Oleh:
Agus Miswanto, MA
[Peminat Kajian Hukum Islam, ]
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad
merupakan bentuk “mashdar”(bahasa Arab) dari kata“ijtihada”,
berakar dari kata juhdu yang berarti masyaqqah (sulit dan susah),
bersungguh-sungguh, berusaha keras atau mengerjakan sesuatu dengan susah
payah.Dalam Alquran, kata juhdu (QS an-Nahl:38; An-Nur: 53; Fathir: 42
mengandung arti badzl al-wus’i wa thaqati (pengerahan segala kesanggupan
dan kekuatan).Ibrahim Hosen mengidentikan makna al-ijtihad dengan al-istinbath
yang berasal dari kata nabath yang bermakna air yang pada awalnya
memancar dari sumur yang digali. Kemudian, arti istinbath adalah mengeluarkan
sesuatu dari persembunyianya.[1]
الاجتهاد بذل الجهد في
استنباط الحكم الشرعي مما اعتبره الشارع دليلا وهو كتاب الله و سنة نبيه
Ijtihad adalah mengerahkan segenap usaha untuk
mengeluarkan hokum syara’ yang diformulasikan oleh syari’ (Allah SWT) sebagai
dalil yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah nabi-Nya.[2]
Secara Istilah,
Ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau
mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zanni mengenai hukum syara’.[3]Sedangkan
menurut istilah, para ahli fiqih berbeda pendapat dalam memberikan definisi,
diantaranya yaitu: Menurut al-Syaukani Ijtihad adalah mencurahkan sekedar
kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’iy yang bersifat operasional
(pengamalan) dengan cara mengambil kesimpulan hukum (istinbath).[4]
Imam al-Amidi beranggapan bahwa, Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan
yang ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya dhanni sampai dirinya merasa
tidak mampu lagi untuk mencari tambahan kemampuannya.[5]Menurut
para ahli yang lain, ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua
kemampuan yang telah ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya zanni sampai
dirinya tidak mampu lagi untuk mencari kemampuannya.Ahli tahqiq mengemukakan
bahwa ijtihad adalah qiyas untuk mengeluarkan (istinbath) hukum
dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
Berdasarkan
difinisi diatas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah menggunakan segala
kesanggupan dengan sungguh-sunnguh untuk mencari suatu hukum syara’ yang
bersifat zanni.
B. PERBEDAAN DAN PERMASAMAAN ARTIKULASI IJTIHAD
Dan di dalam
artikulasi konsep ijtihad terdapat perbedaan dan persamaan di kalangan ulama,
yaitu:
1)
Perbedaan
- Dalam penggunaan bahasa, yaitu:ada di antara ulama usul yang menggunakan
kata Istifragh (mengeluarkan), sementara yang lain menggunakan katabadzl
(mengerahkan).
- Dalam Subjek Ijtihad; Sebagian ulama berpendapat bahwa ijtihad hanya mencakup
mencakup bidang fiqh saja. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa
ijtihad mencakup bidang yang sangat luas tidak terbatas pada
persoalan-persoalan fiqh.
- Dalam Sumber Ijtihad; Sebagian ulama berpendapat bahwa sumber pokok hukum ijtihad
adalah terbatas mencakup Nash [al-qur'an dan Sunnah) saja. Sementara
sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sumber ijtihad tidak terbatas
pada nash, tetapi juga sumber yang lain, seperti akal dan juga adat.
- Dalam Metode Ijtihad; Sebagian ulama berpendapat bahwa metode ijtihad terbatas pada
sumber ma’quli dari Qur’an dan Sunnah saja. Sementara sebagian yang lain
berpendapat bahwa metode ijtihad selain mencakup ma’quli dari nash, tetapi
juga ma’quli dari ra’yu.
2)
Persamaan
- Hukum yang
dihasilkan selalu bersifat zhani, bukan hukum qath'i. Artinya, apapun
hasil ijtihad yang dihasilkan oleh ulama adalah bersifat zanni (kebenaran
yang bersifat relative, bukan bersifat absolut).
- Objek
ijtihad seputar hukum taklifi, yaitu hukum yang mengandung perintah,
larangan, dan pilihan seperti dalam hukum yang lima [wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah].
- Setiap
ulama usul selalu menggunakan kata sungguh-sungguh dalam setiap definisi
mereka. Artinya ijtihad harus dilakukan dengan serius dan
bersungguh-sungguh, sehingga ijtihad yang tidak dilakukan secara serius
(bersungguh-sunnguh) tidak dapat dikategorikan sebagai ijtihad.
[1]Prof.
Dr. Muhaimin, MA, et.al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, editor Marno,
M.Ag., (Jakarta: Kencana, 2007):
177.Lihat juga Ibrahim Husein, h. 23.
[2] Al-Syaikh Muhammad al-Hudhariy, Tarikh
Tasyri’ al-Islami, (Indonesia: dar al-Ihya Kutub al-‘Arabaiyyah, 1981), h.
113
[3] Lihat
Abdul hamid Hakim, Mabadi awaliyah, (Jakarta: Sa’diyah Putra, tt); As-Sulam,
(Jakarta: Sa’diyah Putra, tt); dan al-Bayan, (jakarta: Sa’diyah Putra,
tt).
[4]
Lihat Imam as-syaukani, Irsyad al-Fukhul .
[5]
Lihat Imam al-Amidi, al-Ihkam fi ushul al-Ahkam.
No comments:
Post a Comment