HAKEKAT MANUSIA DALAM ISLAM


Oleh:
Agus Miswanto, MA.


A. PENGERTIAN MANUSIA
Dalam bukunya Man the Unknown, Dr. Alexis Carrel menjelaskan tentang kesulitan yang dihadapi untuk mengetahui hakekat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia pada khususnya belum mencapai kemanjuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainya.


Dengan mengutip pendapat Carrel tersebut, Quraish Shibab dalam bukunya "Membumikan al-Qur'an", menjelaslakn lebih jauh bahwa keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu disebabkan oleh: (1) Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan karena pada awalnya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi. Pada zaman primitif, nenek moyang kita disibukan untuk menundukan atau menjinakan alam sekitarnya, seperti upaya membuat senjata untuk melindungi diri dari binatang buas, penemuan api, pertanian, peternakan dan sebagainya sehingga mereka tidak mempunyai waktu luanguntuk memikirkan diri mereka sendiri. (2) Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat akal kita seperti dinyatakan bergson tidak mampu mengetahui hakekat hidup. (3) Multikompleksnya persoalan yang dihadapi manusia.


Menurut pendapat Quraish Shihab, jika apa yang dinyatakan oleh A. Carrel itu diterima, maka satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah dengan merujuk kepada wahyu ilahi, agar kita dapat menemukan jawabanya. Dalam kaitan ini, paling tidak ada empat kata/istilah dalam al-Qur’an yang dapat diartikan sebagai manusia, yaitu: Basyar, an-nas, al-ins/al-insan, dan adam.


1. Basyar
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya nampak jelas, dan berbeda dengan kulit makhluk yang lain. Dengan demikian istilah basyar merupakan gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia dalam pengertian ini disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 35 kali dalam berbagai surat. Diantaranya terdapat dalam surat al-Abiya’: 2-3, al-kahfi: 110, Ibrahim: 10, hud: 26, al-Mukminun: 24 dan 33, as-Syu’ara’: 93, yasin: 15, Al-Isra: 93 dan lain-lain. Dalam ayat-ayat tersebut terlihat bahwa manusia dalam arti basyar adalah manusia dengan sifat-sifat kematerianya.


2. An-Nas
Dalam al-Qur’an manusia dalam pengertian an-nas disebutkan sebanyak 240 kali dengan keterangan yang jelas menunjukan pada jenis keturunan Nabi Adam as. Diantaranya terdapat dalam surat al-hujurat: 13,


3. Al-Ins/al-Insan
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak lawan dari binatang liar, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang). Kitab suci al-Qur’an – seperti yang ditulis Bint as-Syathi’ dalam al-qur’an wa Qadhaya al-Insan – sering kali memperhadapkan insane dengan jin/jan. jin adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah. Kata insan, digunakan al-qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara satu dengan yang lainya akibat perbedaan fisik, mental, intelektual dan juga spiritual.


4. Duriyat Adam/Bani Adam
Al-Qur’an tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam, yang oleh mayoritas ulama dinamai manusia pertama. Yang disampaikanya dalam konteks ini hanya (1) bahan awal manusia adalah tanah, (2) bahan tersebut adalah disempurnakan, (3) setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya ruh ilahi [QS Al-Hijr, 15: 28-29; Shad, 38: 71-72]. Sedangkan ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, Al-Qur’an menunjuk kepada sang pencipta dengan menggunkan pengganti nama berbentuk tunggal: 


إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَراً مِنْ طِينٍ صّ:71
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". (QS Shad, 38: 71)


قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ صّ:75
Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang Telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?". (QS Shad, 38: 75).
Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunkan bentuk jamak. Hal ini dapat dilihat dalam QS at-Tin: 4.


لَقَدْ خَلَقْنَا الْأِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(QS. At-Tin: 4).
Hal ini untuk menunjukan perbedaan proses kejadian manusia secara umum dan kejadian Adam AS. Penciptaan manusia secara umum, melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu bapak dan ibu. Keterlibatan bapak dan ibu mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak, sedangkan dalam penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan bapak.


B. HAKEKAT MANUSIA


1. Makhluk:
Keberadaan manusia di alam semesta ini bukan karena sendirinya, akan tetapi karena rancangan, disain, proses penciptaan dari Allah swt. Keberadaan manusia sebagai hasil ciptaan Allah swt, menyadarkan akan hakekat makhluk yang lemah, bodoh, dan fakir.

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa’: 28)


إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (Al-Ahzab:72)

يَاأَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.


2. Dimuliakan Dan Diberikan Potensi
Al-Qur’an banyak berbicara tentang potensi manusia. Ditemukan banyak ayat yang memuji dan memuliakn manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan sebaik-baiknya (QS at-Tin, 95: 5)., dan penegasan tentang dimuliakanya makhluk ini dibanding dengan kebanykan makhluk-makhluk Allah yang lain (QS al-Isra’, 17: 70). Masih banyak ayat –ayat lain yang dapat dikemukan tentang potensi manusia serta arah yang harus dituju.
Isyarat yang menyangkut unsure immaterial, ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan uraian tentang fitrah, nafs, qalb, dan ruh yang menghiasai makhluk manusia.


a. Fitrah
Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain, seperti “penciptaan” dan “kejadian”. Dalam al-Qur’an kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali, 14 kali diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada QS ar-Rum: 30:


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,( Ar-Rum:30)
Merujuk kepada fitrah yang dikemukukan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadianya, membawa potensi beragama secara lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut dalam arti “tidak”, maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikanya.
Tetapi apakah fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensi mausia – walaupun tidak menggunakan kata fitrah seperti dalam QS Ali Imran [3]: 14.
Oleh karena itu, kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang QS ar-Rum [30]: 30, sangat tepat untuk dijadikan rujukan. Beliau menyatakan: “fitrah adalah bentuk dan system yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya)”.


b. Nafs
Kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai banyak makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia (QS al-Maidah [5]: 32), yang lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku (QS ar-Ra’d [13]: 11), dan kata nafs juga digunakan untuk menunjuk kepda “diri Tuhan” (kalau istilah ini dapat diterima), seperti dalam QS al-An’am [6]: 12.
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam kontek pembicaraan tentang manusia , menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.


c. Qalb
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena sering kali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Hal ini seperti terlihat dalam beragam ayat, yaitu: kalbu adalah wadah dari pengajaran (QS Qaf [50}: 37), Wadah dari kasih sayang (QS al-Hadid [57]: 27), wadah dari rasa takut (QS Ali Imran [3]: 151), dan wadah keimanan (QS al-Hujurat [49]: 7).
Dalam keadaanya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya (QS al-Hijr [15]: 47, Al-Hujurat [49]: 14). Bahkan al-Qur’an menggambarkan bahwa ada kalbu yang disegel: “Allah telah mengunci mati hati mereka” (QS al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika al-Qur’an menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup kalbu (QS Muhammad [47]: 7). Wadah kalbu dapat diperbesar, diperkecil, atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan serta olah jiwa (QS al-Hujurat [49]: 3, Al-Insyirah [94]: 1), dan dipersempit dengan kesesatan dan kemaksiatan (QS al-An’am [6]: 125).


d. Ruh
Berbicara tentang ruh, al-Qur’an mengingatkan kita dengan firman-Nya:
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (As-Sajadah:9)


Dari ayat ini sangat jelas bahwa Allah meniupkan roh dalam diri manusia, sehingga manusia diberikan kemampuan untuk melihat, mendengar, dan hati nurani.  


e. ‘Aql
Kata ‘aql (akal) tidak ditemukan dalam al-Qur’an, yang ada adalah bentuk kata kerja – masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Qur’an menggunakanya bagi “sesuatau yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Apakah seseutu itu? Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:


Pertama, daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu (QS al-‘Ankabut [29]: 43. daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan al-Qur’an antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang dan ali-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah swt bagi “orang-orang berakal” (QS al-Baqarah [2]: 164) dan ada juga bagi ulil Albab yang juga dengan makna yang sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekedar memiliki pengetahuan. Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan meyimpulkanya terlihat juga dari penggunaan istilah –istilah semacam nazara, tafakur, tadabbur, dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.


Kedua, dorongan moral (QS Al-‘An’am [6]: 151).
قُل تَعالَوا أَتلُ ما حَرَّمَ رَبُّكُم عَلَيكُم ۖ أَلّا تُشرِكوا بِهِ شَيـًٔا ۖ وَبِالوٰلِدَينِ إِحسٰنًا ۖ وَلا تَقتُلوا أَولٰدَكُم مِن إِملٰقٍ ۖ نَحنُ نَرزُقُكُم وَإِيّاهُم ۖ وَلا تَقرَبُوا الفَوٰحِشَ ما ظَهَرَ مِنها وَما بَطَنَ ۖ وَلا تَقتُلُوا النَّفسَ الَّتى حَرَّمَ اللَّهُ إِلّا بِالحَقِّ ۚ ذٰلِكُم وَصّىٰكُم بِهِ لَعَلَّكُم تَعقِلونَ
"Katakanlah: ""Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar"". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya)."


Ketiga, daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta “Hikmah”. Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya ini di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berfikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya nalar yang kuat, dan boleh jadi juga seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat , tidak memiliki dorongan moral. Tetepi seseorang yang memilki rusyd, maka dia telah menggabungkan kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata: “Seandainya kami mendengar dan berakal maka kami pasti tidak termasuk penghuni neraka (QS al-Mulku [67]: 10).


3. Dibebani Tanggung Jawab
Keberadaan manusia di alam semesta ini dan diberikan potensi oleh Allah bukan tanpa tanggung jawab. Tetapi manusia dengan segala potensi yang dimilkinya untuk menuaikan satu misi hidup yang jelas dan terarah. Misi tersebut adalah menunaikan tugas ibadah dan khilafah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Adz-Zariyat:56)


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Al-Baqarah:30)
قَالُوا يَاصَالِحُ قَدْ كُنْتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَذَا أَتَنْهَانَا أَنْ نَعْبُدَ مَا يَعْبُدُ ءَابَاؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِي شَكٍّ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ مُرِيبٍ
Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami." (Hud:62)


4. Diberikan Pilihan Hidup
Walaupun manusia diberikan satu tanggung jawab untuk menunaikan tugas dan misi kehidupan di alam semesta ini, tetapi Allah masih memberikan pilihan bagi manusia. Pilihan tersebut berupa kepatuhan kepada misi awal penciptaan manusia atau ketidakpatuhan terhadapnya.

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (al-balad:10)
 
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Al-Insan:3)
 
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang beriman. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (At-Tagabun:2)


وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Al-kahfi:29)


5. Diberikan Balasan
Pilihan hidup yang dipilih oleh manusia akan menjadi tannggung jawabnya sendiri. Tanggung Jawab ini berakibat pada balasan berupa surga atau neraka. Bagi mereka yang tetap patuh pada misi penciptaan awal manusia, akan mendapatkan balasan berupa surga, dan sebaliknya bagi mereka yang tidak patuh juga mendapatkan balasannya berupa neraka.


وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra’:39)

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى(38)وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى(39)وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى(40)ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى

(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, (An-Najm: 38-41)


وَبَشِّرِ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan

No comments: