METODE PENENTUAN PENANGGALAN DALAM KALENDER HIJRAH


Oleh:
Agus Miswanto, MA
[Aktivis Dakwah, Peminat Kajian Ilmu Hisab, dan Keislaman]

Dalam kaitannya dengan penentuan awal Ramadhan dan awal syawal dalam Islam, didasarkan pada tiga metode perhitungan yang umumnya dipergunakan umat Islam. ketiga metode itu adalah Hisab, Rukyah, dan Imkanur Rukyah.

1.1.1       Hisab

Hisab berasal dari kata Arab al-hisab yang  secara harfiah menghitung atau mengira, sedang dari segi istilah bermakna menghitung waktu-waktu ibadah (termasuk awal bulan) dengan mempelajari peredaran benda-benda langit (ilmu perbintangan atau ilmu astronomi).[1] Ilmu Hisab dalam kamus bahasa inggris disebut arithmetic, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang seluk-beluk perhitungan. Hisab itu sendiri berarti hitung, jadi ilmu Hisab berarti ilmu hitung.[2] Ilmu Hisab modern, dalam prakteknya banyak menggunakan ilmu pasti yang kebenarannya sudah tidak diragukan lagi. Ilmu tersebut adalah ilmu spherical trigonometri (ilmu ukur segitiga bola). Disamping itu, ilmu Hisab menggunakan data yang dikontrol oleh observasi setiap saat. Atas dasar inilah, banyak kalangan yang mengatakan bahwa ilmu Hisab ini memberikan hasil yang qoth’i dan yakin, dalam soal posisi hilal awal bulan.
Dalam Al-Qur’an kata hisab banyak disebut dan secara umum dipakai dalam arti perhitungan seperti firman Allah SWT:
الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍبِ مَا كَسَبَتْ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Pada hari ini, tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan (pemeriksaan)-Nya” (QS. Ghafir : 17)
إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ الَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
sesungguhnya orang-orang yang sesat dijalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (QS. Shad: 26)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السّنِيْنَ وَالحِسَابَ مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الأيَاَتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat orbit)bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS. Yunus: 5)
الشمس والقمر بحسبان
Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan” [QS. Ar-Rahman (55): 5]
والقمر قدرنه منازل حتى عاد كالعرجون القديم لاالشمس ينبغي لها ان تدرك القمر ولااليل سابق النهار وكل في فلك يسبحون
Dan telah Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” [QS. Yaasin (36): 39-40]
Kedua ayat Ar-Rahman: 5 dan Yunus: 5 di atas menunjukkan bahwa bulan dan matahari memiliki sistem peredaran yang ditetapkan oleh Sang Pencipta dan peredarannya itu dapat dihitung. Penegasan bahwa peredaran matahari dan Bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi, melainkan suatu isyarat agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum.
Sementara ayat 39 surat Yasin di atas bila dihubungkan dengan ayat 5 surat Yunus menjelaskan bahwa Allah SWT telah menetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan mengelilingi bumi. Ketetapan Allah SWT itu bersifat pasti sehingga oleh karena itu, bila dihubungkan kepada ayat 5 surat ar-Rahman, perjalanan bulan dan posisi-posisinya dapat dihitung. Ini adalah isyarat kepada penggunaan hisab. Selain itu kedua ayat surat Yasin ini memberikan pula kriteria hisab untuk menentukan awal bulan baru. Dalam ayat 39 dijelaskan bahwa bulan dalam perjalanan kelilingnya mengelilingi bumi menempati posisi-posisi hingga posisi terakhir dimana terjadi kelahiran bulan baru.
Dalam mazhab hisab terdapat banyak ragam mazhab-mazhab kecil sebagai dampak dari adanya perbedaan sistem yang dipakai atau yang dipegangi. Di Indonesia, ada beragam sistem hisab yang berkembang, yakni Hisab urfi, Hisab Haqiqi Taqribi, Hisab Hakiki Tahkiki/Konteporer. Hisab urfi[3] adalah segala kegiatannya dilandaskan kepada kaidah yang bersifat tradisional. Dalam menentukan masuknya awal bulan didasarkan pada peredaran bulan, yaitu berdasarkan pada gerak semu bulan. Menurut system ini umur bulan dalam setiap tahunnya adalah tetap yaitu untuk bulan ganjil jumlah harinya adalah 30 dan untuk bulan genab adalah 29. Contoh hisab urfi adalah system Aboge[4] dan system Khomasi.[5] 
Sedangkan hisab haqiqi tagribi adalah didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya, menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah tetap dan tidak beraturan. Umur tersebut kadang-kadang berusia dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, atau kadang-kadang pula bergantian, seperti perhitungan hisab urfi.[6] Sementara itu, Hisab Hakiki bi Al- Tahqiqi/Konteporer, perhitungan dilakukan dengan sangat cermat, banyak proses yang harus dilalui, rumus-rumus yang dilakukan banyak menggunakan rumus segitiga bola sehingga hasil yang diperoleh sangat akurat. Bentuk perhitungan inilah yang diyakini sebagian kaum muslimin di Indonesia seperti organisasi Muhammadiyah yang secara institusi disimbolkan sebagai mazhab hisab,[7] yang mendasarkan kepada hisab wujudul hilal, dimana hisab itu sendiri dijadikan sebagai patokan penetapan awal bulan.[8]

1.1.2       Rukyah

Secara harfiyah berarti melihat, memiliki kata kerja raa’ dan mempunyai beberapa masdar yaitu: ru’yan dan ru’yatan, akan tetapi memiliki isim jama’ yang sama yaitu ru’an. Ru’yan artinya mimpi sedangkan ru’yatan artinya melihat dengan mata, dengan akal atau dengan hati. Secara historis, ru’yah bermakna melihat dengan kepala dan juga melihat dengan ilmu. Hanya saja, dalam perkembangannya, rukyah hanya dimaknai dengan melihat dengan mata telanjang, yaitu melihat hilal pada saat matahari terbenam menjelang awal bulan Qomariyah dengan mata atau teleskop, dalam astronomi dikenal dengan observasi.[9] Perhitungan inilah yang dianut oleh sebagian umat Islam yaitu Nahdlatul Ulama yang disimbolkan dengan mazhab Rukyah.[10]
Apabila rukyah tidak dapat dilihat, baik karena hilal masih dibawah ufuk atau tertutup mendung maka penentuan awal bulan tersebut harus berdasarkan istikmal (disempurnakan menjadi 30 hari).[11] Menurut mazhab ini, rukyah bersifat ta’abuddi – ghair al-ma’qul ma’na yang artinya tidak dapat dirasionalkan, pengertiannya tidak dapat diperluas sehingga pengertiannya sebatas pada melihat dengan mata telanjang.[12] Berikut ini adalah hal yang mendasari perhitungan di atas yaitu hadis riwayat Bukhari dan Muslim:
حدثنا ادم حدثنا شعبة حدثنا محمد بن زياد قال سمعت اباهريرة رضى الله عنه يقول قال النبى ص م أو قال قال ابو القاسم :صومو الرؤيته وافطروا الرؤيته فإ ن غبى عليكم فأ كملوا عدة شعبان ثلاثين
“Dari Adam dari Suaibah dari Muhammad Bin Ziyad berkata saya mendengar Abu Hurairah berkata bawasanya Nabi SAW Bersabda: Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal bila kamu tertutup mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulab Sya’ban tiga puluh hari.”(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).[13]
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا ... رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم .
Apabila kamu telah melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu telah melihatnya beridulfitrilah! … [HR al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].
Sementara itu,  menurut perspektif Mazhab Hisab, bahwa rukyah dalam hadits tersebut termasuk ta’aqqulli ma’qul ma’na, dapat dirasionalkan dan dikembangkan sekalipun hanya dugaan kuat tentang adanya hilal.[14] Memahami hadis tersebut secara ta’abudi atau gairu ma'qul ma'na (tidak dapat dirasionalkan), maka rukyah tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru'yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan.[15] Oleh karena itu, kalau hadis tersebut diartikan dengan Ta'aqul ma'na (dapat dirasionalkan), maka ru'yah tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk dengan penggunaan semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya.
Di samping itu, menurut Rasyid Ridha dan Mustafa az-Zarqa, perintah melakukan rukyat itu adalah perintah berilat (beralasan), maksudnya perintah yang disertai alasan hukum (ilat) yang menerangkan mengapa diperintahkan demikian. Menurut kaidah fikhiah, hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Apabila ada ilatnya, maka hukum diberlakukan, dan apabila tidak ada ilatnya, maka hukum tidak diberlakukan. Ilat perintah rukyat adalah keadaan umat yang ummi (tidak kenal baca tulis dan hisab) pada zaman Nabi saw. Karena tidak mengenal baca tulis dan hisab, maka tidak mungkin orang pada zaman itu melakukan hisab. Untuk itu mereka diperintahkan menggunakan sarana yang mudah bagi mereka saat itu, yaitu melakukan rukyat.[16] Ini ditegaskan oleh Nabi saw dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم].
Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari[HR al-Bukhari dan Muslim].

1.1.3       Imkanur Rukyah

Imkanur-Rukyat adalah metode perpaduan antara Rukyat dan Falak Syar’i (hisab), dimana posisi hasil perhitungan memberi sinyalemen diterima atau tidaknya kesaksian perukyat dengan batas ketinggian hilal tertentu dan jarak bulan-matahari tertentu, dimana pada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia seperti; kasus ditolaknya kesaksian perukyat Cakung dan Jepara pada penentuan 1 Syawaal 1432 H (2011 M), dan ditolaknya kesaksian rukyat Cakung pada penentuan 1 Ramadhan 1433 H (2012 M). Ada beberapa peneliti yang membuat kriteria visibilitas hilal, diantaranya:
1)      Limit Danjon menetukan batas yang mensyaratkan tinggi hilal >7 (derajat),
2)      Muhammad Ilyas; 1) Memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4 (derajat) untuk beda azimuth yang besar dan 10,4(derajat) untuk azimuth 0(derajat), 2) Dengan arc of light (beda tinggi bulan-matahari) bergantung pada beda azimuth dengan minimum 4(derajat) untuk beda azimuth yang besar dan 10,4(derajat) untuk beda azimuth 0 (derajat).
3)      Caldwell dan Laney memberikan syarat minimal tinggi bulan-matahari >4(derajat)
4)      Kriteria MABIMS (2-3-8), yaitu: 1)Tinggi hilal minimum >2(derajat), 2)Jarak sudut bulan-matahari harus >3(derajat), dan 3) Umur bulan 8 jam. Karena untuk beberapa tahun ini pemerintah melalui Kementerian Agama menggunakan Kriteria MABIMS (2-3-8), akan ada beberapa masalah yang akan timbul terkait penggunaan kriteria tersebut, diantaranya: 1) Akan terjadinya perbedaan penentuan tanggal 1 bulan qamariah dengan Negara lain; 2) Contoh kasus pada penetapan 1 Ramadhan 1433 H, dimana Indonesia berbeda dengan 78 % Negara muslim (note; bukan Negara Islam) di dunia.
5)      Kriteria Imkanur-Rukyat Thomas Djamaludin (LAPAN) atau dikenal dengan Kriteria Hisab Rukyat Indonesia, yaitu: 1) Jarak sudut bulan-matahari >6,4(derajat); dan 2) Beda tinggi bulan-matahari >4(derajat).



[1] M. Yunan Yusuf, Yusron Rozak, Sudarnota Abdul Hakim, Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 150
[2] Muhyidin Khazin, Ilmu Falak (Dalam Teori dan Praktik), Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm. 1
[3] Hisab urfi tidak dapat dijadikan sebagai patokan ibadah, karena mengandung banyak kelemahan teknis dan juga tidak sesuai dengan amaliah yang dijalankan oleh rasulullah dan sahabatnya. Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA, Hari Raya Dan Problematika Hisab-Rukyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2008), hlm. 90-114.
[4] Perhitungan Aboge telah digunakan para wali sejak abad ke-14 dan disebarluaskan oleh Raden Rasid Sayid Kuning dari Pajang. Perhitungan ini merupakan gabungan perhitungan dalam satu windu dengan jumlah hari dan jumlah pasaran hari berdasarkan perhitungan Jawa yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing. Dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari.
[5] Khomasi” yang berasal dari bahasa Arab “khomsatun” yang berarti lima. Kata khomsatun ini menjadi istilah Khomasi berawal dari kebiasaan dalam menentukan awal Ramadhan yang dihitung lima hari dari Ramadhan tahun sebelumnya. Dalam sistem perhitungan “Khomasi” untuk menentukan awal Ramadhan pada tahun-tahun berikutnya di hitung berdasarkan selisih 5 hari dari Ramadhan tahun sebelumnya selama 8 tahun umur patokan. Untuk lebih jelasnya dapat dicontohkan : Misalnya, 1 Ramadhan 1428 H jatuh pada hari Ahad dengan menghitung lima hari mulai dari hari itu. Maka untuk tanggal 1 Ramadhan 1429 H akan jatuh pada hari Kamis. Aturan perhitungan berdasarkan selisish lima hari untuk menentukan Ramadhan tahun depan dari tahun sebelumnya. Disamping menggunakan selisih hari ramadhan, perhitungan Khomasi juga berpatokan pada hari wukuf Arafah di Arab Saudi untuk menentukan tanggal (27 Rajab, 12 Rabiul Awal, 15 Sya’ban, 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijah). Dengan patokan pada wukuf maka dapat disimpulkan jatuhnya tanggal (27 Rajab, 12 Rabiul Awal, 15 Sya’ban, 1 Syawal dan 9 Dzullhijah) jatuh pada hari yang sama. Kemudian perhitungan awal Ramadhan dengan cara menghitung mundur tiga hari. Misalnya wukuf jatuh pada hari Selasa 9 Dzulhijah 1427 H, maka Idul Adha jatuh pada hari Rabu 10 dzulhijah 1427 H. Kemudian tanggal 27 Rajab 1428, 12 Rabiul Awal 1428, 15 Sya’ban 1428, 1 Syawal 1428 H jatuh pada hari Selasa dan 1 Rhamadhan 1428 setelah dihitung mundur tiga hari dari hari wukuf jatuh pada hari Ahad.
[6] M. Yunan Yusuf, Yusron Rozak, Sudarnota Abdul Hakim, op. cit., hlm. 152-153
[7] Slamet Hambali , op. cit., hlm. 26
[8] M. Yunan Yusuf, Yusron Rozak, Sudarnota Abdul Hakim, op. cit., hlm. 332
[9] Susiknan Azhari, Hisab Dan Rukyah: Wacana Untuk Membangun Kebersamaan Di Tengah Perbedaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 53-71.
[10] Penganut mazhab rukyah ini berpandangan bahwa rukyah hukumnya wajib, kategorinya adalah fardhu kifayah, dan hasil rukyah dapat berlaku seluruh wilayah Indonesia karena merupakan satu wilayah hokum. Slamet Hambali , op. cit., hlm. 26
[11] Slamet Hambali , op. cit., hlm. 27
[12]  Ibid, hlm. 28
[13] Bukhari, Shahih Bukhari, Kairo: Darul Fikr, 1981, hlm. 327
[14] Slamet Hambali, Melacak Metode Penentuan Poso dan Riyoyo Kalangan Kraton Yogyakarta, IAIN Walisongo Semarang: 2003, hlm. 28
[15] Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru'yah mengalami gagal total.
[16]Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA, Sistem Hisab Waktu Dalam Islam, dimuat dalam http://tarjih.muhammadiyah.or.id/artikel-sistem-hisab-waktu-dalam-islam-detail-185.html, diakses pada 1 November 2012

No comments: