Tauhid: Konsep Ketuhanan Dalam Islam


1. Pengertian Tauhid

Religious Myspace CommentsIstilah tauhid berasal dari a-ha-da artinya satu, tunggal. Dilihat dari arti bahasa tauhid bermakna menunggalkan atau megesakan. Sedangkan kalau dilihat dari arti istilah yang dimaksud dengan tauhid ialah mengesakan Allah swt, baik dari segi zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya (af’al).

Pengertian tauhid oleh Yusuf Qardhawiy dibedakan antara tauhid I’tiqadi ‘ilmi (keyakinan yang bersifat teoritis) dan tauhid I’tiqadi amali suluki (keyakinan yang bersifat praktis, tingkah laku). Adapun wujud atau bentuk tauhid yang bersifat teoritis berupa ma’rifat (pengetahuan), I’tiqadi (keyakinan), dan itsbat (pernyataan). Sedangkan wujud tauhid yang bersifat praktis berupa at-thalab (permohonan), al-qashdu (tujuan) dan al-iradah (kehendak). Menurut al-Qardhawiy keimanan sesorang tidak dapat diterima disisi allah selama tidak mentauhidkan Allah secara teoritis dan secara praktis (Yusuf Qardhawy, Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan; 19).

Meyakini terhadap eksistensi Allah haruslah mengandung pengertian mengakui terhadap apapun yang menjadi kemauan Allah yang seluruhnya telah dijelaskan lewat firman-Nya yang terdapat dalam al-qur’an al-karim. Oleh karena itu kalau dalam mentauhidkan Allah hanya sekedar berhenti pada keyakinan dan pengakuan tanpa diikuti dengan perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah, pengakuan seperti itu dapat dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada buktinya, atau sering disebut sebagai iman yang tidak sempurna (naqish). Iman atau pengakuan yang sempurna (tammah) kalau di dalamnya terdapatv tiga unsure yang bulat dan padu, yaitu meyakini dalam hati (tashdiqun bi al-qalbi), diikrarkan dengan ucapannya (iqrarrun bi al-lisani), serta diamalkan dengan tindakan yang konkret dan real (amalun bi al-arkani).

2. Paradigma Keyakinan Tauhid
Para ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid secara obyektif dan proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat unsur mutlak adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid sifatiyah (al-asma’ was-shifat).

a. Tauhid Rububiyah
Istilah rabb dilihat dari arti pokoknya mengandung arti yang majemuk. Menurut Abul A’la al-Maududi ia dapat bearti antara lain mendidik, membimbing, membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, menghimpun, memperbaiki, memimpin, mengepalai dan memiliki (Maududi, Pengertian Agama, Ibadah: 37-40). Sedangkan Qardhawy mengartikan bahwa tauhid rububuyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta semua makhluk dan penguasa seleuruh alam semesta. Dari sekian banyak arti tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata rabb mencakup semua pengertia sebagaimana di bawah ini:

1) Pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya.
2) Pembimbing yang menjamin tersedianya segala kebutuhan dan yang bertugas mengurus soal pendidikan dan pertumbuhan.
3)Pengasuh, penjaga, dan yang bertanggungjawab dalam mengajar dan memperbaiki keadaan.
4)Pemimpin yang dijadikan kepala, yang bagi anak buahnya tak ubah sebagi pusat tempat mereka berhimpun di sekelilingnya.
5)Pemuka yang ditaati, kepala dan pemilik kekuasaan mutlak, yang putusanya dipatuhi dan kedudukan serta ketinggianya diakui serta berwenang untuk memilih dan menentukan kebijaksanaan.
6) Raja yang dipertuan.

Dengan mengacu pada pengertian rabb sebagaimana di atas, maka yang dimaksud dengan tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh isinya (rabbul ‘alamain). Allah adalah satu-satunya zat yang mencipta, mengasuh, memelihara dan mendidik umat manusia (rabbun nas), Allah satu-satunya Zat yang mencipta semua makhluk yang ada di jagad raya ini. Dia ciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta dengan penuh perencanaan (QS Ali Imron (3): 191), dan diciptakan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada (cretio ex nihilo) dengan kemauan (iradah) dan kekuasan (qudrat)-Nya semata-mata.

b. Tauhid Mulkiyah
Kata malik yang berarti raja dan malik yang berarti memilki berakar dari akar kata yang sama yaitu, ma-la-ka. Keduanya memang mempunyai relevansi makna yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakekatnya adalah raja dari sesuatu yang dimilkinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang cuma mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakanya kepada orang lain, apalagi menjualnya. Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah swt sebagai rabb yang memilki alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini allah swt adalah malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang dimiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan bahwa allah swt adalah pemilik dan raja langit dan bumi dan seluruh isinya. Misalnya QS al-Baqarah (2): 107, Al-Maidah (5): 120, dan sebagainya.

Pada hakekatnya tauhid mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauihid rububiyah. Adanya keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah semata, diciptakan atas kemauan (iradah) dan kekuasaan-Nya, dan sama sekali bukan atas kemauan atau pesanan dari pihak lain, maka sudah barang tentu apabila seluruh hasil ciptaan-Nya tersebut adalah mutlah milik-Nya. Oleh karena itu, bila kita mengimani bahwa Allah swt adalah satu-satunya raja yang menguasai alam semesta (bumi, langit dan seluruh isinya), maka kita harus mengakui bahwa Allah swt adalah pemimpin (wali), penguasa yang menentukan (hakim) dan yang menjadi tujuan (ghayah).

a) Tidak ada Wali(Pemimpin) yang pantas Memimpin kecuali hanya Allah (La Waliya Illallah)

Ini adalah konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah swt adalah raja. Bukanlah raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya wewenang menentukan sesuatu. Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia, maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja symbol atau raja boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (ceremonial) belaka yang sangat tidak menentukan system kehidupan atau system pemerintahan. Seorang raja baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan singgasana atau karena sudah tinggal di istana, bukan. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila berfungsi sebagai pemimpin dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya didengar, perintahnya diikuti dan laranganya dihentikan. Dan apabila terjadi perselisihan dia yang akan menyelesaikan. Al-Qur’an banyak menjelaskan bahwa Allah swt adalah pemimpin orang-orang yang beriman, diantaranya adalah QS al-baqarah (2): 257, al-Maidah (5): 55, dan An-Nisa (4): 59.

b) Tidak ada Penguasa Yang Menentukan (Hakim) kecuali hanya Allah (La Hakima Illallah)
Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa Allah swt baru fungsional sebagai pemimpin bila dia berfungsi sebagai hakim (yang menentukan hukum, yang berkuasa, yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai wali haruslah mengimani Allah swt sebagai hakim yang menentukan hukum dan segala aturan lainya.

Allah swt menegaskan berkali-kali dalam kitab suci al-qur’an bahwa hak yang menentukan hukum itu hanya ada di tangan Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-An’am (6): 57, 62. Dan Allah swt memberi predikat fasiqun, zalimun, dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS Al-maidah (5): 44, 45, 47. Orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar, dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tetapi melanggar atau tidak melaksanakanya, karena menuruti hawa nafsunya maka orang tersebut disebut fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut zalim manakala merugikan oran lain.

c) Tidak ada Yang Pantas Menjadi Tujuan (Ghayah) kecuali hanya Allah (La Ghayata Illallah)
Bila Allah swt adalah wali (pemimpin) dan hakim (penguasa yang menentukan), maka kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah-lah yang menjadi ghayah (tujuan, orientasi, kiblat atau fokus) kita (QS al-An’am (6): 162).

c. Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari al-ilahu, artinya al-ma’luh yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan (Muhammad Shalih, Prinsip-prinsip dasar Keimanan: 125). Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan penuh kecintaan hati. Tunduk kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah diri ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya. Semua itu hanya ada pada Allah semata (Yusuf Qardhawy, 1987: 26-27). Sementara Yusuf Qardhawy sendiri mendifinisikan tauhid uluhiyah dengan singkat sekali, yaitu pengesaan Allah swt dalam peribadatan, kepatuhan dan ketaatan secara mutlak (Yusuf Qardhawy, 1987: 22).

d. Tauhid Sifatiyah (al-Asma’ wa al-Sifat)
Pengertian tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya.

Menurut Yunahar Ilyas, ada dua metode keimanan dalam tauhid sifatiyah, yaitu metode itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari):

1) Metode itsbat maksudnya mengimani bahwa Allah swt memiliki al-asma’ was-sifat (nama-nama dan sifat-sifat) yang menunjukan ke-Mahasempunaan-Nya, misalnya: Allah swt Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan lain-lain.

2) Metode nafyu maksudnya menafikan atau menolak segala al-asma was-shifat yang menunjukan ketidaksempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah swt, atau menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah swt dan lain-lain.

Para ulama salaf, yakni para ulama yang kokoh dalam mengikuti sunnah rasulullah, pandangan para sahabat dan tabiin yang salih, menetapkan segala nama dan sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, dan apa-apa yang ditetapkan oleh rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif (perubahan dan penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil (penyerupaan), dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah). (QS as-Syura: 11).

Sehubungan dengan tauhid sifatiyah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara lebih khusus, yaitu:

1) Janganlah memberi nama Allah swt dengan nama-nama yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Lihat QS al-A’raf (7): 180.

2) Janganlah menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasybih) Zat Allah swt, sifat-sifat dan af’al (perbuatan)-Nya dengan makhluk manapun. Lihat QS as-Syura (42): 11, al-Ikhlash (112): 1-4.

3)Mengimani al-Asma’ was-shifat bagi Allah harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan “bagaimana”nya (kaifiyat).

4)Dalam satu hadis disebutkan bahwa Allah swt memiliki 99 nama (Hr. Bukhari, Muslim). Sementara dalam riwayat Tirmizi disebutkan ke-99 nama tersebut.

5) Di samping istilah al-Asma’ al-husna ada lagi istilah “ismullah al-a’zam” yaitu nama-nama allah swt yang dirangkai dalam do’a. Rasulullah saw mengatakan bahwa siapa yang berdoa dengan ismullah al-a’zam, do’anya akan dikabulkan, permintaanya akan diperkenankan (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan Ibn majah).

3 comments:

Unknown said...

terima kasih berkongsi ilmu,alhamdulillah..semoga usaha anda diberkati Allah

Unknown said...

thank you for sharing.article yang baik dan berguna..alhamdulillah

Admin said...

Assalamualaikum Wr. Wb. wah... jadi dapat pengetahuan baru lagi, terimakasih