HISAB DAN PENYATUAN KALENDER INTERNASIONAL


Oleh:
Agus Miswanto, MA
[Aktivis Dakwah, Peminat Kajian Ilmu Hisab, dan Keislaman]


Sampai saat ini di dunia Islam belum terdapat satu sistem kalender Islam internasional yang menyatukan sistem waktu Islam di seluruh dunia.[1] Yang ada hanyalah kalender-kalender lokal yang berlaku di tempat tertentu saja. Oleh karena itu tidak heran sering terjadi perbedaan mencolok di kalangan umat Islam dalam menentukan momen-momen keagamaan penting. Keprihatinan terhadap kekacauan dalam pengorganisasian waktu seperti ini serta ketidakmampuan menepatkan pelaksanaan berbagai momen penting keagamaan secara selaras di seluruh dunia telah mendorong para pakar Muslim untuk memikirkan penyatuan sistem penataan waktu dalam bentuk suatu kalender kamariah Islam internasional sejak tiga dasawarsa terakhir.[2] Muhammadiyah menawarkan solusi dengan pemakaian hisab wujudul hilal sebagai alternatif pemecahan terhadap wacana penyatuan kalender Internasional.[3]
Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA[4] bahwa pilihan terhadap metode hisab wujudul hilal, dan meninggalkan rukyat, adalah tepat dan kongkrit dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1)          Semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab

Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

2)          Rukyat adalah perintah rasul yang berillat

Jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

3)          Dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender

Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

4)          Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global

Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

5)          Jangkauan rukyat terbatas

Jangkauan rukyah hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

6)          Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah

Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.[5]
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.[6]



[1] Dr. Susiknan Azhari, Hisab Dan Rukyat: Wacana Untuk Membangun Kebersamaan Di Tengah Perbedaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 24.
[2] Prof Dr. Syamsul Anwar, MA, Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,2008), hlm. 115-147.
[3] Prof Dr. Syamsul Anwar, MA, Hari Raya dan Problematika Hisab-Rukyat, hlm. 60-87.
[4] Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA,  Sistem Hisab Waktu Dalam Islam, dimuat dalam http://tarjih.muhammadiyah.or.id/artikel-sistem-hisab-waktu-dalam-islam-detail-185.html
[6] ibid

No comments: