Oleh Agus Miswanto, MA
[Peminat Kajian Hukum Islam, Tinggal di Magelang]
2.
At-Tarihiyah (Historis)
3.
Pendekatan Sosiologis
4.
Pendekatan Antropologis
Pendekatan (approach) ialah
sekumpulan asumsi mengenai hakekat sesuatu. Pendekatan adalah cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunkan dalam
memahami agama.[1]
Dalam ijtihad, ada banyak pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka untuk
melihat dan memecahkan persoalan hukum. Diantaranya adalah hermeneutic,
sejarah, sosiologi, dan antropologi.
1. Pendekatan Hermeneutic (At-Tafsir Al-Ijtima’i Al-Mu’ashir)
Kata
hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein, yang dapat
diterjemahkan dengan menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan.
Selanjutnya, derivasi hermeneuein menghasilkan kata hermeneia,
sebagai kata benda, yang berarti penafsiran atau interpretasi, sementara kata
hermeneutes, kata subjek, bermakna interpreter (penafsir). Dengan
demikian, hermeneutika (hermeneutik) dapat didudukan dan bertindak sebagai
penafsir serta ditunjukkan pembedaannya dengan kata hermetik. Kata hermetik
sendiri merupakan pandangan filsafat yang diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetik,
suatu literatur ilmiah Yunani yang berkembang pada abad awal-awal pasca
Kristus. Tulisan ini disandarkan kepada Hermes Trimegistus.[2]
Padanan
transliterasi hermeneutika dalam bahasa Inggris adalah hermeneutics (noun/kata
benda) dengan kata hermeneutic sebagai adjective (kata
sifat)-nya. Sebagian kalangan membedakan kata hermeneutic (without
‘s’) dan hermeneutics (with ‘s’). Term yang pertama, ditujukkan
sebagai sebuah kata adjective (kata sifat), apabila diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi ketafsiran dengan menunjuk keadaan atau
sifat yang terdapat dalam satu penafsiran. Sementara term yang kedua, sebagai
kata benda (noun), memiliki tiga pengertian, yaitu (1) sebagai ilmu
penafsiran, (2) sebagai ilmu yang menelisik maksud yang terkandung dalam
kata-kata dan ungkapan penulis, dan (3) sebagai penafsiran yang secara khusus
menunjuk kepada penafsiran kitab suci.[3]
Dalam kata
kerja hermeneuien terkandung tiga unsur pokok. Pertama, adanya
pesan, tanda atau berita yang seringkali berbentuk teks. Kedua, adanya
sekelompok orang atau penerima pesan dari teks tersebut. Ketiga, adanya
perantara antara teks dan penerima teks. Dalam pengalaman nyata, ketiga unsur
itu dapat diganti tempatnya dalam urutan waktu, khususnya si penafsir dapat
“pindah” ke tempat kedua atau malahan ke tempat pertama. Penampilannya di depan
para penerima menyatakan adanya suatu pesan. Kata hermenutika sendiri, dengan
demikian, menunjukkan seluruh wilayah berlangsungnya hermeneuein itu.[4]
Ketiga unsur
inilah yang nantinya akan menjadi komposisi utama dalam seluk beluk
hermeneutika (triadic structure of the act of interpretation), yaitu
sifat-sifat teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks, dan bagaimana
pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan dan
kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan menafsirkan teks. Apabila
dirunut ke belakang, keberadaan hermeneutika dapat dilacak sampai Yunani Kuno.
Pada waktu itu, diskursus tentang hermeneutika telah menunjukkan geliatnya
sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Aristoteles yang berjudul Peri
Hermenians (de interpretation).
Kesimpulannya,
secara terminologis, hermeneutika bisa didefinisikan dalam tiga hal berikut. Pertama,
proses pengungkapan pikiran seseorang dalam bentuk kata-kata, menerjemahkannya
serta bertindak sebagai penafsir. Kedua, usaha mengalihkan suatu bahasa
asing yang maknanya gelap dan tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa
dimengerti oleh si pembaca dan ketiga, pemindahan ungkapan pikiran yang
kurag jelas menjadi sebentuk ungkapan yang lebih terang.[5]
Dalam kajian
hermeneutika, problem kesenjangan bahasa, kultur, penafsiran, dan misteri
sebuah teks merupakan inti persoalan. Dengan begitu, sejak awal, hermeneutika
berurusan dengan tugas menerangkan kata-kata dan teks yang dirasakan asing oleh
masyarakat, baik karena datang dari Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit”
ataupun dari generasi terdahulu yang hidup dalam tradisi dan bahasa “asing.”
Persoalan penafsiran dan pemahanan ini semakin fenomenal dengan hadirnya
masyarakat global yang ditandai dengan pluralitas agama, kebudayaan, dan
bahasa. Sebagai juru bicara Tuhan, Hermes/Nabi Idrīs harus berusaha merangkai
kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar dapat mudah dipakai oleh manusia.
Pada
prinsipnya, hermeneutika berkaitan dengan bahasa. Ketika sebuah teks dibaca
seseorang, disadari atau tidak akan memunculkan interpretasi terhadap teks
tersebut. Dengan kata lain, setiap kegiatan manusia yang berkaitan dengan
berpikir, berbicara, menulis dan menginterpretasikan selalu berkaitan dengan
bahasa. Realitas yang masuk dalam semesta perbincangan manusia selalu sudah
berupa realitas yang terbahasakan sebab manusia memahami segala sesuatu dalam
bahasa.[6]
Berbahasa,
selalu mengandaikan adanya dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal.
Dimensi internal adalah situasi psikologis dan kehendak berpikir (intensi).
Sedangkan dimensi ekternal adalah tindakan menafsirkan dan mengekspresikan
kehendak batin dalam wujud lahir, yaitu kata-kata yang ditujukan kepada orang
lain. Karena berbahasa selalu melibatkan penafsiran kehendak batin, maka
tidaklah semua yang kita ucapkan senantiasa berhasil merepresentasikan seluruh
isi hati dan pikiran dari benak kita. Oleh karenanya, kebenaran sebuah bahasa
bukan semata terletak pada susunan gramatikanya saja, tetapi juga pada tata
pikir, intensi dan implikasi dari sebuah ucapan. Begitu besar peranan bahasa
dalam kehidupan manusia, sehingga Ernst Cassirer menyatakan bahwa manusia
adalah animal symbollicum.[7]
Sebagai sebuah
metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga
berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Hermeneutika berusaha menggali
makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang melingkupi teks
tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca.
Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman
atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang selain
melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang
masuk serta ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha
melahirkan kembali makna sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca
atau dipahami. Dengan kata lain, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai
komponen pokok dalam upaya penafsiran yaitu teks, konteks, kemudian melakukan
upaya kontekstualisasi.
Satu hal yang
tidak dapat dihindari oleh siapapun adalah adanya kenyataan bahwa
perintah-perintah Tuhan (Divine instructions) selalu bertumpu pada teks,
sedangkan pada saat yang bersamaan teks itu sendiri selalu bertumpu sepenuhnya
pada bahasa. Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa,
karena ia tidak lain dan tidak bukan adalah hasil kesepakatan komunitas dan
ciptaan budaya manusia. Bahasa sendiri, tampaknya, memiliki realitas objektif
sendiri karena maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif dan sepihak, baik
oleh author (pengarang) maupun oleh pembaca (reader). Pemahaman
teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author),
teks (text) dan pembaca (reader).
Dengan
demikian, terdapat proses penyeimbangan antara berbagai muatan kepentingan yang
dibawa oleh masing-masing pihak dan terjadi proses negosiasi (negotiating
process) yang bersifat terus-menerus, tidak kenal lelah antara ketiga
pihak. Dalam studi kritik literer (literary criticism) diperoleh
penjelasan bahwa pengarang teks harus selalu mempertimbangkan apakah ia akan
tetap berada dalam kebiasaan tertentu ataukah harus melampaui
kebiasaan-kebiasaan tersebut sehingga harus berani menghadapi berbagai
konsekuensi yang ditimbulkan. Sesungguhnya, begitu sebuah teks dilahirkan, ia
memiliki dunia kehidupan, hak-hak dan integritasnya sendiri.[8]
Berangkat dari
asumsi dasar teori hermeneutic bahwa seorang pembaca teks (reader)
tidak memiliki akses langsung kepada penulis atau pengarang teks karena
perbedaan ruang, waktu, dan tradisi, maka pengarangmengekpresikan diri dalam
bahasa teks, dengan demikian ada makna subjektif. Selanjutnya, menjadi
masalah adalah bagaimana membawa keluar makna subjektif sebagai objektif kepada
orang lain? Boleh jadi dan dapat dikatakan bahwa hermeneutikdapat mengungkapkan
horizon masa lalu kepada dunia masa kini dan dalam perkembangan selanjutnya
muncul hermeneutiksebagai kritik.
Untuk membangun
keterbukan, mendudukan hubungan atau relasi antara teks (text),
pengarang (author), dan pembaca (reader), maka ketiga-tiganya
harus dikaitkan secara proporsional. Anatomi ketiganya dapat digambarkan pada
skematisasi di bawah ini sekaligus proses relasi yang proporsional.
Tugas pokok hermeneutika ialah bagaimana
menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik
kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasan cultural yang berbeda. Proses
pemahaman dan penafsiran ini tidak dengan induksi dan tidak pula deduksi,
melainkan dengan metode alternatif yang disebut abduksi, yaitu menjelaskan data
berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki
berbagai kemungkinan kebenaran.
Tujuan utamanya adalah melakukan rekonstruksi makna seobyektif
mungkin sebagaimana yang dikehendaki pengarang. Hermeneutika berusaha menemukan
gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar yang terjadi dalam sejarah yang
dihadirkan kepada kita oleh teks. intuisi penafsir sangat diperlukan, disamping
sikap ‘curiga’ dan ‘waspada’ agar kita tidak tertipu oleh system tanda atau
struktur gramatika bahasa yang ada dipermukaan sehingga mengaburkan makna yang
lebih obyektif.
2.
At-Tarihiyah (Historis)
Sejarah atau
histories adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. melalui pendekatan ini seseorang diajak untuk memasuki
keadaan sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Melalui pendekatan kesejarahan sesorang diajak menukik dari alam idealis
ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.
Pendekatan tarikh ini dalam praktiknya dibedakan dalam dua cakupan,
yaitu pendekatan tarikh mikro (asbabun nuzul/asbabul wurud), dan pendekatan
tarikh makro (sosio historis). Pendekatan tarikh mikro yaitu pendekatan untuk
memahami sebuah teks (nash) berdasarkan ada (tidaknya) peristiwa khusus yang
menjadi sebab teks (wahyu) itu muncul (turun). Dalam hal ini, hadis-hadis yang
khusus (asbabun nuzul/wurud) yang berbicara tentang teks dihadirkan. Sementara
pendekatan tarikh makro adalah melihat secara global tentang keadaan dan
situasi histori pada saat teks (nash) turun. Walaupun teks (nash) yang
bersangkutan tidak memiliki asbabun nuzul atau asbabul wurud yang bersifat
khusus.
3.
Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia
yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba untuk
memahami dan mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta
berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaanya,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam
tiap persekutuan hidup manusia.
4.
Pendekatan Antropologis
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Pendekatan antropologis lebih mengutamakan
pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
[1]Abuddin Nata, Pengantar
Studi Islam (jakarta: Rajawali Press).
[2]Sumaryono, E., Hermeneutika: Sebuah Metode
Filsafat (Yogyakarta: Kanisus, 1999), hlm. 23. Muzairi, “Hermeneutik dalam
Pemikiran Islam” dalam buku Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur´an
Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I, hlm. 53. Dalam
pengertian bahasa Latin, hermetik memang diasosiasikan pada Hermes,
tetapi dengan pengertian sebagai “god regarded as founder of alchemy.” Lihat,
Allen, R. E. (ed.), The Oxford Dictionary of Current English (New York:
Oxford University Press, 1990), hlm. 344.
[3]Webster, Noah, Webster’s New School and Office
Dictionary: Newly Revised Edition (New York: Fawcett Crest Book, 1974),
cet. XXIII, hlm. 338. Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur´ani: Antara Teks,
Konteks, dan Kontekstualisasi (Yogyakarta: Qalam, 2003), cet. III, hlm.
20-21.
[4]Verhaak, Christ, “Aliran Hermeneutik: Bergumul
dengan Penafsiran” dalam buku FX. Mudji Sutrisno dan Fransisco Budi Hardiman
(ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisus, 1994), cet.
II, hlm. 74. Lihat juga, Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer:
Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogyakarta-Bandung: Jalasutra, 2006), cet.
I, hlm. 199.
[5] Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur´ani:
Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi (Yogyakarta: Qalam, 2003), cet.
III, hlm. 22.
[6]Bahasa, dalam konsep Hassan Hanafi, adalah
bentuk pemikiran, sedangkan makna adalah kandungan atau isinya. Adapun realias
eksternal merupakan rujukan (referensi) makna. Bahasa adalah ruang dari “ada”
atau, dengan kata lain, bahasa adalah rumah dari wujud dan bukan struktur yang
kosong. Sedangkan nuansa ekspresi dan kebahasaan adalah alat bagi sesuatu yang
lain untuk memahami makna dan menemukan realitas. Lihat, Hanafi, Hassan, Islam
Wahyu Sekuler: Gagasan Kritis Hassan Hanafi, terj. M. Zaki Hussein & M.
Nur Khoiron (Jakarta: Inst@d, 2001), cet. I, hlm. 206.
[7]Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang
Makna (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2033), cet. II, hlm. 15.
[8]Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi, hlm. 278.
No comments:
Post a Comment