 100
[16] Periodesasi Makiyah – Madaniyah, yang berpijak pada peristiwa hijrah nabi sebagi titik peralihan, merupakan pendapat mayoritas sarjana muslim. Terdapat juga pandangan lainnya tentang Makiyah – Madaniyah, seperti makiyah adalah wahyu-wahyu yang turun di Mekah dan sekitarnya sementara Madaniyah adalah wahyu-wahyu yang turun di Madinah dan sekitarnya; atau Makiyah adalah bagian al-qur’an yang seruanya ditujukan kepada penduduk Makah dan Madaniyah adalah yang seruanya ditujukan kepada penduduk Madinah. Tetapi gagasan-gagasan semacam ini, selain mengandung sejumlah kelemahan mendasar, tidak begitu diterima di kalangan sarjana muslim. Lebih jauh lihat Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘ulum al-Qur’an, (ttp: Dar al-Fikr, tt), h. 9.
[17] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi, h. 118
[18] W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Qur’an, h. 103-106.
[19] Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang didalamnyadibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Lihat Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka firdaus, 1987), h. 105.
[20] Abuddin Nata, Metodologi studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), h. 46- 48.
[21] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1977), h. 79
[22] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi, h. 107
[23] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi , h. 99-100.
[24] Sementara Sir William Muir yang bekerja terpisah dari Noeldeke mengajukan suatu aransmen kronologis surat-surat al-qur’an yang dikelompokannya ke dalam enam periode – lima periode makah dan satu periode Madinah. Sebagian besar sekuensi kronologisnya senada dengan Noeldeke, tetapi sejumlah surat al-qur’an yang membahas tentang keajaiban alam dan surat-surat yang secara tradisional diterima sebagai wahyu-wahyu yang awal ditempatkan pada masa sebelum pengangkatan Muhammad menjadi Nabi. Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an: Sebuah Kerangka konseptual, (Bandung: Mizan, 1989), h. 99. Lihat juga Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi, 108.
[25] Subhi as-salih, Mabahits fi ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-‘Ilmi Lil malayin, 1988), h. 176.
[26] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi , h. 100
[27] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi , h. 100
[28] Untuk lengkapnya susunan surat periode Mekkah awal versi Weil adalah sebagai berikut: Surat 96; 74; 73; 106; 111; 53; 81; 68; 87; 92; 89; 93; 94; 103; 100; 108; 102; 107; 109; 105; 113; 114; 112; 80; 97; 91; 85; 90; 95; 101; 75; 104; 77; 86; 70; 78; 79; 82; 84; 56; 88; 52; 69; 83; dan 99. Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi , h. 101 – 102.
[29] Sementara kronologi yeng dikemukakan oleh Blachere adalah sebagai berikut: Surat 96; 74; 106; 93; 94; 103; 91; 107; 86; 95; 99; 101; 100; 92; 82; 87; 80; 81; 84; 79; 88; 52; 56; 69; 77; 78; 75; 55; 97; 53; 102; 96; 70; 73; 76; 83; 74; 111; 108; 104; 90; 105; 89; 112; 109; 1; 113; dan 114.
[30] Periodesasi versi Weil untuk periode kedua adalah sebagai berikut: surat 1; 51; 36; 50; 54; 44; 19; 20; 21; 23; 25; 26; 67; 37; 38; 43; 71; 55; 15; 76.
[31] Sementara dalam versi Blachere adalah sebagai berikut: surat 51; 54; 68; 37; 71; 44; 50; 20; 26; 15; 19; 38; 36; 43; 72; 67; 23; 21; 25; 27; 18.
[32] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi , h. 101
[33] untuk susunan Weil dalam periode ini adalah sebagai berikut: surat 7; 72; 35; 27; 28; 17; 10; 11; 12; 6; 31; 34; 39; 40; 32; 42; 45; 46; 18; 16; 14; 41; 30; 29; 13; 64.
[34] Sementara untuk susunan Blachere dalam periode ini adalah sebagai berikut: surat 32; 41; 45; 17; 16; 30; 11; 14; 12; 40; 28; 39; 29; 31; 42; 10; 34; 35; 7; 46; 6; dan 13.
[35] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi , h. 106
[36] untuk sususnan surat periode ini versi Weil adalah sebagai berikut: surat 2; 98; 62; 65; 22; 4; 8; 47; 57; 3; 59; 24; 63; 33; 48; 110; 61; 60; 58; 49; 66; 9; 5.
[37] Sementara untuk susunan surat Periode ini versi Blachere adalah sebagai berikut: surat 2; 98; 64; 62; 8; 47; 3; 61; 57; 4; 65; 59; 33; 63; 24; 58; 22; 48; 66; 60; 110; 49; 9; dan 5.
[38] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi, h. 107. Lihat juga Subhi Shalih, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, h. 175-177.
[39] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi, 107


DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.


Ali Masrur, “Ahli Kitab dalam al-Qur’an : Model Penafsiran Fazlur Rahman”, dalam Abdul Mustakim & Sahiron Samsuddin (ed), Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.


Abdul Mustakim & Sahiron Samsuddin (ed), Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983.


Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘ulum al-Qur’an, ttp: Dar al-Fikr, tt.


Joseph Schacht & C.E Bosworth, The Legacy of Islam, Edisi 2, Oxford: Oxford at The Clerendon Press, 1974.


Muhammed arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, alih bahasa Machasin, Jakarta: INIS, 1997.


Maxime Rodinson, “The western Image and Western Studies of Islam”, dalam Joseph Schacht & C.E Bosworth, The Legacy of Islam, Edisi 2, Oxford: Oxford at The Clerendon Press, 1974.


Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1977.


Subhi as-salih, Mabahits fi ulum al-Qur’an, Bairut: Dar al-‘Ilmi Lil Malayin, 1988.


Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001.


Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an: Sebuah Kerangka konseptual, Bandung: Mizan, 1989.


Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka firdaus, 1987.


W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar Qur’an, alih bahasa LilianD. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1998.

6 comments:

nahdhi said...

Puanjang sip.... :)

Achmad Zulfikar said...

Terima kasih atas ziarahnya ke Blog saya ^^ semoga Allah SWT mencurahkan Rahmatnya kepada kita semua.. Amin

Ihsan Satyanugraha said...

setiap baca artikel anda saya bingung mau komen apa... akhirnya saya copas aja, buat nambah2 ilmu...
heheheheh....
gak apa2 kan pak ?

NURA said...

salam sobat
trims artikelnya,,
saya banyak mendapatkan ilmu di artikel ini.
saya tahu kronologi Alqur'an dalam perspectif barat,,karena baca disini.
trims kunjungannya ke S.A,dan follownya,
saya sudah follow balik
salam kenal.

rafiqjauhary said...

islam memiliki gaya sendiri dalam memahami ayat al-quran, dan disiplin ilmunya pun tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu yang lain..

dalam islam, sepintar apapun orang tidak akan serta merta kata-katanya bisa diambil jika dia tidak memenuhi persyaratan. seperti "adil" (tidak dzolim, "shoduq" (jujur), "muslim", dan persyaratan yang lain.

jadi bukan berarti islam tidak mau maju dan tidak mau belajar dengan orang-orang barat atau bahasa kasarnya mengesampingkan keilmuan di barat.. itu semua karena para ulama menjaga disiplin ilmu dalam islam.

ulama islam pun banyak yang telah melehirkan karya hebat. tapi karena anda belajar dengan berkiblat ke barat, anda lebih mengenal barat. dan jauh dari kitab2 dan ulama timur.

karya ulama timur lebih mengedepankan masalah aqidah, keimanan. mentafsirkan alquran dengan hadits yang banyak tercecer. dan itu semua lebih bermanfaat dibanding pengelompokan seperti yang antum kemukakan



-salam dari blogger magelang-
mungkin laen kali bisa sharing

Boku no Blog said...

Artikel dan Blog Islami yang bermanfaat..
salam kenal; dan sukses selalu