Oleh:
Agus Miswanto, MA
[Peminat Kajian Hukum Islam]
Menurut ulama
usul, dalam masalah ijtihad, harus adanya beberapa unsur yang ada didalamnya,
yaitu: (1) Mujtahid, yaitu orang
yang melakukan ijtihad; (2) Masalah yang akan di-ijtihadi yang benar-benar
membutuhkan pencarian status hukumnya; (3) Metode istinbath (pengambilan
kesimpulan pendapat); (4) Natijah, yaitu hasil atau kesimpulan hukum
yang telah diijtihadi. Sementara, Nadia
Syarif al-'Umari berpendapat bahwa rukun ijtihad adalah sebagai berikut: (1) Al-waqi’
(adanya kasus); (2) Mujtahid (seorang yang mempunyai kompetensi); (3) Mujtahid
fih (hukum syariah yang bersifat amali-taklifi); (4) Dalil syara’ (dalil yang
digunakan menentukan suatu hukum bagi mujtahid).[1]
1. Mujtahid
Mujtahid adalah seorang yang fakih, pakar dalam bidang
hukum Islam, yang berusaha keras dengan segenap kemampuanya dalam rangkan untuk
menghasilkan dan menemukan ketentuan-ketentuan hukum Islam dengan cara
melakukan istibath (penarikan kesimpulan) dari nash-nash al-qur’an dan
as-Sunnah. Dalam berijtihad seorang
mujtahid harus memenuhi kaulifikasi (persyaratan) dalam berijtihad.
Dilihat dari sisi persyaratan, maka seorang mujtahid harus memenuhi
dua persyaratan utama yaitu syarat umum
dan syarat keahlian. Syarat umum adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang mujtahid sebagai seorang muslim mukallaf yaitu muslim, baligh, sehat
fikiran, dan dhabit. Sementara syarat keahlian adalah syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang mujtahid yang berhubungan langsung dengan kecakapan profesional
untuk melakukan ijtihad yang mana ini diperoleh melalui proses pendidikan yang
pada akhirnya memperoleh kemampuan tersebut. Syarat keahlian ini ada dua hal,
yaitu syarat pokok dan pelengkap. Syarat
pokok meliputi penguasaan Alquran, penguasaan terhadap sunnah, penguasaan
terhadap ilmu bahasa Arab, dan penguasaan terhadap ijma ulama. Sementara persyaratan
pelengkap meliputi, yaitu mengetahui baraah ashliyah, mengetahui
subtansi syariah, mengetahui qawaid al-kuliyah, mengetahui masalah
khilafiyah, mengetahui ilmu mantiq, dan mempunyai integritas moral dan
spiritual.
Sementara kalau
dilihat dari sisi jenisnya, mujtahid dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
mujtahid mutlak dan mujtahid mazhab. Mujtahid muthlak ada
beberapa macam yaitu mustaqil, muntasib, muqadiyat, dan mujtahid fil masa’il.
Sedangkan mujtahid mazhab dibedakan ada dua yaitu mujtahid tahrij dan tarjih. Untuk
penjelasan masing-masing adalah sebagai berikut:
1)
Mujtahid Mutlak
a.
Mujtahid Mustaqil
Mujtahid Mustaqil adalah para mujtahid yang menyusun metode dan
dasar mazhabnya sendiri. Seperti Imam Syafi’I, Maliki, Hambali, dan
Hanafi, yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan
dan Al Qur’an dan Hadits, dan seringkali mendirikan madzhab sendiri seperti
halnya pada sahabat imam yang empat, yaitu Syafi’I, Hambali, Hanafi, dan
maliki.
b.
Mujtahid Muntasib
Tidak menyusun dasar mazhab sendiri tapi menggunakan dan mengikuti
metode gurunya. Mereka ini berfatwa dengan ijtihadnya sendiri tetapi metode
yang dipergunakan selaras atau mengambil metode gurunya. Contohnya adalah Imam
Abu Yusuf muridnya Abu Hanifah. Imam al-haramain Juwaini, muridnya imam
as-Syafi’i.
c.
Mujtahid Tarjih[Muqadiyyat]
Yaitu
orang-orang yang berijtihad yang mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama
salaf, dengan kesanggupan untuk menentukan nama yang lebih utama dan menentukan
pendapat-pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat diantara riwayat
itu, begitupun mereka memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para
mujtahid yang diikuti.
d.
Mujtahid Fil Masail [Ijtihad Parsial dalam Cabang-Cabang Tertentu]
Yaitu
orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam
arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab, misalnya, Hazairin
berijtihad tentang hukum kewarisan Islam, Mahmuds Junus berijtihad tentang hukum
perkawinan, A. Hasan Bangil berijtihad tentang hukum kewarisan dan hukum
lainnya.
2)
Mujtahid Mazdhab [Mujtahid Fil Madzhab/Fatwa Mujtahid]
Yakni para
mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak membentuk madzhab tersendiri,
tetapi dalam bebeapa hal, dalam berijtihad mereka berbeda pendapat dengan
imamnya, misalnya, Imam Ar-Rafi’i dan imam an-Nawawi mengikuti pendapat gurunya
Imm as-Syafi’i dalam masalah fiqh. Mujtahid fil Mazhab ini dibedakan dalam dua
kelompok, yaitu:
a.
Mujtahid Tahrij
Mujtahid Tahrij adalah para mujtahid yang melakukan penelitian
ulang terhadap dalil-dalil hukum yang dipergunakan oleh guru-guru mereka.
Mereka memberikan komentar berupa hasiyah dari kitab-kitab yang ada dalam
mazhab mereka. Mereka melakukan tahrij terhadap dalil-dalil hukum yang ada di
dalam mazhabnya dalam rangka untuk memperkuat otoritas dalil yang digunakan.
b.
Mujtahid Tarjih
Mujtahid Tarjih
adalah mereka yang melakukan penelitian terhadap dalil-dalil yang seolah
bertentangan dalam mazhab mereka, dan kemudian melakukan pentarjihan
(pengokohan) terhadap dalil yang dianggap paling/lebih kuat. Hasil dari kejian
mereka disebut dengan fiqh muqaranah (fiqh perbandingan). Contoh Imam
al-Qurtuby menulis buku fiqh Bidayatul Mutahid fi kifayatil Muqtashid, sebuah
karya tentang fiqh perbandingan dalam mazhab Maliki.
2.
Metode Ijtihad
(Istinbath)
Metode
adalah cara atau jalan. Secara istilah, metode adalah cara kerja untuk dapat
memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dalam berijtihad, seorang mujtahid juga dipersyaratkan
mengetahui tentang metode ijtihad
yang dipergunakanya. Ijtihad tidak boleh dilakukan tanpa metode yang jelas.
Seorang Mujtahid harus dapat mengekplorasi kasus hukum dengan tahapan-tahapan
yang pasti dengan suatu metode tertentu sehingga dihasilkan ketentuan hukum
jelas, tidak membingungkan. Dalam kajian usul fiqh, paling tidak ada tiga
metode dalam istinbath hukum yaitu, metode bayani, qiyasi, dan istislahi.
Metode istinbath (ijtihad) dapat diklasifikasikan dalam tiga cara,
yaitu metode bayani, qiyasi, dan istislahi.
a. Metode Bayani (Kebahasaan)
Secara bahasa berarti proses penampakan dan
menampakan (al-zuhur wal izhar) serta aktivitas memahami dan memahamkan
(al-fahm wa al-ifham). Secara
Istilah, al-bayan adalah metode memahami fenomena teks keagamaan dengan
menggunakan pendekatan kebahasaan.
Dalam metode bayani terdapat empat metode pemahaman terhadap lafal (teks),
yaitu (1) kandungan lafal terdiri dari ‘am/khas, Muthlaq/muqayyad, dan
Nahi/amar; (2) penggunaan lafal terdari dari Majaz, Sarih, dan kinayah; (3) petunjuk
lafal terdiri dari Dhahir, nash, mufasir, Muhkam, khafi, musykil, mujmal,
mutasyabih; dan (4) cara lafal menunjukan terdiri dari Manthuq dan mafhum
b. Metode Ta’lili (Qiyasi)
Ta’lili adalah metode penetapan hukum yang menggunkan pendekatan
penalaran. Termasuk dalam metode ini adalah semua penalaran yang menjadi ‘illat
(keadaan atau sifat yeng menjadikan tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Di
sini dibahas cara-cara menemukan illat, persyaratan illat, penggunaan illat dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya
ditemukan. Dan dalam praktiknya, metode qiyasi
dibedakan dalam lima tingkatan yaitu: Qiyas
Aula, Qiyas Musawi, Qiyas adna, Qiyas
jali, dan Qiyas khafi.
c. Metode Istishlahi (Pertimbangan Maslahat)
Istislahi
adalah metode penetapan hukum berdasarkan pertimbangan kemaslahatan sebagai
hasil deduksi nas syara’ yang bersifat umum.Ayat-ayat umum dikumpulkan guna
menciptakan beberapa prinsip umum, yang digunakan untuk melindungi atau
mendatangkan kemaslahatan tertentu. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi
tiga tingkatan, yaitu: darurat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan
sekunder) dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan, tersier). Dalam menentukan kemaslahatan tersebut
digunakan beberapa metode yaitu: Maslahah
mursalah, Istihsani, Istishabi, Amal
ahlu madinah, Urfi, Mazhab
shahabi, dan Sadd al-dari’ah.
Di dalam aplikasinya, ada tiga model dalam menggunakan dan memperlakukan ketiga metode
ijtihad di atas, yaitu hierarki, proporsional, dan eklektik.
1)
Model
hierarki, yaitu memperlakukan metode ijtihad dengan mendahulukan yang lebih
tinggi derajatnya kemudian oleh metode yang
ada dibawahnya.
2)
Model
Proporsional, yaitu memperlakukan metode ijtihad berdasarkan kasus/masalah yang
dihadapi.
3)
Model
Eklektik, yaitu memberlakukan metode ijtihad dengan campuran, sebab tak satu
pun kasus dapat dipecahkan hanya dengan satu metode/pendekatan.
3.
Hasil
Ijtihad (Natijah)
Hasil ijtihad (natijah) merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh
ulama (mujtahid) atau lembaga-lembaga fatwa (ijtihad) yang ada di tengah umat.
Hasil ijtihad merupakan produk jadi yang siap untuk digunakan dan diaplikasikan
dalam konteks praktis. Hanya saja, ada beberapa produk ijtihad yang tidak
aplikatif dan sering menimbulkan kontroversi di kalangan ulama. Hal ini
disebabkan masih banyaknya subhat dan ketidaksepakatan dikalangan umat dan
ulama terhadap suatu produk ijtihad yang bersangkutan. Oleh karena itu, di
dalam mengaplikasikan produk ijtihad, harus mempertimbangkan perbedaan-perbedaan
yang ada yang tumbuh di tengah umat, sehingga tidak menimbulkan konflik dan
tafaruq (perpecahan) umat.
Ada beberapa hal (sebab) yang menimbulkan Perbedaan hasil Ijtihad
di kalangan ulama. Sebab-sebab itu diantaranya, yaitu (1) Perbedaan dalam
memahami Alquran dan sunnah; (2) Perbedaan dalam status hadis; (3) Perbedaan
dalam prinsip-prinsip hukum yang dipergunakan; (4) Perbedaan kemampuan
mujtahid, kecerdasan, keinginan, ta’asub, dsb; (5) Cara penyelesaian kasus
berdasarkan metode ijtihad yang dipergunakan. Sementara itu, menurut Prof. Dr. Quraish
Shihab, ada beberapa sebab timbulnya perbedaan ijtihad di kalangan ulama,
yaitu: (1) Subyektivitas mujtahid; (2) Kesalahan dalam menetapkan metode atau
kaidah (usuliyah atau fiqhiyah); (3) Kedangkalan ilmu mujtahid (ilmu alat
dan ilmu bahasa); (4) Tidak memperhatikan konteks (asbabun nuzul/wurud,
hubungan antar nash, maupun kondisi sosial kemasyarakatan); (5) Tidak
membicarakanya siapa pembicara atau pada siapa pembicara itu ditujukan.[2]
Sementara itu, Jalaluddin Rakhmat, mengidentifikasi lima kesalahan
yang sering kali muncul dalam ijtihad yang itu berimplikasi pada perbedaan
hasil ijtihad di kalangn ulama, yaitu (1) Kesalahan Justivikasi, yaitu
kesalahan penilaian persoalan dan pemberian landasan hokum; (2) Interpolarisasi,
yaitu ketidaktepatan dalam proses pengelompokan dan pembedaan masalah dan dalil;
(3) Manipulasi, yaitu adanya manipulasi baik dalam penggunaan dalil ataupun
dalam pengungkapan fakta; (4) Subjektivitas, yaitu penilaian yang terlalu
subyektif, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sangat dangkal dan
berorientasi pada kepentingan pribadi, kelompok, atau mazhabnya; (5) Inakurasi,
yaitu ketidakakuratan dalam memberikan penilaian hokum, karena factor
subyektivitas, ketidakcermatan, keterbatasan sudut pandang.[3]
[1]
Nadiyah Syarif al-Umari, al-Ijtihad fi al-Islam: Ushuluhu, ahkamuhu, Afaquhu,
(Bairut: Muassasah Risalah, 1981), 50-51. Lihat Juga Prof.Dr. Muhaimin, MA,
et.al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, editor Marno, M.Ag., (Jakarta:
Kencana, 2007), h.187-188.
[2]Prof.
Dr. Muhaimin, MA, et.al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, editor Marno,
M.Ag., (Jakarta: Kencana, 2007), h. 207
[3]
Jalaluddin Rakhmat, “Ijtihad Sulit dilakukan Tetapi perlu”, dalam Mochtar Adam,
Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1991), h. 177-180.
No comments:
Post a Comment