Oleh:
Agus Miswanto, MA
Ibadah seorang
hamba kepada Allah sudah ditetapkan tuntunannya dan ia harus menunaikan sesuai
dengan cara-cara yang telah ditetapkan syara’.Manusai tidak mempunyai hak untuk
menambah atau menguranginya. Karena ibadah yang ditetapkan Allah swt telah
sempurna, sebagaimana ditegaskan oleh Allah swt:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. (QS.Al-maidah[5]: 3)
Oleh sebab itu, dalam rangka untuk menjaga kelestarian
tradisi kenabian, ulama usul telah merumuskan beberapa kaidah dalam pelaksanaan
Ibadah yang ditarik dari beberapa ayat maupun sunnah Nabi saw, sebagai berikut:
1.
KAIDAH
PERTAMA:
اَلاْصْلُ فِي
اْلعِبَادَةِ اَلتَّوْقِيْفُ
Prinsip dalam ibadah
adalah Berhenti/bersandar pada (Rasulullah SAW)
Segala
aktifitas amaliyah ibadah pada awalanya tidak ada, hanya setelah Allah swt
mengutus para rasul dan Nabi-Nya baru syariat tersebut diadakan. Dengan
demikian syariat ibadah merupakan cara Allah mengenalkan dirinya kepada
manusia. Dengan adanya syariat tersebut manusia dibimbing dan diberitahu
bagaimana mekanisme berhubangan dan interkasi seorang hamba dengan Tuhanya.
2. KAIDAH KEDUA:
اَلاْصْلُ فِي
اْلعِبَادَةِ اَلْبُطْلاَنُ حَتَّي يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَي اْلاَمْرِ
Prinsip dalam
Ibadah Adalah Batal (Tidak Diterima) Sampai Adanya Dalil Yang Memerintahkanya
Dari kaidah ini
menjadi dasar bahwa ibadah itu harus merujuk kepada dalil yang memerintahkan
ibadah tersebut.Oleh karena itu, segala aktifitas ibadah yang tidak ada rujukan
dalil, baik dalam al-qur’an maupun Sunnah, maka ibadah tersebut dinyatakan
batal, tidak bisa diterima. Dalam hal ini, baik al-Qur’an maupun Sunnah nabi
menyatakan dengan tegas:
وَمَا
ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.(QS.Al-Hasyr[59]: 7)
Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari berasal dari Abu Sulaiman Malik ibn
al-Huwairits, Nabi SAW bersabda:[1]
وَصَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana aku ini menjalankan
shalat.”(HR Bukhari)
3. KAIDAH KETIGA:
اَلاْصْلُ فِي اْلعِبَادَةِ التَحْريْمُ اِلاَّ
مَادَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَي خِلاَفِهِ/اِثْبَاتِهِ
Prinsip dalam
Ibadah adalah haram (dilarang) kecuali adanya dalil yang menetapkanya
Pelaksanaan Ibadah
pada prinsipnya haram (dilarang) kecuali adanya perintah, atau petunjuk dari
Allah.Prinsip ini memberi penegasan kepada kita, bahwa segala sesuatu yang
bertalian dengan ibadah kepada Tuhan harus merujk kepada landasan yang pasti
dari teks kitab suci.Selama kitab suci tidak memberikan bimbingan dan arahan
tertentu dalam ibadah mahdhah, maka manusia dilarang untuk membuat-buat ibadah,
menambah ataupun mengurangi. Hal ini ditegaskan dalam suatu hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berasal dari jabir bin Abdullah, Rasulullah
SAW bersabda:[2]
فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya sebaik-baik pemberitaan adalah kitab allah, dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi Muhammad. Dan sejelek-jelek perkara
adalah yang dibuat-buat, dan setiap bid’ah adalah sesat”. (HR Muslim)
4. KAIDAHKEEMPAT:
اَلاْصْلُ فِي
اْلعِبَادَةِ اَلاْتِّبَاعُ
Prinsip dalam
ibadah adalah Itiba’/mengikuti (sunnah Nabi)
Prinsip ini ditarik dari firman Allah swt
dalam Surat Ali Imron ayat 31, sebagai berikut:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
‘Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS.Ali Imron[3]: 31)
Dalam urusan Ibadah
mahdhah, hanya rasulullah sendiri sajalah yang mengetahui seluk beluknya, baik
rincianya, tatacara, dan tata pelaksanaanya. Hal itu dikarenakan hanya
rasulullah yang mendapat pemberitahuan secara langsung sebagaimana firman
Allah:
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh
(Jibril) yang sangat kuat.(QS. An-Najam: 4-5)
Oleh karenanya,
umat Islam hanya dapat mengtahuinya mengenai perkara ibadah mahdhah lewat
rasulullah saw semata, bukan dari jalan lain, betapapun orang tersebut sudah menduduki status mujtahid besar. Dan
kalau kemudian muncul hal-hal baru yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah, apakah dalam wujud menambah, mengurangi, atau justru mengadakan
yang baru sama sekali maka itu adalah terlarang menurut agama. Dan itulah yang
disebut bid’ah dalam bidang ibadah mahdhah.
[1]Hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Sahihnya, Kitab al-Adab,
5549, Kitab Akhbaral-Ahad, 6705.Imam Ahmad dalam Musnadnya, Awal
Musnad al-Basyriyiin, 19625, Imam Ad-darimy dalam sunannya, Kitab
al-shalat, 1225)
[2]Hadis ini
diriwyatkan dalam Sahih Muslim, Kitab al-Jumah, 1435. juga
diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, Sunan An-Nasaiy: Kitab Shalat
Al-Idain, 1560, Imam Ibn Majah,Sunan Ibn Majah: Kitab
Al-Muqadimah, 44, Imam Ahmad, Musnad Ahmad Ibn Hanbal: Baqi
Musnad Al-Mukatsirin, 13815, 13909, 14455, Imam Ad-Darimy, Sunan
Ad-Darimiy: Kitab Al-Muqadimmah, 208
1 comment:
Post a Comment