Riba dalam Perspectif al-Qur'an: Tinjauan Tafsir Tematis


Oleh:
Agus Miswanto

A.Teks Ayat [QS. al-Baqarah (3): 275-279]

الّذين يأكلون الّربوا لا يقومون الاّ كما يقوم يتخبّطه الشّيطن من المسّ ذلك بأنّهم قالوا انّما البيع مثل الربوا واحلّ الله البيع وحرّم الرّبوا فمن جاءه موعظة من ربّه فانتهي فله ما سلف وامره الي الله ومن عاد فأولئك اصحب النّار هم فيها خالدون * يمحق الله الرّبوا ويربي الصدقت والله لا يحبّ كلّ كفّار اثيم * انّ الّذين أمنوا وعملوا الصّلحت وأقاموا الصّلوة واتواالزّكوة لهم أجرهم عند ربّهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون* يايها الّذين امنوا اتقوا الله وذرا ما بقي من الرّبواان كنتم مؤمنين * فان لم تفعلوا فاْذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لا تظلمون ولا تظلمون *

B.Terjemah

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhanya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang talah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusanya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.[275]. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa [276]. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapa pahala di sisi Tuhanya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati [277]. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman [278]. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan) [279].”

C.Pola Pentahapan dan Asbabun Nuzul

Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan dalam empat tahap.[2]

1.Ar- Rum, 30: 39

وما اْتيتم من ربا ليربوا في اموال النّاس فلا يربوا عند اللهوما اْتيتم من زكوة تريدون وجه الله فاْولئك هم المضعفون *

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya), [39].”

Dalam tahap ini, pinjaman riba yang zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarub kepada Allah SWT, ditolak dan tidak tidak diterima. Dan riba yang dimaksud untuk menambah harta itu, sebenarnya tidaklah menambah di sisi Allah. Ayat ini turun sebelum hijrah (Makiyah), belum menyatakan haramnya riba, tetapi sekedar menyatakan bahwa Allah tidak menyukainya.[3]

2.An-Nisa’, 4 : 160 – 161

فبظلم مّن الّذين هادوا حرّمنا عليهم طيبت أحلّت لهم وبصدّهم عن سبيل الله كثيراَ* واحذهم الرّبوا وقد نهوا عنه واكلهم اموال النّاس بالباطل واعتدنا للكافرين منهم عذابا اّليماَ*

“Maka, disebabkan kezalaiman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dilalakan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah;[160]. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih;[161].”

Ayat ini turun dalam konteks waktu itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang telah dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak budayakan adalah riba.[4] Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai khabar tentang perbuatan mereka dan sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman untuk mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim dari Muhammad b. Abdillah b. Yazid al-Muqri dari Yahya b. Uyainah dari Amr b. Ash).[5]

Dalam tahap ini, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang yahudi dilarang melakukan riba, tetapi larangan itu dilanggar mereka sehingga mereka dimurkai Allah SWT dan diharamkan kepada mereka sesuatu yang telah pernah dihalalkan kepada mereka sebagai akibat pelanggaran yang mereka lakukan.[6] Ayat ini turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk sebagaimana yang didapat orang-orang yahudi.[7]

3.Ali Imron, 3: 130

يايها الّذين امنوا لا تاءكلوا الربوا اضعافا مضاعفة واتّقوا الله لعّلكم تفلحون *

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntunga;[130].”

Dalam tahap ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahawa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Ayat ini turun pada tahun ke tiga hijrah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa criteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari parktik pembungaan uang pada saat itu.

Pada waktu itu terdapat orang-orang yang melakukan akad jual beli dengan jangka waktu tertentu (kredit). Apabila waktupembayaran telah tiba, mereka ingkar, tidak mau membayar, sehingga dengan demikian bertambah besarlah bunganya. Dengan menambah bunga berarti mereka bertambah pula jangka waktu untuk membayar. Sehubungan dengan kebiasaan seperti ini Allah menurunkan ayat ini, yang pada intinya memberi peringatan dan larangan atas praktik jual beli yang demikian itu. (HR. Faryabi dari Mujahid).[8] Dalam riwayat lain diceritakan bahwa, di zaman Jahiliyah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadhir, pada waktu yang telah dijanjikan untuk membayar hutang itu, Tsaqif berkata: “Kami akan membayar bunganya dan kami meminta agar waktu pembayaranya ditangguhkan. Sehubungan dengan hal itu Allah SWT menurnkan ayat 130 sebagai peringatan, larangan dan ancaman bagi mereka yang membiasakan berbuat riba. (HR. Faryabi dari Atha’)[9]

4.Al-Baqarah : 278 – 279.

يايها الّذين امنوا اتقوا الله وذرا ما بقي من الرّبواان كنتم مؤمنين * فان لم تفعلوا فاْذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لا تظلمون ولا تظلمون *

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.{278}. Maka jika kamu tidak mengerjakanya (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan);[279].”[10]

Pada tahap akhir ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ayat 278 dan 279 diturunkan sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur Mekah Itab bin Usaid setelah terbunya Kota Mekah tentang utang-utang yang dilakukan dengan riba sebelum turunya ayat yang mengharamkan riba. Bani Mughirah menghutangkan harta kekayaan kepada Bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada Itab bin Usaid: “Kami adalah segolongan yang paling menderita lantaran dihapuskanya riba. Kami ditagih riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba lagi karena taat kepada peraturan Allah AWT yang menghapu riba”. Bani Amr bin Auf berkata: “Kami minta penyelesaian tagihan riba kami”. Oleh sebab itu Gubernur Mekah Itab bin Usaid mengirim surat kepada Rasulullah SAW yang isinya melaporkan kejadian tersebut. Surat ini dijawab oleh Rasulullah SAW setelah turunya ayat 278 dan 279 ini. Didalam ayat ini ditegaskan tentang perintah untuk meninggalkan riba.[11]

D.Munasabah Ayat

Dalam ayat-ayat yang terdahulu berbicara tentang nafkah atau sedekah dalam berbagai aspeknya. Dalam anjuran bernafkah, tersirat anjuran untuk bekerja dan meraih apa yang dapat dinafkahkan. Karena bagiamana mungkin dapat memberi, kalau anda tidak memiliki. Nah, ada cara perolehan harta yang dilarang oleh ayat ini, yaitu yang bertolak belakang dengan sedekah.[12] Cara tersebut adalah riba. Sedekah adalah pemberian tulus dari yang mampu kepada yang butuh tanpa mengharapkan imbalan dari mereka. Riba adalah mengambil kelebihan di atas modal dari yang butuh dengan mengeksploitasi kebutuhannya. Para pemakan riba itulah yang dikecam oleh ayat ini, apalagi praktik ini dikenal luas di kalangan masyarakat arab.[13]

Apabila dicermati satu persatu ayat-ayat di atas, riba dikaitkan dengan beberapa hal, seperti jual beli, shodaqah, hutang dan sebagainya. Dan kata-kata kunci tersebut mengkonstruk pemikiran pembaca terhadap kuatnya larangan perbuatan riba.[14] Berikut ini dijelaskan tentang kata-kata kunci tersebut yang dihubungkan dengan riba.

1.Riba dan jual beli

Kaum musyrik mempersamakan riba dengan jual beli. Bukankah keduanya menghasilkan keuntungan? Demikian, lebih kurang, logika mereka. Ayat ini menyampaikan ucapan mereka yang menyatakan, jual beli tidak lain kecualli sama dengan riba.[15] Mereka berkata seperti itu, padahal Allah telah manghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Ini karena substansi keduanya sungguh berbeda. Jual beli adalah transaksi yang menguntungkan kedua belah pihak, sedangkan riba merugikan salah satu pihak. Keuntungan yang pertama diperoleh melalui kerja manusia; sedangkan yang kedua, yang menghasilkan adalah uang bukan kerja manusia. Jual beli mengandung unsur menuntut aktivitas manusia, sedangkan riba tanpa aktivitas mereka. Jual beli mengandung kemungkinan untung dan rugi, tergantung kepada kepandaian mengelola, kondisi dan situasi pasar pun ikut menentukan; sedangkan riba menjamin keuntungan bagi yang meminjamkan, dan tidak mengandung kerugian. Riba tidak membutuhkan kepandaian, dan kondisi pasar pun tidak terlalu menentukan. Itu sedikit yang membedakannya.[16]

2.Riba dan shadaqah

Penganiayaan yang timbul karena praktek riba menimbulkan kedengkian di kalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi sedikit semakin meluas, sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana yang membinasakan. Jangan dikira bahwa kebinasaan dan keburukan riba hanya tercermin pada praktek-praktek amoralyang dilakukan oleh para lintah darat, tatapi kebinasaan itu juga menimpa bidang ekonomi, pada tingkat individu dan masyarakat. Banyak pengalaman dalam kedua tingkat itu yang dapat dijadikan contoh. Banyak peristiwa yang membuktikan, betapa mereka yang melakukan transaksi riba pada akhirnya terjerumus dalam kemiskinan.[17]

Lawan riba adalah sedekah. Tidak heran jika Allah menyuburkan sedekah. Jangan dikira bahwa penyuburan, penambahan dan pengembangan itu hanya dari sisi spiritual, atau kejiwaan yang dilahirkan oleh bantuan pemberi sedekah. Jangan diduga hanya ketenangan batin dan ketentraman hidup yang diraih oleh pemberi dan penerima. Akan tetapi dari segi material pun sedekah mengembangkan dan menambah harta. Karena, seseorang yang bersedekah tulus akan merasakan kelezatan dan kenikmatan membantu, dan ini gilirannya melahirkan ketenangan dan ketenteraman jiwa yang dapat mendorongnya untuk lebih berkosentrasi dalam usahannya. Di sisi lain, penerima sedekah dan infak, dengan bantuan yang diterimanya akan mampu mendorong terciptanya daya beli dan penambahan produksi. Itu sedikit dari fungsi sedekah dan infak dalam pengembangan harta.[18]

3.Hutang dan Kesulitan hidup

Apabila ada seseorang yang berada dalam situasi sulit, atau akan terjerumus dalam kesulitan bila membayar hutangnya, maka tangguhkan penagihan sampai dia lapang. Jangan menagihnya jika kamu mengetahui dia sempit, apalagi memaksanya membayar dengan sesuatu yang amat dia butuhkan.[19]

Dan orang yang menangguhkan itu, pinjamannya dinilai sebagai qardh hasan, yakni pinjaman yang baik. Setiap detik ia menangguhkan dan menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula Allah memberinya ganjaran, sehingga berlipat ganda ganjaran itu. Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah qardh hasan (pinjaman yang baik), maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak. (QS. Al-hadid 57:11). Ia melipatgandakan, karena ketika itu yang meminjamkan mengharap pinjamannya kembali, tetapi tertunda dan diterimanya penundaan itu dengan sabar dan lapang dada. Ini berbeda dengan sedekah yang sejak semula yang bersangkutan tidak lagi mengharapkannya. Kelapangan dada dan kesabaran menuggu itulah yang dianugerahi ganjaran setiap saat oleh Allah sehingga pinjaman itu berlipat ganda.[20]

Yang lebih baik dari meminjamkan adalah mensedekahkan sebagian atau semua utang itu. Kalau demikian, jika kamu mengetahui bahwa hal tersebut labih baik, maka bergegaslah meringankan yang berhutang atau membebaskannya dari hutang.

E. Sejarah Riba

Ayat-ayat al-Qura, di atas membicarakan riba sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya datang larangan tegas pada akhir periode penetapan hokum riba. Riba pada agama-agama samawi telah dinyatakan haram. Tersebut dalam Perjanjian Lama Kitab keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang di anatar warga bangsamu uang muka maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang”.[21] Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap non Yahudi.[22] Hal ini tersebut dalam kitab Ulangan ayat 20 pasal 23.

Reputasi bangsa Yahudi dalam bisnis pembungaan uang memang sangat terkenal. Pada masa kini pun di AS, praktek pembungaan uang oleh kelompok etnis Yahudi, di luar lembaga perbankan, koperasi atau credit union, masih menjadi fenomena umum. Di negeri kita, kegiatan ini dikenal sebagai tukang kredit.[23]

Tetapi Islam mengangap bahwa ketetapan-ketetapan yang mengharamkan riba yang hanya berlaku pada golomgam tertentu, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Lama merupakan ketetapan yang telah dipalsukan. Sebab riba diharamkan bagi siapa saja dan terhadap siapa saja, karena hal itu merupakan suatu yang zalim dan kezaliman, sehingga diharamkan kepada semua tanpa pandang bulu. Islam tidak membedakan manusia karena bangsanya atau warna kulitnya atau keturunanya. Karena manusia adalah hamba Allah. Tetapi umat Yahudi menganggap ada perbedaan besar antara umat yahudi dengan umat yang lain, sebagaimana mereka katakana dalam al-Qur’an; “Kami adalah putra-putra Allah dan kekasih-Nya”.[24]

Berbeda dengan umat Yahudi, umat Nasrani dalam hal riba, secara tegas mengharamkan riba bagi semua orang, tanpa membedakan kalangan Nasrani maupun non-Nasrani. Tokoh-tokoh gereja sepakat berpegang pada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka.[25] “Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalanya, maka dimana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya. Karena pahala kamu akan sangat banyak.”[26]

Ketetapan semacam ini menuntunkan pengharaman riba dengan tegas dalam agama nasrani. Namun kaum periba berusaha untuk menghalalkan beberapa keuntungan yang tidak dibenarkan oleh pihak geraja karena pengaruh ekonomi yahudi. Akhirnya muncul anggapan dan pendapat, bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrative dan organisasi dibenarkan. Akhirnya banyak orang mengambil fatwa ini sehingga berani menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah.[27]

E.Riba[28] Dan Bunga Bank

Pertanyaan seputar persolan bunga bank apakah sama dengan riba,[29]masih sering kali mencuat dan menyisakan banyak persoalan yang belum tuntas terjawab. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh rumusan riba nasi’ah[30] oleh para fuqaha yang disimpulkan oleh Wahbah Zuhali dengan, “mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari hutang pokok”.[31]

Dalam sejarah peradaban manusia, tidak selamanya tambahan atas jumlah pinjaman itu mendatangkan kesengsaraan. Ada juga yang mendatangkan keuntungan baik kepada penerima maupun pemberi pinjaman. Tetapi Karena rumusan di atas sudah demikian mapan dalam ilmu Fiqh, maka semua kegiatan ekonomi yang mengandung formula “tambahan atas jumlah pinjaman”, baik berakibat menyengsarakan atau menguntungkan, tetap dimasukan dalam riba yang diharamkan itu.[32] Begitu jelas mapanya rumusan riba nasi’ah, sehingga para fuqaha tidak lagi menganggap ada persoalan, “apa sebab riba mendatangkan kesengsaraan” atau bagaimana kondisi pihak peminjam dan pemberi pinjaman ketika terjadi perjanjian yang menuju riba?. Perhatian mereka tertuju pada pencarian illat, barang-banarng apa yang boleh atau tidak boleh dijualbelikan dengan tenggang waktu.

Pada masa sekarang, adanya upaya peninjauan ulang tentang riba dalam al-Qur’an disebabkan oleh kontak orang Islam dengan kegiatan perbankan. Bank adalah bagian dari peradaban Barat. Maka, yang dimaksud dengan kontak itu adalah sesudah diterimanya peradaban Barat oleh para tokoh pembaharu dalam Islam, yaitu sesudah abad ke-18.[33]Karenanya, kontroversi tentang hokum bunga bank muncul sesudah kurun waktu tersebut, tidak sebelumnya. Dalam catatan sejarah, berdirinya lembaga perbankan di berbagai negara Islam adalah sesudah abad ke- 20.[34]

Sebagai finacial intermediary, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan danaketika ia memberi pinjaman. Dalam kegiatan ini, muncul apa yang disebut bunga. Menurut Sri Edi Swasono, bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi jual beli tersebut.[35] Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai jasa, merupakan ongkos adminstrasi dan ongkos sewa.[36]

Untuk mengetahui lebih mendalam tentang ihwal hokum bunga bank, di sini akan dipaparkan analisis yang berpijak dari kerangka penalaran bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik riba dalam al-Qur’an.

1.Penalaran bayani

Dalam surah Ali Imran: 30, riba diberi sifat “lipat ganda”. Tidak demikian yang tersurat di dalam surah al-Baqarah: 278. dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap pengembalian melebihi jumlah pokok modal disebut riba. Ada kesan paradoks antar dua ayat dari dua surat di atas. Sehingga ada ulama yang mengatakan, riba yang terlarang adalah yang mempunyai unsur lipat ganda.[37] Ada pula yang tidak membatasi riba berlipat ganda, seperti pendapat fuqaha pada umumnya.

Akhir surat al-Baqarah : 278, ditegaskan “….. kamu tidak berbuat zalim, tidak pula menjadi korbanya”. Jika ini yang dijadikan tolak ukur riba, maka jalan tengah dapat ditemukan. Yaitu betapa pun kecilnya tambahan itu, apabila menimbulkan kesengsaraan (zulm) termasuk riba. Hanya saja, karena di masa Rasul riba selalu mengambil ad’af mudha’afah, tidak dalam bentuk lain, maka sifat ini disebut dalam al-Qur’an. Dengan demikian , ad’af mudh’afah relevan dengan ketidakadilan.[38]

Perlu dijadikan pertimbangan, bahwa di masa Rasul tidak ada inflasi, karena mata uang yang berlaku adalah uang mas dan perak (dinar dan dirham). Karenaya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana inflasi melanda mata uang tertentu, maka pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman tidak menggambarkan keadilan, sebaliknya, menimbulkan kerugian sepihak. Kalau statemen la tazlamun wa la tuzlamun (al-Baqarah: 278) dijadikan kunci dalam memahami riba dalam al-qur’an, maka pengembalian hutang sebesar pinjaman berikut bunga yang proporsional dengan besarnya inflasi akan menjamin keadilan dari pada tambahan. Kalau demikian, maka pemahaman lebih adil tentang pokok modal masa sekarang untuk kasus Indonesia, adalah modal dihitung berdasarkan kurs, bukan berdasarkan nilai nominal. Dengan cara demikian maka pihak pemberi pinjaman maupun yang meminjamn tidak dirugikan.

1.Penalaran ta’lili

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, bahwa riba didefinisikan sebagai “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang..” Jadi tekananya pada “tambahan” sebagai ciri pokok riba.

Riba juga dapat didefinisikan dengan tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam”. Di sini tekanannya ada pada “kesengsaraan/zulm” bukan ‘tambahan’. Tambahan sebagai ‘an-nau’/ ‘species’, sedangkan kesengsaran sebagai al-jins/ genus/ ‘illat. Sama halnya dengan ungkapan “khamar” adalah minuman yang memabukan”, maka khamr adalah sesuatu yang didefinisikan, minuman sebagai an-nau’/ sepecies, dan memabukan sebagai al-jins/ genus/ ‘illat.[39]

Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa esensi riba adalah “tambahan”, dan ada pula yang mengatakan esensinya adalah “zulm’. Namun, jika kembali kepada pangkal persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ‘illat larangan riba seharusnya ‘zulm’ bukan “tambahan”.[40]

F.Berbagai Fatwa Tentang Riba

Hampir semua Majelis Fatwa ormas Islam berpengearuh di Indonesia, seperti Muhammadiya dan Nahdlatul Ulama, telah membahas masalah riba. Pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah umatnya. Untuk itu, kedua oraganisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad, yaitu Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama.

Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputasan kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba dan pembungaan uang.

1.Majelis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hokum ekonomi/ keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan pinjam (1989).[41]

Majelis tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan: (a) riba hukumnya haram dengan nash sharih al-qur’an dan as-Sunnah; (b) bank dengan system bunga hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal; (c) bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat;(d) menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah islam.

Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban, sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank swasta waktu itu relatif rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).[42]

Majelis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972) memutuskan: (a) mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya tentang konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan sesuai dengan kaidah Islam; (b) mendesak Majelis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.[43]

Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan muktamar Majelis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian keuangan atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan pinjam dibahas dalam Muktamar Majelis Tarjih Malang 91989). Keputusanya; koperasi simpan pinjam bukan termasuk riba.

Berdasarkan keputusan Malang di atas, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah mengeluarkan satu tambahan keterangan, yakni bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan peminjam kepada koperasi simpan pinjam bukanlah riba. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya, perlu mengingat beberapa hal. Diantaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi.

1.Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama

Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hokum bank dan hokum bunganya sepertai gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah tersebut, yaitu; (a) haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente; (b) halal, sebab tidak ada syart pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak begitu saja dijadikan syarat; (c) syubhat (tidak tahu halal-haramnya), sebab para ahli hokum berselisih pendapat tentangnya.[44] Meskipun ada perbedaan pandangan, lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih hati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.

Keputusan lajnah bahsul Masail yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada sidang di Bandar lampung (1982). Kesimpulan sidang yang membahas tema masalah bank Islam tersebut antara lain sebagai berikut:

1.Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hokum bunga bank konvensional. (a) ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dan riba secara mutlak, sehinga hukumnya haram; (b) ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh; (c) ada pendapat yang menyatakan hukumnya subhat (tidak identik denga haram).

2.Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan Nasional dan dalam kehidupan social ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan warga NU. Karenanya lajnah memandang perlu mencari jalan keluar menentukan system perbankan yang sesuai dengan hokum Islam, yakni bank tanpa bunga dengan langkah-langka sebagai berikut; (a) sebelum tercapai cita-cita di atas, hendaknya system perbankan yang dijalankan sekarang ini segera diperbaiki; (b)perlu diatur hal-hal berikut; pertama, penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip Al-Wadi’ah (simpanan) dan al-Mudharabah; kedua, penanaman dana dan kegiatan usaha. (c) Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk suatu tim pengawas dalam bidang syari’ah, sehingga dapat menjamin keseluruhan operasional bank NU tersebut dengan kaidah-kaidah muamalah Islam; (d) para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan system tanpa bunga.[45]

G.Kesimpulan

Dari kajian dan pembahasan makalah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa wacana tentang riba masih belum selesai dan akan tetap terus diperdebatkanstatusnya dan aplikasinya dalam setiap konteks zaman. Dan sudah menjadi kebulatan pendapat kaum muslimin bahwa hokum riba adalah haram. Dengan demikian ayat tersebut dalam kandungan normatifnya bestatus muhkam. Sementara dalam aplikasinya para ahli hokum Islam mempunyai beragam pendapat dengan beragam argumen. Dengan demikian dalam konteks aplikasi persoalan riba adalah musytabihat. Sehingga ketika sesorang mengambil hokum riba untuk sesuatu perbuatan tentunya tergantung dari metode apa yang dipakai.

Daftar Pustaka

Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank, dan Keridit perumahan”, dalam Chuzaimah T. Yanggo & HA. Hafiz Anshary AZ (Ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku ke-3, Jakarat: Pustaka Firdaus & LSIK, 1995.

A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an , Jakarta: Rajawali Pers, 1989.

Abu Sura’I Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, Surabaya: al-Ikhlash, 1993.

Departemen Agama RI Proyek Pengadaan kitan Suci Al-Qur’an, Al-Qur’an dan terjemahnya, Jakarta: CV Indah Press, 1992/1993.

Edgar Salin, “ususry” vol. 15; dalam Encyclopedia of The Social Sciences, The Macmillan Co. N. Y.,1986.

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah, Jakarta; Logos Publishing House, 1995.

Frank H. Knight, “Interest” Vol. 7-8;dalam Encyclopedia of The Social Sciences, The Macmillan Co. N. Y.,1986.

Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer”, dalam Aunurafiq (ed), Mazhab Jogja: Menggagas Pradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN & ar-Ruzz Press, 2002.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur’an (pendekatan Tafsir Tematik); Proposal Penelitian Untuk Penyusunan Desertasi, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1993.

Julius Landman, “Commercial Banking, History to the Close of Eighteenth Century, Vol 1-2 dalam Encyclopedia of The Social Sciences, The Macmillan Co. N. Y.,1986.

M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2000.

Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.

Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002.

M. Dawam Raharjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal ilmu dan Kebudayaan: ulumul Quran, No. 9, vol. I, th. 1991/1411H.

M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial – Ekonomi, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999.

Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur;an dan Perbankan: Sbuah Tilikan antisipatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 141.

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-manar, Jilid III, Bairut: Dar al-Ma’arif, tt.

Muhammad Syafi’ie Antonio, Bank syariah dari terori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institute, 2001.

Perry Warjiyo, “Muslim dan Sumber-sumber Penghasilan”, Kumpulan makalah Pembangunan Ekonomi dan Pendidikan Menurut Islam, Pengajian Keluarga Muslim Indonesia, IOWA State University, Amerika serikat, 1991.

Sri Edi Swasono, “Bank dan Suku Bunga”, dalam Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988.

Sloan and Zurcher, Dictionary of Economics, New York: McGraw – Hill, 1978.

The American Heritage, Dictionary of the English Language, Mew York: McGraw – Hill, 1967.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 199 .

Wahbah az-Zuhali, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, Bairut: Dar al-Fikr, 1985.

Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir: Fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Vol. 3, Damascus, Syria: Dar al-Fikr, tth.

ENDNOTES
==============================================================
[1] Tafsir tematis (maudhu’iy) yang digunakan dalam makalah ini sebagaimana yang diutarakan oleh M. Quraish Shibah langkah-langkahnya adalah sebagai berikut; (1) menetapkan masalah yang akan dibahas; (2) menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; (3) menyusun runtutan ayat sesuai dengan amasa turunya; (4) memahami korelasi ayat-ayat tersebut; (5) menyusun out line; (melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan; dan mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan. Lihat M. Quraish Shihab dalam Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur’an (pendekatan Tafsir Tematik); Proposal Penelitian Untuk Penyusunan Desertasi, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1993, h. 17.

[2] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institut, 2001), h. 48 – 50. Kronologi ini pada umumnya telah disepakati oleh jumhur ulama pada umumnya. Sementara kalau kronologi menggunkan kerangka teoritik Barat terutama T. Noeldeke, hasilnya akan sangat berbeda. Dan kronologi ini digunakan oleh M. dawam rahardjo ketika menulis tentang masalah riba. Menurutnya bahwa istilah ribadisebut dalam al-Qur’an sebanyak tujuh kali. Secara kronologis, ayat pertama yang turun adalah yang tercantum dalam surat ar-Rum : 39. Ayat ini memberikan suatu definisi tentang riba. Selanjutnya, soal riba dibahas dalam serumpun ayat dalam surat al-Baqarah ayat-ayat 275, 276, 278, dan 280. Definisi lain mengenai riba disebut dalam surat Ali Imran : 130. Ayat inilah yang membuka diskusi dan memberi peluang terhadap penafsiran yang lain tentang riba. Dan ayat terakhir turun tercantum dalam surat al-Nisa : 161. Lihat. M. Dawam rahadjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan: Ulumul Quran, No. 9, Vol II. Th 1991/1411H, h. 45.

[3] Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank, dan Keridit perumahan”, dalam Chuzaimah T. Yanggo & HA. Hafiz Anshary AZ (Ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku ke-3, (Jakarat: Pustaka Firdaus & LSIK, 1995), h. 35.

[4] Ayat ini turun menarik perhatian. Sebab di situ soal riba dikaitkan dengan aktivitas orang-orang Yahudi. Dapat diduga bahwa riba adalah aktivitas khas orang yahudi pada masaRasulullah SAW.Menurut mufasir Muhammad Assad (Leopald Weiss), dalam The Message of the Qur’an (Dar Andalus, Gibraltar, 1984) dahulu, setelah dibebaskan oleh Nabi Musa dari belenggu perbudakan fir’aun, bangsa Yahudi beroleh berbagai kenikmatan hidup. Tetapi sesudah itu, terutama setelah Nabi Isa, bangsa Yahudi mengalami berbagai malapetaka dan kesengsaraan dalam sejarah mereka. Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka menjalankan praktek riba dan memakan harta manusia secara batil. Padahal pekerjaan itu, seperti dikatakan al-Qur’an, telah dilarang dalam kitab mereka sendiri, yaitu kitab Taurat dan Zabur yang kini dikenal sebagai kitab Perjanjian Lama. Agaknya karena itulah mereka tidak disukai kaum pribumi, dimana pun mereka tinggal. M. Dawam rahadjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan: Ulumul Quran, No. 9, Vol II. Th 1991/1411H, h. 45. Lihat juga Muhammad, Kebjakan Fiskal dan Moneter dalam Islam, (Jakarta: Penerbit salemba Empat, 2002), h. 52-53.

[5] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an , (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 307-308.

[6] Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank, dan Keridit perumahan”, h. 36.

[7] Ahmad Sukardja, “Riba, Bunga bank, dan Keridit perumahan”, h. 36.

[8]A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul , h. 193.

[9] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, h. 193.

[10] Terjemah ayat-ayat ini sepenuhnya diambil dari Departemen Agama RI Proyek Pengadaan kitan Suci Al-Qur’an, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta: CV Indah Press, 1992/1993).

[11] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, h. 133 – 134.

[12] Wahbah Zuhaili menandaskan bahwa hubungan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya (munasabah) merupakan hubungan yang bersifat pertentangan (munasabah al-Tadlad). Lihat. Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir: Fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Vol. 3, (Damascus, Syria: Dar al-Fikr, tth), h. 85.

[13] M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 549 –550.

[14] Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir: Vol. 3, h. 93.

[15] Menurut Quraish Shihab, bahwa dari segi redaksi, ucapan mereka saja sudah menunjukkan bagaiman kerancuan berfikir dan ucapan mereka. Mestinya mereka berkata “riba tidak lain kecuali sama dengan jual beli”, karena masalah yang dibicarakan masalah riba, sehingga itu yang harus didahulukan penyebutannya, tetapi mereka mambaliknya. Ini contoh sederhana dari pembalikan logika mereka serta keterombangambingan yang mereka alami. Bisa jadi juga, ucapan itu untuk menggambarkan betapa riba telah mandarah daging dalam jiwa mereka, sehingga menjadikannya sebagai dasar transaksi ekonomi yang diterima secara pasti, sebagaimana halnya jual beli. M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Vol. 1, h. 554.

[16] M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Vol. 1, h. 554.

[17] M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Vol. 1, h. 554

[18] M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Vol. 1, h. 554

[19] “Siapa yang menagguhkan pembayaran hutang orang yang berada dalam kesulitan, atau membebaskanya dari hutangnya, maka dia akan dilindungi Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan-Nya(hari kiamat) “ (HR. Imam Muslim)

[20] M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Vol. 1, h. 554

[21] Abu Sura’I Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlash, 1993), h. 7. Lihat juga Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 144.

[22] Barangkali realitas yang demikian ini, menjadikan bangsa yahudidikutuk oleh Allah. Dalam al-Qur’an (al-Baqarah : 61) dikatakan bahwa orang-orang Yahudi adalah bangsa yang terkena murka Allah dan di dalam Injil (Kitab Ulangan 28:64, 65)mereka disebut sebagai kaum yang dimusuhi dimana-mana. Pada abad pertengahan, orang-orang Yahudi, sebagai bangsa tak bertanah air, pada mulanya bergerak dibidang perdagangan, karena itu mereka ditolak masyarakat setempat untuk bekerja disektor pertanian, mengingat pekerjaan itu menyangkut pemilikan tanah. Karena itu merreka hanya bisa berdagang. Tapi justru karena digiring ke sektor tertentu saja itulah, maka orang-orang Yahudi sangat maju dalam perdagangan. Inipun menimbulkan kecemburuan sosial dikalangan kaum pribumi Eropa. Mereka pun kemudian mendesak kaum Yahudi dari arena perdagangan. Pada awal abad ke-11, orang-orang Yahudi mulai mengubah profesi mereka sebagai pembunga uang. Pada abad ke-14, jati diri Yahudi telah berubah dari perdagangan menjadi pembunga uang. Faktor keterdesakan itulah agaknya yang membuat orang Yahudi menjadi unggul dalam bisnis uang. Keluarga Itali, Lombardia dan Cahorsia, baru menyusul kemudian. Mereka adalah keluarga pedagang katolik. Sekalipun berdasar moral agama yang resmi, keluarga itu dikutuk sebagai pembunga uang, namun tidak urung mereka mendapat penghormatan yang tinggi juga di kalangan bagsawan, bahkan gereja sendiri. M. Dawam Raharjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal ilmu dan Kebudayaan: ulumul Quran, No. 9, vol. I, th. 1991/1411H, h. 46. Lihat juga Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002), h. 52 –53.

[23] Larangan riba bukan unik budaya hukum Yahudi. Para filsuf yunani kuno dan romawi kuno juga telah mengembangkan teori yang mendasari pelarangan riba. Di Yunani umpamanya, riba disebut sebagai rokos, yaitu sesuatu yang dilahirkan oleh suatu mahkluk organik (inorganic), dan digunakan sebagai medium pertukaran. Karena itu maka uang tidak bisa”beranak”. Barang siapa yang meminta bayaran dari meminjamkan uang, maka tindakannya itu oleh Aristoteles, dinilai sebagai bertentangan dengan hukum alam. Di Athena, pada zaman pemerintahan Solon, bunga memang tidak dilarang, tetapi tingkat suku bunga dibatasi, antara lain dengan tujuan untuk melindungi penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Di Roma, table dua belas diciptakan untuk membatasi suku bunga hingga 10% saja per tahun. Tapi pada tahun 342 SM, telah diumumkan lex genucia yang melarang pengambilan bunga uang berapa pun juga tingkatnya. Membungakan uang sama dengan melakuakan tindak kejahatan.

Sekalipun undang-undang tersebut secara resmi tidak pernah dicabut, namun larangan riba ada perkecualianya juga, yaitu dalam pemberian uang muka untuk perdagangan laut (foenus naticum). Pada masa kaisar Justinian, tingkat bunga diatur hingga 6% saja untuk pinjaman umumnya, 8% untuk kerajianan dan perdagangan, 4% untuk bangsawan tinggi, tetapi 12% untuk perdagangan maritim. Sungguhpun demikian, hukum tersebut berlaku dengan berbagai tekanan dari para filsuf dan teolog kristen yang menentang riba. Berbagai pengecualian dalam pelarangan riba itulah yang menimbulkan peluanag bagi praktek riba. Dalam Imperium Roma, para bangsawan mendapat penghasilannya dari riba. Dari situlah sumber timbulnya kekuatan financial di itali di kemudian hari. Pada zaman abad pertengahan, tanpil keluarga lombardia dan Cahorsina yang memiliki Wisma Arta (House of Finance) terbesar di Itali. tapi di samping itu, peranan dan kekuatan orang-orang Yahudi juga sangat menonjol dan tersebar di masyarakat. M. Dawam Raharjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal ilmu dan Kebudayaan: ulumul Quran, No. 9, vol. I, th. 1991/1411H, h. 46.

[24] QS. Al-Nisa’ [4]: 160 –161.

[25] Pada mulanya doktrin resmi gereja maupun pandangan kaum cendekiawannya disepanjang abad pertengahan, mengenai riba, tetap konsisten dengan pandangan Injil (Lukas VI : 35) seperti juga diisyratkan dalam surat al-Nisa’ ayat 161, bahwa orang-orang yang rasikh (cendekiwan)dan orang-orang yang beriman, tetap berpegeng kepada doktrin alkitab. Ini tercermin dari ajaran Paus Gregorius dari Nyassa dan teolog filsuf agung, Thomas Aquinas. “Kaum beriman” kata Paus Gregorius, “tidak boleh mengambil keuntungan dari memijamkan emas dan logam mulia lainnya” yakni dari semua obyek yang tidak bisa beranak. Doktrin ini, selama seribu tahun, dapat dipertahankan, semua pinjaman pada umumnya hanya dipergunakan untuk keperluan konsumsi oleh mereka yang kekurangan dan membutuhkannya. Praktek memberi hutang dengan menarik riba dapat diimbangi dengan doktrin karitas atau sedekah.. M. Dawam Raharjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal ilmu dan Kebudayaan: ulumul Quran, No. 9, vol. I, th. 1991/1411H, h. 46. lihat juga Muhammad Syafi’ie Antonio, Bank syariah dari terori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institute, 2001), h. 45 –46.

[26] Injil Lukas ayat 34 dan 35.

[27] Pada abad ke –15 masih berlangsung perdebatan. Misalnya pemikir Gerson berpegang teguh pada pendapat bahwa uang itu tidak bisa dikembangbiakan seperti memelihara hewan. Namun, berapa tokoh gereja, seperti Francisan Bernardio dari Siena dan Dominican Antonio dari Florenca, dua tokoh pendakwah pada awal reinesance, justru memberi jalan keluar bagaimana transaksi keuanagn tidak disebut riba. Meski demikian, Kardinal Gajetan, dalam syarahnya terhadap buku Summa, karya Thomas Aquinas, menghidupkan kembali doktrin sterilitas uang. (mengenai sejarah riba dan perbedaan – perbedaan pendapat di dalammnya, baca artikel-artikel Edgar Salin, “ususry” vol. 15; Julius Landman, “Commercial Banking, History to the Close of Eighteenth Century, Vol 1-2 dan Frank H. Knight, “Interest” Vol. 7-8; semuanya dimuat dalam Encyclopedia of The Social Sciences, The Macmillan Co. N. Y.,1986.)

[28]Sementara kata riba berasal dari akar kata r-b-w, artinya tumbuh, menambah atau berlebih. Al-Riba atau ar-Rima makna asalnya adalah tambah, tumbuh dan subur.

[29] Dalam bahasa Inggris antara bunga dan riba dibedakan. Secara leksikal, bunga sebagi terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus, bahwa interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan prosentasi dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.” Sementara riba dalam bahas inggris sering diterjemahkan orang sebagai “usury” yang artinya “the act of lendeing Money at an exorbitant or illegal rate of interest”. The American Heritage, Dictionary of the English Language, (Mew York: McGraw – Hill, 1967), h.1023 &132. Sloan and Zurcher, Dictionary of Economics, (New York: McGraw – Hill, 1978), h. 104.

[30] Sementara dalam Ensiklopedi islam Indonesia, pengertiantambah dalam konteks ribaditerjemahkan dengan tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit ataukah berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan al-Qur’an. Lihat Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, h .

[31] Wahbah az-Zuhali, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, (Bairut: Dar al-Fikr, 1985), h.672. lihat pula Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer”, dalam Aunurafiq (ed), Mazhab Jogja: Menggagas Pradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN & ar-Ruzz Press, 2002), h. 173. Menurut Fuad Zen bahwa Rumusan riba nasi’ah itu telah dapat menggambarkan bentuk formal praktik riba Jahiliyah secara tepat. Kerugian sepihak dan kezaliman sebagai ‘hakikat” riba pada waktu itu ditimbulkan oleh bentuk formal kegiatan ekonomi seperti tercantum dalam rumusan tersebut. Tampaknya kegiatan ekonomi yang formulanya seperti itu, sejak dahulu sampai masa fuqaha tetap mendatangkan kezaliman dan kerugian sepihak. Karena begitu melekatnya asosiasi antara tambahan atas jumlah pinjaman dengan penyengsaraan, maka penyengsaraan tidak perlu disebut lagi dalam rumusan.

[32] Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer”, h. 173.

[33] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 29.

[34] Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur;an dan Perbankan: Sbuah Tilikan antisipatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 141.

[35] Sri Edi Swasono, “Bank dan Suku Bunga”, dalam Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988), h. 128. Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh…”, h.174. Dalam perekonomian modern, bank berperan sebagai finacial intermediary, yaitu tugas bank adalah menerima simpanan, memberi pinjaman. Sesuai dengan kebutuhan manusia yang begitu kompleks, bank juga memberikan jasa, seperti penukaran mata uang, pengiriman uang, mengeluarkan dan mengedarkan uang sebagaiamana dalam undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Meskipun memberikan jasa pelayanan, bank bukan “lembaga social”. Bank adalah lembaga yang bergerak dalam usaha dagang. Karenanya, keuntungan menjadi sasaran penting dalam usahanya. Sebagai lembaga yang berkecimpung dalam peredaran uang, maka barang dagangan bank adalah uang dan jasa.

[36] Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh…”, h.174. Dalam lalu lintas perekonomian, suku bunga bank tidak konstan. Menurut Bank Indonesia, tingkat suku bunga dipengaruhi oleh berbagai factor; (a) likuiditas masyarakat; (b) ekspektasi inflasi; (c) besarnya suku bunga di luar negeri; (d) ekspektasi perubahan nilai tukar dan premi atas resiko. Jadi, betapapun rendahnya suku bunga tidak akan terlepas dari pertimbangan berbagai factor tersebut. Dalam system pengelolaan semacam ini, simpan pinjam tanpa bunga tampaknya tidak menumbuhkan perekonomian yang sehat, karena dari sector inflasi saja, daya beli uang berbeda karena perbedaan waktu, belum lagi perhitungan sector lain.

[37] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-manar, Jilid III, (Bairut: Dar al-Ma’arif, tt), h. 93.

[38] Muhammad Zuhri, Riba dalam al-qur’an dan Perbankan, h. 124.

[39] Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh…”, h.174.

[40] Apabila menarik pelajaran sejarah dari masyarakat barat, terlihat jelas bahwa “interest’ dan “usury” yang dikenal saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang., umumnya dalam prosentase. Istilah “usury’ muncul karena belum mapanya pasar keuangan pada zaman itu sehinga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang diangap wajar. Namun setelah mapanya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hokum permintaan dan penawaran. Lihat Perry Warjiyo, “Muslim dan Sumber-sumber Penghasilan”, Kumpulan makalah Pembangunan Ekonomi dan Pendidikan Menurut Islam, Pengajian Keluarga Muslim Indonesia, IOWA State University, Amerika serikat, 1991, h. 62.

[41] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial – Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), h. lihat Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institut, 2001), h. 58.

[42] Pembahasan lebih lanjut mengenai pendapat majelis tarjih, lihat Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah, (Jakarta; Logos Publishing House, 1995).

[43] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, h. 62

[44]Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, h. 63

[45] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke Praktik, h. 64 –65.




1 comment:

Pasa Firaya, ST said...

Berkunjung menjalin relasi dan mencari ilmu yang bermanfaat.
Sukses yach ^_^