Agus Miswanto, MA
KAIDAH KEEMPAT:
تصرف الامام علي الرعية منوط
بالمصلحة
PENGELOLAAN PEMIMPIN KEPADA RAKYATNYA, ADALAH DISANDARKAN PADA
KEMASLAHATAN
Kaidah tersebut didasarkan pada salah satu hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan melalui jalur Abdullah ibn Umar. Hadis ini adalah sebagai berikut:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ :
" كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ،
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ،
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ،
وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ " ، قَالَ : وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ
رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَكُلُّكُمْ رَاعٍ
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
."
Abdullah bin Umar[i] berkata: “Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung
jawab terhadap yang dipimpinnya. Pemimpin adalah pemelihara, dan bertanggung
jawab terhadap kepemimpinanya. Dan laki-laki adalah pemimpin dan bertanggung
jawab terhadap kepemimpinanya. Dan perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya
dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinya. Pegawai adalah pemimpin di
dalam pengelolaan harta majikanya, dan bertanggung jawab terhadap
kepemimpinanya”. Dia (Ibn Umar) berkata: “Saya beranggapan bahwa dia
(Rasulullah SAW) bersabda: “dan laki-laki pengurus harta orang tuanya, dan
bertanggung jawab terhadap kepemimpinya. Dan setiap kalian adalah pemimpin dan
bertanggung jawab terhadap kepemimpinanya.” (Hr. Bukhari no. 849).[ii]
Makna kaidah ini adalah bahwa segala kebijaksanaan imam terhadap
rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan. Tidak boleh seorang imam
mengatur dan mengelola rakyatnya yang justru membahayakan atau mendatangkan
kemadharatan kepada rakyat yang dipimpinaya itu. Kemaslahatan yang dimaksud
adalah kemaslahatan yang selaras dengan nilai-nilai Islam, justru tidak
sebaliknya yaitu bertentangan dengan keyakinan dan etika Islam. Walaupun seorang
dalam memimpin dan mengatur masyarakat pada umumnya berlandaskan dan
berdasarkan pada pertimbangan-pertmbangan akal (rasional), tetapi pertimbangan
dalam pengeloaan kepemimpinan itu tidak boleh mengalahkan aturan syariat. Dalam
konteksnya ini, Allah SWT mengingatkan dalam Alquran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisa [4]: 59).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa segala hal yang diperselisihkan dan
diperdebatkan akal manusia dalam rangka untuk menemukan kemaslahatan, harus
dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya. Artinya pertimbangan maslahat yang
lahir dari pemikiran manusia, tidak boleh keluar dan bertentangan dengan
kehendak syariat. Dalam hal ini, para ulama ushul membagi kemaslahatan dalam
tiga kategori, yaitu: Maslahat Mu’tabarah, maslahat mursalat, dan maslahat
mulghat.
Maslahat Mu’tabarat
Maslahat mu’tabarat adalah kemaslahatan yang ditetapkan oleh
syariat. Artinya bahwa segala hal yang diperintahkan oleh syariat untuk
diamalkan baik dalam konteks ibadah, muamalah, dan lainya mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Contonya penetapan kewajiban bagi
seorang muslim mukallaf untuk menjalankan shalat lima waktu. Penetapan
kewajiban tersebut tidaklah mungkin tanpa kemaslahatan. Dan pasti dan dapat
dipastikan bahwa kewajiban shalat bagi seorang muslim mengandung banyak manfaat
dan maslahat. Salah satunya adalah bahwa dengan pewajiban shalat, seorang
muslim diajarkan oleh Allah akan kesadaran penghargaan kepada waktu. Karena
shalat harus dijalankan dalam waktu-waktu tertentu yang terbatas dan rigit.
Disamping itu juga, bahwa anggota tubuh manusia juga perlu relaksasi sejenak
dalam rangka memulihkan kekautan baik fikir maupun tenaga di dalam bekerja.
Karena shalat ternyata dapat menjadikan seorang muslim lebih sehat baik jasmani
dan ruhani.
Maslahat Mulghat
Maslahat mulghat adalah kemaslahatan yang didasarkan pada
pertimbangan akal manusia, tetapi bertentangan dengan ketentuan syariat.
Contohnya adalah lokalisasi PSK dalam rangka untuk meningkatkan pajak daerah
(PAD) dan dalam rangka untuk mengontrol penularan penyakit kelamin. Walaupun
ketentuan dan pertimbangan tersebut bersifat rasional tetapi bertolak belakang
dengan aturan syariat, yaitu keharaman perzinahan dalam Islam. Sehingga pertimbangan
pemimpin yang mendasarkan pada maslahat mulghat ini, dalam bingkai syariat
tidak dikatakan sebagai kemaslahatan, tetapi justru mafsadat, yaitu kerusakan
yang harus dihindari dan dijauhi.
Maslahat Mursalat
Maslahat mursalat yaitu maslahat yang ditetapkan berdasarkan akal
terhadap sesuatu yang tidak disinggung oleh syariat. Hanya saja
pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar dari ketetapan tersebut adalah
nilai-nilai universal yang ada dalam syariat itu. Sehingga maslahat mursalat
adalah kemaslahatan yang mendukung pada nilai syariat yang universal. Dalam
kaitan ini, para ulama klasik telah mendiskusinya dalam berbagai karya mereka.
Imam al-Ghazali, misalnya, telah membahas kemaslahatan tersebut, dalam karyanya
yang monumental yaitu al-Mustasfa. Pembahasan Al-Ghazali ini kemudian
dielaborasi lebih lanjut oleh Imam as-syatibi, dalam karyanya yang terkenal,
al-Muwafaqat. Dalam dua karya tersebut kemaslahatan yang bersifat universal
dari syariat paling tidak ada lima hal, yang kemudian dikenal maqasid
as-syariah (tujuan hukum Islam). Kelima maslahat itu adalah hifdh al-din (memlihara
agama), hifd al-nafs (memelihara Jiwa), hifdh al-‘aql (memelihara
akal), hifdh al-nasl (memelihara keturunan/generasi), dan hifdh al-mal
(memelihara harta benda). Sehingga segala kebijaksanaan dan pengelolaan
pemimpin untuk rakyatnya harus mempertimbangkan lima hal tersebut. Dengan demikian
kepemimpinan tidak keluar dari bingkai nilai-nilai syariat. Dan itulah yang
dikehendaki oleh syariat dengan kemaslahatan itu.
[i] Secara
lengkap sanad hadisnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
مُحَمَّدٍ ، قَالَ :
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ ، قَالَ
: أَخْبَرَنَا يُونُسُ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، قَالَ
: أَخْبَرَنَا سَالِمُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : كُلُّكُمْ رَاعٍ وَزَادَ اللَّيْثُ ، قَالَ : يُونُسُ كَتَبَ رُزَيْقُ بْنُ حُكَيْمٍ إِلَى
ابْنِ شِهَابٍ ، وَأَنَا مَعَهُ يَوْمَئِذٍ بِوَادِي الْقُرَى هَلْ تَرَى أَنْ
أُجَمِّعَ وَرُزَيْقٌ عَامِلٌ عَلَى أَرْضٍ يَعْمَلُهَا وَفِيهَا جَمَاعَةٌ مِنْ
السُّودَانِ وَغَيْرِهِمْ وَرُزَيْقٌ يَوْمَئِذٍ عَلَى أَيْلَةَ ، فَكَتَبَ ابْنُ
شِهَابٍ وَأَنَا أَسْمَعُ يَأْمُرُهُ أَنْ يُجَمِّعَ يُخْبِرُهُ ، أَنَّ سَالِمًا
حَدَّثَهُ
[ii] Menurut
Imam al-Bukhari, bahwa sanad hadis tersebut adalah marfu’, artinya sampai
kepada Nabi SAW. Dan hadis tersebut adalah sahih menurut criteria Imam Bukhari.
REFERENSI:
Abdul Hamid Hakim, as-Sulam, Jakarta: Penerbit Sa'adiyah Putra, tt.
Imam al-Bukhari, as-Sahih
Imam al-Ghazali, al-Mustasfa,
Imam as-Syatibi, al-Muwafaqat,
1 comment:
Post a Comment