Oleh:
Agus Miswanto, MA
[Aktivis Dakwah, Sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Magelang]
1.1
Latar
Belakang Historis
Untuk
mengenal lebih jauh pemikiran Mahrnud Syaltut maka ada baiknya meninjau latar
belakang pemikirannya. Hal ini penting mengingat adanya pola ineteraksi antara
pemikiran dengan lingkungannya. Karl A. Steenbrik menjelaskan, bahwa penulis
suatu kitab atau karya pemikiran merupakan suatu proses komunikasi dan proses
ekspresi penulisnya dengan lingkungannya[1]. Hal inilah yang
mendorong Mahmud Syaltut dalam memunculkan buah pikirannya. Dengan demikian berarti buah pemikiran (karya karangan)
tak mungkin muncul tanpa konteks.[2].
Untuk memahami pemikiran Mahmud Syaltut dan kaitannya dengan Negara Mesir, maka akan selalu terdapat proses komunikasi dan ekspresi dengan lingkungannya, dan hubungan timbal balik antara pemikiran keislaman di satu pihak dengan kondisi sosial di pihak lain. Pemikiran bersumber dari pengetahuan yang dibentuk secara sosiologis (socioally constructed), karena itu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari akar sosialnya, tradisi dan keberadaan pemikir tersebut. Dengan itu pula, pemikiran Mahmud Syaltut tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya dalam suatu posisi sejarah atau tradisi panjang yang melingkarinya. Dengan demikian, akan dijelaskan latar belakang historis yang melingkari kemunculan pemikiran Mahmud Syaltut, yang mencakup dua hal: 1) kondisi sosial politik, dan 2) kondisi gerak intelektual.[3]
1.1.1
Kondisi
Sosial Politik
Mesir,[4] yang terletak pada
persimpangan jalan antara Afrika dan Asia, memiliki posisi yang strategis,
disamping tanah yang subur, membangkitkan minat para penakluk dan negara-negara
besar pada masa lampau. Arti strategis Mesir bertambah lagi dengan digalinya
terusan Suez pada tahun 1869. Meskipun milik swasta, terutama maskapai
Perancis, secara strategis berada dibawah kontrol inggris yang menyadari
kepentingan terusan ini bagi kepentingan imperiumnya.[5]
Pada pengalaman akhir abad XIX situasi politik, sosial dan intelektual di Mesir sedang mengalami perubahan, sebab pada masa itu dengan berakhirnya perang dunia I, Mesir mengalami kebangkitan nasionalisme[6] yang ditunjang oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Kehadiran pasukan Inggris[7], Australia dan Selandia Baru yang melukai rasa kebangsaan Mesir, 2) pembiayaan besar bagi tentara berpenghasilan tetap, 3) digunakannya orang Mesir menjadi tenaga kerja Inggris yang mengurangi persediaan buruh Mesir, dan 4) Naskah Empat Belas Pasal Wilson serta deklarasi inggris-Perancis yang menjajikan kemerdekaan bagi negara-negara Arab yang merangsang hasrat yang besar guna meraih kemerdekaan penuh dari pengawasan asing.
Perang Dunia II mengakibatkan kekacauan dalam struktur sosial dan ekonomi Mesir yang serupa dengan yang pada masa perang Dunia I, dan pengaruhnya pada psikologi politik Mesir juga sebanding. Hal ini juga merangsang suatu gelombang nasionalisme anti asing yang cenderung condong berbentuk kekerasan. Walaupun umumnya banyak persamaan antara kedua perang tersebut, ada juga perbedaan. nyata. Jika sesudah perang Dunia I, Wafd[8] menjadi penyambung lidah nasionalisme Mesir, setelah perang dunia II peran ini diambil alih oleh kelompok lain yang lebih ekstrem. Ekstremisme ini ternyata benar, baik pada sayap kiri maupun pada sayap kanan[9].
Di sayap kiri terdapat partai Komunis yang sangat bertambah Prestise-nya sebagai hasil pengaruh Soviet di seluruh Dunia. Kemenangan Soviet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan Soviet di Kairo (1942) merangsang minat terhadap komunisme di antara mahasiswa dan para intelektual muda. Sementara itu sayap kanan terdapat kelompok persaudaraan Islam (lkhwan al-Muslimin), didirikan oleh Syaikh Hasan al-Banna (1929) di Ismailia, yang pro Islam dan anti Barat. Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut pada akhir perang Dunia II, bahkan pengaruhnya menembus di luar wilayah Mesir.
Kemunculan Ikhwan Muslimin, dalam konstelasi perpolitikan Mesir, sebagai suatu reaksi terhadap penghapusan khalifah dan berkembangnya pemikiran sekularisme dam politik dan pendidikan. Pandangan-pandangan mereka bersifat reaktif dan apologis.[10] Karena dalam realitas-faktual pemerintah liberal dan elit politiknya (1923-1952) melakukan penolakan untuk menjadikan agama sebagai kerangka rujukan dan acuan normatif bagi tindakan politik, halal haramnya urusan pemerintah, polarisasi sosial dan keabsahan pemerintahan secara umum.[11]
Sikap Pemerintah Mesir dalam usahanya mempertahankan ketertiban terlihat pada tindakan pembersihan terhadap kaum komunis, yang terjadi pada bulan Juli 1946. Disusul pada bulan Pebruari 1949 pembunuhan terhadap Hasan al-Banna setelah pemerintah Mesir melarang kelompok persaudaraan (ikhwan muslimin) pada bulan Desember 1948.
Dinamika politik di Mesir terlihat kental ketika kerusuhan Kairo pada 19 Januari 1952 Ismailia meletus sebagai awal revolusi yang dimotori oleh partai sosialis Dr. Ahmad Husain. Kemudian pada tanggal 13 Juli terjadi revolusi Juli yang dilakukan oleh suatu komando revolusioner yang terdiri atas sebelas perwira muda, dikenal Free Officers. Kelompok Free Officers sebagai kekuatan dinamis baru diketuai oleh Muhammad Najib, yang menanfaatkan kesempatan untuk kudeta terhadap raja Faruk, di saat situasi tidak dapat dikendalikan.[12]
Pada saat dialakukan pengambilalihan kekuasan tertinggi di negara itu, ia mengajak kelompok Ikhwan a1-Muslimin yang mempunyai pendukung dari kelangan masyarakat bawah, karenanya la dikenal dengan revolusi 1952. Setahun kemudian, tapatnya pada tanggal 28 Juni 1953 Mesir secara resmi menjadi Republik. Sebagai presiden pertama adalah Muhammad Najib dan perdana menterinya Gamal Abdul Nasir. Hal ini sekaligus mengakhiri riwayat monarki yang dibangun Muhammad Ali.[13]
Kerjasama yang dilakukan Muhammad Najib dan Ikhwan al-Muslimin tidak berlangsung lama. Sebab pemerintahan Mesir menganggap Ikhwanul Muslimin satu-satunya kelompok yang sangat berbahaya karena memiliki organisasi yang efektif, idiologi yang berpengaruh dan tradisi perlawanan terhadap rezim lama.
Dalam penjelasan di
atas, nampak kondisi politik di Mesir sejak awal abad XIX mengalami dinamika dalam
usahanya melepaskan penganuh imperialisme dan kolonialisme Barat. Disamping itu
juga selalu didominasi oleh pertentangan antara nasionalisme sekuler dan
golongan Islam tradisional.[14] Pertentangan ini
diwakili oleh penganut-penganut teori yang berbeda, yang pendukung-pendukungnya
membuat perbedaan ini berlangsung lama.
Situasi politik sedemikian rupa, di mana Mahmud Syaltut lahir dan dibesarkan - berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya. Hal ini terlihat dalam keterlihatannya dalam berbagai pergolakan politik dari masa remajanya sampai dia menjadi orang ternama. Diantaranya adalah keterlibatannya dalam revolusi Mesir 1919 yang dipimpin oleh Saad Zaghlul Pasha yang terkenal itu.[15] Demikian juga pada revolusi yang kedua, revolusi Juli 1952, Mahmud Syaltut telah membantu menciptakan definisi yang lebih konservatif tetang sosialisme Islam, yang menjadi idiologi pemerintah revolusioner baru, yang secara langsung membantah pandangan yang lebih fundamentalis dari para penulis Ikhwanul Muslimin. la menekankan watak yang komprehensif dan universal pesan-pesan Islam dan menekankan bahwa sosialisme Mesir sesuai dengan tradisi Islam.[16] Dalam restrukturisasi pemerintahan baru tersebut, Mahmud Syaltut juga terlibat secara aktif sebagai salah seorang arsitek undang-undang nasionalisasi, walaupn pada akhirnya ia kurang senang terhadap undang-undang baru ini, karena telah membawa Al-Azhar di bawah dominasi negara.[17]
Dari uraian di atas,
memperlihatkan kuatnya perhatian Mahmud Syaltut dalam memperjuangkan
kepentingan umat secara luas, juga terlibatnya dalam gerakan-gerakan politik.
Hal ini menunjukan betapa besarnya pengaruh situasional kondisi politik Mesir
pada pembentukan kepribadian Mahmud Syaltut.
1.1.2
KondIsi
Intelektual
Tahun 1798, awal masuknya penjajahan Napoleon Bonaparte, dan tahun 1805,
tahun diangkatnya Muhamad Ali sebagai gubernur Mesir, dianggap sebagai awal
masuknya pengaruh Eroga ke Mesir secara Formal[18] Muhammad Ali Pasha adalah tokoh pertama yang menerima modernisasi Mesir. Usaha modernisasi
ini diawali dengan kebijakannya untuk memperbaiki Mesir di hampir
segala bidang kehidupan. Seperti bidang pertanian, administrasi, pendidikan,[19] kemiliteran, dan
industri. Semua ini menurut dia, bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Mesir.
Dengan modernisasi di segala bidang menjadikan Mesir masuk masa libral (Libral Age). Paham liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah gagasan pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik.[20]
Dengan berkembangnya pemahaman libral di Mesir, lahirlah apa yang disebut dengan an-nahdah (renaissance). Hal ini dapat dilihat dari usaha penterjemahan dan mengasimilasi prestasi-prestasi peradaban Barat (Eropa Modern), sementara kebudayaan klasik Arab sedang menga.lami kemunduran.[21]
Secara garis besar dapat dilihat adanya tiga kecenderungan pemikiran yang muncul ketika itu. Pertama, The Islamic trend (kecenderungan pada Islam), aliran ini diwakili oleh Rasyid Ridha (1865-1935) dan Hasan al-Banna (1906-1949). Kedua, The syntetic Trend (kecenderungan mengambil sintesa), kelompok yang berusaha memadukan antara Islam dan kebudayaan Barat. Kelompok ini diwakili oleh Muhammad Abduh, Qosim Amin (1865-1908), dan Ali Abd ar-Raziq (1888-1966). Ketiga, The Rational scientific and Lihral trend (kecenderungan rasional ilmiah dan pemikiran bebas). Titik pangkal pemikiran ini sebenarnya bukanlah Islamis melainkan peradaban Barat dan prestasi-prestasi ilmiahnya. Termasuk dalam kelompok ini antara lain Luthft as-Sayyid dan para emigran Syiria yang lari ke Mesir.[22]
Menempatkan Mahmud Syaltut pada salah satu dari ketiga kelompok ini terasa tidak tepat. Menurut Kate Zebiri, seorang pengamat pemikiran pembaharuan dalam Islam, bahwa pemikiran Mahmud Syaltut berada di antara dua aliran ekstrem: konservatisme dan modernisme.[23] Konservatisme mempunyai kecendrungan pada tradisional Islam, sementara modernisme mempunyai kecendrungan mengambil sintesa atau pemikiran bebas. Lebih lanjut, Kate Zebiri menyatakan bahwa Mahmud Syaltut mempunyai kecendrungan pada sikap lunak dan fleksibel dalam menangani beberapa masalah sosial untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimm dalam mengamalkan agama. Mengenai kesatuan umat Islam, ia mempunyai pandangan yang jauh ke depan. Dalam hal ini menurut Kate Zebiri, la melanjutkan jerih payah Muhammad Abduh dan pembaharu Iainnya.[24]
1.2
Latar
Belakang Pendidikan
Mahmud Syaltut merupakan seorang ulama terkemuka dari
universitas AIAzhar, Kairo, Mesir. la tergolong utama yang berpikiran maju dan sangat gigih berjuang untuk
pembaharuan dalam pemikiran Islam pada umumnya dan perbaikan Al-Azhar pada khususnya. la seorang pakar fikih dan tafsir yang menjadi rektor Al-Azhar pada tahun
1958-1963. Mahmud
Syaltut dilahirkan di desa Maniah Bani Mansur, distrik Itai a1-Bairud, dalam
kawasan Buhairah, Mesir, pada tahun 1893 (1311 H) dan wafat di Kairo pada tahun
1963 (1384 H).[25]
Mahmud Syaltut memulai pendidikan agama sejak masih kanak-kanak dengan pelajaran membaca dan menghapal al-Qur'an. Karena kecemerlangan otaknya pada usia 13 tahun la telah menjadi hafiz al-Qur'an. Pada tahun 1906, ia memasuki AI-Ma'had ad-Dini, sebuah Iembaga pendidikan Islam tradisional, di Iskandariyah. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya, ia melanjutkan pendidikannya ke universitas al-Azhar, Kairo dan berhasil menyandang gelar Asy-Syahadat al-'Alimiyyah an-Nizamiyyah (setara dengan gelar MA) sebagai lulusan terbaik pada tahun 1918.[26] Sementara gelar doktor, disamping diperolehya di negerinya sendiri, la juga mendapatkan dari universitas luar negeri sebagai gelar kehorrnatan.[27] Pada tahun 1961, misalnya, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menganugerahkan gelar Doktor Honouris Causa kepadanya.[28]
1.3
Karir
dan Perjuangan
Mahmud Syaltut memulai karirnya dari menjadi seorang guru
pada tahun 1919 di AZ-Ma'had ad-Dini, lembaga pendidikan
Islam tradisional, bekas sekolahnya di Iskandariyah. Di sela-sela
kesibukannya sebagai seorang guru, ia juga aktif terlibat dalam bidang pers,
penerbitan, da'wah, dan menulis. Tulisan-tulisan Mahmud Syaltut sangat beragam
mulai dari masalah-masalah syariah (hukum Islam) sampai masalah bahasa. Dari
sini, la mulai menuangkan gagasan-gagasannya yang bernuansa pembaharuan, terutama
gagasan reformasi di Al-Azhar.[29]
Ketika jabatan rektor AI-Azhar dipegang oleh seorang ulama pembaharu, Mustafa al-Maraghf pada tahun 1928,[30] Mahmud Syaltut diangkat menjadi dosen di universitas tersebut. Kolaborasi antara dua sejawat ini, a1-Maraghi dan Mahmud Syaltut, dalam melandingkan gagasan-gagasan reformasi di kampus ini ditentang oleh banyak pihak terutama oleh ulama tradisionalis-konservatif. Sebagai konsekuensi dari usahanya tersebut, Mahmud Syaltut barsama puluhan ulama lain yang sependirian dengannya dibebas-tugaskan dari jabatannya tahun 1930.[31]
Bagi Mahmud Syaltut tidak ada kata berhenti dan menyerah, walaupun perjuangannya harus dibayar mahal, la terus berupaya menuangkan gagasangagasannya di berbagai media massa mengenai kaharusan pembaharuan dan perbaikan AI-Azhar. Sehingga pada tahun 1935, ketika a1-Maraghi menjabat rektor kembali, Mahmud Syaltut diangkat oleh Al-Azhar menjadi wakil Dekan Fakultas Syari'ah dan menjadi pemilik lembaga pendidikan Islam (AI-Mabhid ad-Diniyah)[32] Dan ini merupakan kesempatan emas bagi Mahmud Syaltut untuk mengadakan reformasi dalam skala yang lebih luas.
Pada tahun 1937, selaku wakil Al-Azhar, Mahmud Syaltut diutus ke kongres hukum Internasional (International Law Confrence), di Den Haag, Negeri Belanda. lni merupakan debut internasional Mahmud Syaltut untuk pertama kalinya dan sekaligus dia bisa melihat perbedaan yang mencolok antara kemajuan Eropa dan Dunia Islam yang tertindas. Dalam kongres tersebut Mahmud Syaltut menekankan visinya tentang pembaharuan Islam dan dapat dijadikannya syari'ah sebagai salah satu sumber legislasi modern.[33]
Pada tahun 1941, Mahmud Syaltut menyampaikan sebuah risalah tentang pertanggung-jawaban sipil dan pidana dalam syari'at Islam, yang menghantarkannya menjadi anggota termuda Majelis Ulama-ulama Besar (Majlis Kibar al-Ulama). Pada tahun berikutnya, 1942, Mahmud Syaltut menyampaikan pidato kembali yang berisi tentang perbaikan AI-Azhar dalam bidang kebahasaan dan sebagai realisasinya ia diangkat menjadi salah satu anggotanya pada tahun 1946. Pada tahun 1950, Mahmud Syaltut diangkat menjadi pengawas umum lembaga penelitian dan kebudayaan Islam AI-Azhar, yang menghantarkannya berkeliling Dunia Islam dalam rangka memperkenalkan jalinan kerjasama dan persatuan di antara negara-negara muslim.
Pada tahun 1957 Mahmud Syaltut diangkat menjadi Sekjen Mu'tamar Islami dan menjabat wakil Syaikh Al-Azhar. Dan pada tahun berikutnya, 1958, ia terpilih sebagai Syaikh (dan rektor) Al-Azhar[34] yang ke empat puluh satu. Selama menjabat sebagai syaikh (dan rektor), Mahmud Syaltut melakukan perubahan-perubahan dan restrukturisasi kelembagaan universitas yang cukup mendasar. Diantaranya adalah mengeluarkan peraturan baru tentang restrukturisasi Al-Azhar dan mendirikan fakultas-fakultas "sekuler", seperti fakultas kedokteran, pertanian, tehnik, dan lain sebagainya. Usaha restrukturisasi yang dilakukan Mahmud Syaltut ini, dalam rangka terwujudnya sebuah universitas yang efisien, modern, sesuai tuntutan zaman, dan tugas-tugas dapat dilaksanakan dan tercapai sesuai dengan tujuannya. Untuk itu Mahmud Syaltut membentuk tiga lembaga direktorat pada tingkat universiter. Pertama, Direktorat Jenderal Universitas Al-Azhar, yang kemudian dijabat oleh Al-Ustaz Syaikh Muhammad Nurul Hasan. Kedua, Direktorat Jendral Urusan Kebudayaan Islam, yang kemudian dijabat oleh Al-Ustaz Dr. Muhammad al-Bahi. Ketiga, Direktorat Jenderal Urusan Lembaga-lembaga Agama, yang kemudian dijabat oleh AI-Ustaz Dr. Muhammad Abdullah Madi.[35]
Di luar universitas, Mahmud Syaltut sebagai seorang yang sangat peduli terhadap persatuan umat Islam. Selama 25 tahun terakhir dalam kehidupannya, ia bergelut dan terlibat dalam mempelopori Jama'ah Taqrib baina al-Mazahib (Organisasi untuk mendekatkan mazhab-mazhab), sebuah organisasi yang didirikan oleh sekelompok ulama sunni dan syi'i untuk menghilangkan fanatisme mazhab dalam bidang hukum Islam, tanpa menghapuskan mazhab-mazhab itu sendiri.[36] Pada tahun 1958, Mahmud Syaltut mengeluarkan fatwa yang ketika itu masih dinilai kontroversial di kalangan sunni. Dalam fatwa itu ia mengatakan bahwa beribadah menurut syi'ah sama dengan beribadah menurut sunni. Sejalan itu, la sebagai rektor Universitas Al-Azhar, memainkan peranan penting dalam memperkenalkan kajian hukum syi'ah ke dalam kurikulum universitas tersebut.[37]
1.4
Pemikiran
Pembaharuan
Salah satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri pada
abad XIX dan awal abad XX adalah keadaan umat Islam yang demikian terbelakang
dibandingkan dengan Eropa. Maka untuk membangkitkan umat Islam dari
keterbelakangannya itu para pemikir muslim secara sungguh-sungguh menyelidiki faktor-faktor
yang menyebabkannya dan mencari jalan pemecahan yang dapat membawa umat Islam
ke arah kemajuan.
Mahmud Syaltut yang telah menyaksikan lewat pengalamannya
secara langsung betapa mundur dan terbelakangnya umat Islam, mencoba
mengarahkan seluruh tenaga dan fikirannya ke arah paling tidak tiga seruan. Pertama, persatuan
umat Islam dengan berpegang teguh pada al-Qur'an serta menyampingkan perbedaan
mazhab yang ada. Bagi Mahmud Syaltut, persatuan merupakan hal yang sangat esensial dalam Islam. Karena misi
kedatangan Islam kemuka bumi untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia,
dengan mengilimasi dan mengatasi berbagai problem kemanusiaan yang mendasar,
seperti halnya fanatisme, egoisme, sukuisme, nasionalisme sempit dan
chauvinisme.[38]
Pengalaman sejarah masa lalu, menurut Mahmud Syaltut dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga, dimana bangsa muslim tertindas dan terjajah, sebagai akibat kurangmya persatuan dan cenderung kearah perpecahan.[39] Model pemikiran ini sebagai penerus pembaharuan Al-Afghani (1838-1897). AI-Afghani adalah pendiri gerakan Islam modern yang disebut sebagai perjuangan melawan imperialisme Barat dan penyatuan Dunia Islam.
Kedua, menyerukan kepada umat Islam agar menolak taqlid (unquestioning dan uncritical adopting), kepengikutan terhadap produk pemikiran para pendahulu tanpa kritik. Menurut Mahmud Syaltut, bahwa produk pemikiran masa lalu tidak boleh dipandang sebagai ajaran agama yang mesti dipatuhi (diterima begitu saja). Karena ijtihad, menurutnya, merupakan pengambilan pendapat dari proses pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang boleh jadi mengandung beberapa pengertian.[40] Sehingga segala produk pemikiran tidak boleh diterima begitu saja tanpa kritik.
Sikap apatis (tidak kritis) terhadap warisan masa lalu dan merasa cukup, kata Mahmud Syaltut, itu sangat bertentangan dengan fitrah alamiah yang senantiasa tumbuh dan berkembang,[41] bahkan dianggap sebagai kejahatan terhadap fitrah kemanusiaan. Mahmud Syaltut menyatakan: [42]
Singkat kata, bahwasanya jumud (hanya berhenti) pada pemikiran-pemikiran orang-orang terdahulu, kontribusi mereka di dalam ilmu dan pengetahuan, dan metodologi mereka di dalam pembahasan dan pengkajian, adalah merupakan kejahatan terhadap fitrah kemanusiaan.
Sebagai
konsekuensi logis dari sikap apatis (taklid, tidak kritis) terhadap warisan
masa lalu, akan menjadikan umat dalam kungkungan kebodohan dan watak pembebekan
(parotisme), yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan kehidupan
keagamaannya.[43]
Ketiga, mendorong umat Islam agar melakukan kerja intelektual (ijtihad) dengan menggunakan nalar bebas. Mahmud Syaltut menandaskan:
Disini kami dengan sangat menyesal menyebutkan pendapat yang kliru serta menyesatkan yang berpandangan tentang berhentinya ijtihad dan penutupan terhadapnya. Kami menekankan bahwa nikmat Allah terhadap orang Islam adalah pembukaan pintu ijtihad. [44]
Pengakuan hak
berijtihad tersebut baik secara individual maupun kolektif menurut Mahmud
Syaltut, telah membukakan pintu yang selebar-lebarnya bagi umat untuk berkreasi
dalam menentukan aturan-aturan maupun undang-undang untuk menata urusan-urusan
masyarakat muslim sesuai dengan perkembangan suasana dan penibahan zaman tanpa
terikat dengan syarat apapun, kecuali bertentangan dengan pokok-pokok ajaran
Islam, keadilan dan kemaslahatan.[45]
Ketiga seruan tersebut di atas merupakan misi utama dari para pembaharu muslim pada umumnya, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani dan sebagainya. Untuk bisa lebih mengetahui pemikiran pembahanian Mahmud Syaltut berikut diuraikan visi pemikirannya dalam tiga bidang, yaitu bidang tafsir, hukum Islam (fiqh), dan pendidikan.
1.4.1
Bidang Tafsir
Al-Qur'an
Karena merasa
memikul tugas besar memperbaharui pandangan dunia Islam yang dominan pada
zamannya, rencana pembaharuan keagamaan dan sosial Mahmud Syaltut menjadikan
reinterpretasi al-Qur'an untuk dunia modern sangat penting. Dia merasa bahwa
al-Qur'an harus memainkan peranan sentral dalam mengangkat masyarakat,
memperbaharui kondisi umat dan menyodorkan peradaban Islam Modern.[46] Bagi Mahmud Syaltut
kembali kepada nash al-Qur'an itu sangat perlu dengan melepaskan nas al-Qur'an
dari ulasan yang diulang-ulang, terkadang bertentangan dan bersifat sektarian.
Oleh karenanya Mahmud Syaltut berusaha membuat nash yang dapat dimengerti oleh
semakin banyak orang tanpa sekat-sekat mazhab dan aliran.[47]
Mahmud Syaltut percaya bahwa al-Qur'an diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk menuju kebahagiaan semua manusia di dunia ini dan akhirat[48]. Sementara ada berbagai upaya penafsiran nash dari ahli tafsir yang membahas tak dapat diikutinya al-Qur'an, kata-katanya yang asing, makna esoterisnya, tata bahasanya, ulasan-ulasan seperti itu oleh Mahmud Syaltut dilihat tidak begitu bermanfaat, karena tidak menyentuh kepentingan umat.[49]
Penolakan Mahmud Syaltut terhadap tafsir yang lazim pada zamannya, yang fokusnya adalah menafsirkan nash secara berbelit-belit dan didorong oleh fanatisme mazhab, menghantarkannya menciptakan tafsir fungsional atas al-Qur'an untuk membantu memahami aturan, doktrin, etika, dan prinsip-prinsipnya, sehingga menarik dan mendorong orang untuk beramal. Tafsir yang semacam itu melibatkan pemahaman yang tuntas atas makna nash untuk mendorong kaurn muslimin mengikuti ajaran Allah SWT.
Dalam usaha menafsirkan al-Qur'an, menurut Mahmud Syaltut harus menghindari dua segi yang merusak, yaitu: Pertama, menta'wilkan al-Qur'an menurut pendirian berbagai mazhab. Penafsiran ini menurut Mahmud Syaltut, telah menimbulkan berbagai ragam pendapat mengenai isi al-Qur'an. Bahkan perbuatan seperti ini menurutnya, merupakan pemberontakan terhadap al-Qur'an sendiri dan telah menimbulkan lapisan debu yang tebal sekeliling al-Qur'an, sehingga menutupi cahaya dan hidayah yang dikandung al-Qur'an.[50] Kedua, menafsirkan al-Qur'an atas dasar teori ilmiah modern. Menurut Mahmud Syaltut, bahwa penafsiran semacam ini merupakan suatu kesalahan yang cukup fatal, kerena Allah swt tidak menurunkan al-Qur'an kepada manusia dengan tujuan menyajikan teori-teori ilmiah, teknologi yang rumit-rumit dan ilmu pengetahuan yang bermacam-rnacam. Akan tetapi fungsi di turunkannya al-Qur'an adalah sebagai petunjuk hidup bagi manusia.[51]
Dalam usahanya melandingkan gagasan tentang perlunya tafsir fungsional, Mahmud Syaltut menciptakan satu bentuk metode tafsir yang dikenal dengan tafsir maudu'i (tematis).[52] Metode ini ia gunakan sebagai kerangka acuan untuk bisa menangkap secara langsung pesan-pesan al-Qur'an dan sekaligus diharapkan bisa memberikan solusi terhadap problem manusia pada zaman modern. Secara praktis metode tafsir tematis ini la gunakan dalam dua pola. Pertama, dengan mengumpulkan ayat-ayat tentang suatu masalah kemudian ditafsirkan untuk menjawab permasalahan tersebut. Metode ini dapat kita lihat dalam karyanya misalnya Al-Qur'an wa al-Mar'ah, Al-Qur'an wa al-Qital, dan lain-lain. Kedua, menafsirkan al-Qur'an secara holistis, yaitu mengkaji dan menafsirkan surat-surat al-Qur'an dengan melihat apa yang menjadi tema sentral dari surat tersebut. Metode ini dapat kita lihat dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Quran al-Karim al-ajza’al-asyrah al-Ula.
Ketika memberikan penilaian terhadap karya tafsir Mahmud Syaltut, JJG. Jansen mengatakan bahwa karya tafsir tersebut akan menjadi sumber penting bagi pengkaji pemikiran Islam kontemporer di masa depan, walupun la bukan contoh representatif dari tafsir al-Qur'an Modern.[53]
1.4.2
Bidang
Hukum Islam (Fiqh, Syari'ah)
Sebagai seorang pemikir yang berwawasan luas, Mahmud Syaltut selalu
berusaha memberantas kekakuan dan kejumudan berfikir. la berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup[54] dan juga aktif memberantas kefanatikan
mazhab yang sering membawa perpecahan di kalangan umat. Secara garis besar
pemikiran hukumnya berkenaan dengan persoalan-persoalan baru dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok.
a) Pendapat hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman dan dengan realitas baru yang dihadapi umat Islam, diantaranya pendapat-pendapat mengenai kesaksian, sebagai berikut:
1)
Kesaksian hokum non-muslim adalah syah dalam pengadilan
syari'at. Hal itu dikatakannya daiam karyanya, Al-Islam Aqi'dah wa Syari 'ah.[55] Pendapat ini sesuai
dengan iklim sosio-politik dewasa ini, yaitu banyak kaum muslimin yang hidup di
negara-negara yang semua warganya secara teoritis sama dan sederajat.
2)
Kesaksian kaum wanita dapat dipandang sama nilainya dengan
kesaksian kaum pria, bahkan dalam masalah-masalah keluarga kemungkinan besar
lebih bisa diandalkan. Berkenaan dengan posisi kaum wanita dalam keluarga, ia
tetap berpendapat bahwa otoritas mutlak ada di puncak suami dalam suatu
hubungan yang penuh kasih sayang dan saling membantu.[56] Akan tetapi sebagai
makluk spriritual, wanita mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan pria.
la
menolak pendapat sebagian ulama fikih klasik yang berdasarkan surah a1-Baqarah
(2):282 tentang transaksi kredit, mengatakan bahwa kesaksian hukum seorang
adalah setengah dari kesaksian pria secara umum, tanpa memandang subyek yang
berkaitan dengannya. Menurutnya, penafsiran demikian mengimplikasikan bahwa
wanita berakal lemah, karena itu dipandang interior. Menurutnya, ayat di atas
turun ketika kaum wanita tidak lazim berperan serta dalam berbagai transaksi.
Dalam sebuah lingkungan yang kaum wanitanya secara rutin terlibat dalam
transaksi-transaksi, kesaksian mereka mestilah dipandang sama nilainya dengan
kesaksian kaum pria. Bahkan dalam masalah-masalah keluarga, kesaksian kaum
wanita kemungkinan besar lebih bisa diandalkan dari pada kesaksian kaum pria,
karena mereka dalam hal ini diasumsikan mempunyai pengetahuan lebih unggul dari
pada pria.[57]
b)
Pendapat hukum yang moderat. Misalnya dalam perkara keluarga
berencana. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa pengaturan kelahiran dalam keadaan
tertentu diperbolehkan. Idealnya seorang ibu menyempurnakan persusuan anaknya
selama dua tahun. Dengan demikian, jarak usia antara anak dan anak lainnya
minimal dua tahun dan sang ibu memperoleh kekuatan kembali sebelum melahirkan
lagi. Orang-orang muslim yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah boleh
melakukan pengaturan kelahiran[58]
Pendapat hukum Mahmud Syaltut ini, diapresiasi oleh pemikir
modernis terkenal dari anak benua India, Faziur Rahman. Ketika Rahman memimpin
lembaga riset Islam, fatwa Syaikh Al-Azhar tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa Urdu dan dipublikasikan dalam Fikr-u-Nazhr pada tahun 1963.[59]
c)
Pendapat hukum yang ketat memperlihatkan kehati-hatian dan
secara ketat berpegang pada ajaran "tradisional" Islam. Misalnya
ketika menafsirkan ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan nikah antar agama.
la
menyatakan bahwa izin al-Qur'an untuk menikahi wanita-wanita AM kitab adalah
atas dasar asumsi bahwa kaum pria berkuasa dalam keluarga. Dalam keadaan
seperti itu, pernikahan antar agama menjadi sarana untuk menyiarkan Islam
secara damai. Akan tetapi, apabila pernikahan antar agama menjadi sarana untuk
tujuan sebaliknya, misalnya pernikahan yang mengakibatkan pria muslim menjadi
ter-pojokkan dan anak-anaknya dididik berdasarkan ajaran agama ibunya maka
pernikahan itu menjadi penghinaan terhadap izin al-Qur'an tersebut. Dalam
fatwa-fatwanya Mahmud Syaltut mengatakan bahwa kalau pernikahan antar agama
seperti itu banyak terjadi, pemerintah harus menghapuskan pernikahan ini dari
undang-undang.[60]
Dalam masalah lain, ia juga mempunyai pendapat hukum-hukum
yang tradisional, dalam pengertian tidak sejalan dengan pemikiran hukum
sebagian ulama pembaharu. Misalnya, la menolak gagasan untuk menghalangi
praktik poligami. Menurutya, al-Qur'an jelas-jelas secara eksplisit membolehkan
poligami. Oleh karena itu, ulama pembaharu yang membuat penafsiran, bahwa
peringatan kepada kaum pria untuk membatasi diri pada satu istri jika mereka
khawatir tidak bisa berlaku adil kepada istri-istri mereka (QS. An-Nisa' (4):
3) menjadi sebuah larangan efektif atas poligami akibat kemustahilan berlaku
adil secara mutlak (QS. An-Nisa' (4): 129), telah mengubah makna susunan
al-Qur'an.[61] Sikap dan pendapat
hukumnya tentang praktek poligami ini bertentangan dengan sikap dan pendapat
banyak kaum pembaharu di zaman modern, seperti Sayid Ameer A1i dari India,
serta Qasim Amin dan Muhammad Abduh dari Mesir.
1.4.3
Bidang
Pendidikan
Salah satu isu
paling penting yang menjadi perhatian Mahmud Syaltut sepanjang hayat dan
kariernya adalah pembaruan pendidikan. Baginya pendidikan itu penting sekali,
sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari.[62] Yang juga jadi
perhatiannya adalah mencari alternatif untuk keluar dari dilema pendidikan yang
terjadi di Mesir. Karena dalam realitas-faktual sebagai akibat modernisme, di
Mesir dalam bidang pendidikan, melahirkan dua sistem yang sangat berbeda atau
bahkan bertentangan. Pertama, sistem pendidikan tradisioal yang dipengaruhi
oleh al-Azhar dan a1-Kutab, yaitu sistem pendidikan yang murni merealisir agama
dan menolak sepenuhnya keberadaan sains dan perubahan. Kedua, sistem pendidikan
sekuler yang sepenuhnya menerima pengaruh nilai Barat tanpa seleksi.[63]
Kedua sistem ini pada gilirannya melahirkan sosok muslim yang sangat berbeda. Kelompak pertama, yang mayoritas terdiri dari generasi "tua", menganggap bahwa hanya fikih yang diformulasikan oleh ulama klasik satu-satunya ajaran yang benar. Sebaliknya nilai-nilai baru yang lahir dari ilmu pengetahuan dan semacamnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas diterima. Sementara golongan kedua yang kebanyakan dianut oleh generasi "muda", mengambil ide-ide Barat secara mentah-mentah tanpa melihat dan berupaya menyeleksi dari sudut pandang agama.[64]
Kenyataan inilah yang menjadikan Mahmud Syaltut sangat prihatin dan mencoba merumuskan satu format pendidikan yang padu (integral) antara agama dan ilmu pengetahuan tidak saling menafikan. Menurutnya, bahwa ilmu pengetahuan dalam pandangan al-Qur'an tidak terbatas pada masalah-masalah syari'ah dan hukum tentang masalah halal-haram, akan tetapi mencakup semua dimensi yang ada di alam semesta ini.[65] Dengan demikian dalam Islam tidak ada dikhotomi antara agama dan pengetahuan modern, tetapi keduanya wajib dipelajari dan diketahui, dimana agama akan membimbing rohani, sementara yang agamis akan memberikan inspirasi dan bimbingan pada akal untuk mencapai pengetahuan yang benar.[66]
1.4.4
Karya-karya
Ilmiah
Mahmud Syaltut dapat dikatakan
merupakan sosok intelektual yang produktif dalam menghasilkan karya-karya
pemikiran. Hal ini terbukti dengan banyaknya kitab-kitab karangannya.
Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
1)
Al-Islam
Aqidah wa Syari'ah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966).
2)
Al-Fatawa,
(Kairo: Dar al-Qalam, 1966)
3)
Tafsir
al-Qur an al-Karim:
Al-Ajza al-Asyrahal-Ula, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966)
4)
Min
Huda al-Qur'an, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi li
al-Matba'ah wa an-Nasr,tt) .
5)
Al-Qur'an
wa al-Qital dan Al-Qur'an
wa al-Mar'ah
6)
Kitab al-Muqaranah al-Mazahib
7)
Al-Mas’uliyyahal-Madaniyyah
wa al Jinaiyyah fi asy-Syari'ahal-Islamiyyah
8)
Tanzim
an-Nasl
9)
Tanzim
al-Alaqah ad-Dualiyyah fi al-Isdam
10) Fiqh al-Qur'an wa as-Sunnah
[1] Karel
A. Steenbrik, Metodologi Penelitian Agama
Islam di Indonesia Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah melalui: Sya’ir
Agama dalam Bahasa Melayu dari Abad 19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo,
1985), hlm. 4.
[2] Thomas
Michel SJ, "Studi Mengenai Ibnu Taimiyyah_Sebuah Model Penelitian atas
Tauhid Klasik", dalam Mulyanto Sumardi (ed), Penetitian Agama Masalah Dan Pemikiran,_(Jakarta: Sinar Harapan,
1982), hlm. 99.
[3] Latar
Belakang ini diungkapkan maksudnya adalah menjelaskan keadaan khusus zaman yang
dialami seorang tokoh. Anton Bekker & Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta _ Kanisius, 1990), hlm.
64.
[4] Hasan
Hanafi menjelaskan, bahwa Mesir menjadi pusat dunia Islam dan Dunia Arab.
Kemudian Hanafi menggambarkan, bahwa Mesir merupakan wilayah yang setiap bentuk
dan corak pemikiran selalu landing di sana. Di zaman Rasul misalnya, orang
Mesir disebut sebagai pahlawan yang setiap waktu siap berperang melawan musuh.
Di zaman Fatimiyah dan Ayyubiyah, zaman Islam betul-betul sebagai pemegang
kekuasaan, kegiatannya pun bermarkas di Mesir. Kemudian muncul sebagai wilayah
mamluk kerajaan Turki (Ottoman Empire), ternyata Mesir
menjadi mamluk yang tangguh. Lebih dari pada itu, Napoleon bahkan
memproklamirkan dirinya sebagai muslim, berpaikan seperti pakaian muslim dan
masuk Al-Azhar hanya karena menyadari betapa penting posisi Mesir waktu itu,
dan masih banyak lagi sederetan prestasi lain yang membuat kota ini menjadi
tersohor dan terkenal. Sejalan dengan itu, ada juga tokoh-tokoh pemikir Islam
yaitu; Asy-Syafi’i, Ibnu Farid, AsSuyuti, AI-Afghani; Abduh, Ridha, Muhammad
Farid, Sa'ad Zaglul, Qosim Amin dan yang lainnya. Hasan Hanati, "The
Revelence of the Islamic Alternatif in Egypt “Arab Study Quarterly”, 4 : 1&2 (1982),
hlm. SS-S7. Lihat pula, Muin Umar "Muhammad `Abduh dan Pemikiran
Pembaharuan" (pengantar), da(am Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah studi alas
Pemikiran Muhammad Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 199b), hlm.
IX.
[5] George
Lenczwski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, alih bahasa Asgar Bixby,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1992), hlm. 298.
[6] Kebangkitan
nasionalisme nampak dalam pverannnya baik dalam usaha membebaskan diri dari
Kesultanan Usmani maupun dari belenggu penjajahan lnggris. Ada tiga
nasionalisme yang muncul dalam rentang waktu antara tahun 1860-1914. Pertama, Religious
Nasionalisme, nasionalisme yang didasarkan pada persamaan agama Kedua, ethnic/linguistic, nasionalisme
yang didasarkan pada persamaan bangsa dan bahasa. Ketiga, Teritorial Patriotism, nasionalisme
yang didasarkan pada persamaan tempat. Albert Hourranni, Arabic Thought in the Libral Age
1798-1939, (Oxford : Oxford University Press, 1962), hlm. 193-200.
Lihat pula Syahrin Harahap, Al-Qur'an dan Sekulerisme: kajian krtitis terhadap Pemikiran
Thaha Husain, (Yogakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 21-22
[7] Dalam
dua dekade terakhir abad ke-19 Inggris menjadi penguasa seluruh lembah nil.
Kepentingannya di Mesir diwakili oleh seorang negarawan ulung, Lord Cromer. la menata mesir dengan administrasi
fiskal yang baik, memperbaiki irigasi, dan membantu Mesir untuk memiliki
kedudukan komersial terkemuka diantara negara-negara Timur Tengah.
[8] Pada
tahun 1935-1919 timbul huru hara anti Inggris menyusul agitasi para nasionalis
di Mesir. Kelompok nasionalis yang dipimpin oleh orator militan, Zaad Zaghlul
Pasha, keturunan Fellah dan pernah menjadi menteri pendidikan di bawah
pemerintahan Cromor. Pada bulan November 1918, dua hari setelah diberlakukannya
gencatan senjata. Saat Zaghlul ditemani Ali Syaarawi Pasha dan Abdul Aziz Fahmi
Bey, menghadap komisaris tinggi Inggris, Sir Reginal Wingate, guna menuntut
kemerdekaan penuh Mesir. Pada awal 1919 Saad Zaghlul mendirikan partai baru,
Wafd, yang segera menjadi sarana utama bagi nasionalisme Mesir. George
Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, hlm. 249.
[10] Halah
Mustafa, "Sikap Terhadap Modernisasi dan Kebudayaan Barat: Antara
Pemikiran Reformis dan Pandangan Kelompk Islam Modern"dalam Syamsul Anwar
(Ed), Islam,
Negara dan Hukum, (Jakarta : IN1S,
1993), hlm. 39.
[11] Nabil
Abdul Fattah, "Teks dan Peluru: Probematika Hukum Islam dan Hukum Politik
Mesir Tahun Tujuh Puluhan dan Delepan Puluhan, dalam Syamsul Anwar (Ed), Islam,
Negara dan Hukum, hlm. 6.
[12] The
Free Officers adalah kelompok rahasia yang dibentuk tahun 1947, yang terdiri
atas sebelas perwira muda. Pemimpinya mayor jenderal Muhammad Najib, menjadi
kepala staf angkatan bersenjata, sedangkan Ali Maher menjadi perdana menteri.
George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kencah Dunia, hlm. 315.
[13] Henry
Munson Jr, Islam and Revulition in Middle East, (New Heaven & London:
Yale University Press, 1988), hlm. 77.
[14] Fadwa
El-gundi, "The emerging Islamic Order: The Case of Egypt's Contemporary
Islamic Movment" dalam Harun Nasution & Azyumardi Azra (Ed.), Perkembangan
Modern Dalam Islami, (Jakarta Obor Indonesia, I985), hlm- 248.
[15] The Oxford Encyclopedia of Modern
Islamic World, diedit
oleh John L. Esposito, (New York & Oxford : Oxford University Press, 1995)
IV: 43, artikel "Mahmud Syaltut" oleh Amira el-Azhary sonbol.
[16] John
Obert Volt, Politik Islami Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, alih bahasa Ajad Suderajat, (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1997), hlm. 231.
[18] Khoiruddin
Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi
atas pemikiran Muhamad, Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
h1m. 4.
[19] Di
bidang pendidikan, usaha modernisasi dilanjutkan dengan pengiriman 339 orang
pelajar dan mahasiswa Mesir untuk studi di sekolah dan Universitas di Barat.
Perkenalan pada kebudayaan Eropa kemudian dilanjutkan dengan usaha
penterjemahan karya-kary-a Barat ke dalam bahsa Arab, Usaha ini
dilaksanakan oleh Rif’at Rafi’ al-Tahawi dan murid-muridnya. P.J. Vatikiotis, The History of Modern Egypt .from Muhammadl Ali To Mubarak,
(Baltiomore: The John's Hopkins university Press, 1991), hlm. 50.
[23] Ensiklopedi Hukum Islam, diedit olah Hafizh Dasuki dkk,
(Jakarta: Ichtiar Sanr Van Hoeve, 1997), IV: 1691, artikel "Mahmud
syaltut".
[25] Ensiklopedi Islam di Indonesia, Tim Penutis IAIN Syarif Hidayatulah
(Jakarta: Jambatan, 1992), 591, artrikel" Mahmud Syaltut'.
[26] Abdurrahman
Bayumi, "Riwayat Hidup Syaikh AFiahmud Syahut"., dalam Mahmud
Syaltut, F'atwa ;fatwa, alih bahasa Bustami A. Ghani & zaini Dahlan,
(Jakarta: Bulan-Bintang, 1977), hlm. 18-20.
[27] Gelar
Doktor Honoris Causa juga diberikan oleh Universitas Cilli. Abdurrahman Bayuni,
'Riwayat hidup Syaikh Mahmud Syaltut", hlm. 24.
[30]
Jabatan
pertamanya dalam kedudukannya sebagai rektor berakhir hanya satu tahun, tetapi
kemudian ia menjabat lagi dari tahun 1935-1945 dengan dukungan qodi Agung di
Sudan, dimana ia aktif memodernisasi struktur hukum Islam. John Obert Voll, Politik Islam kelangsungan dan perubahan, hlm, 231.
[32]
Ibid
[33]
Ibid
[34] Ibid
[35] Abdurrahman Bayumi, "Riwayat
Hidup Syaikh Mahmud Syaltut", hlm. 22.
[38]
Mahmud Syaltut, Min Taujihat al-Islam, (Kairo: Dar
al-Qalam, 1966), hlm. 542.
[40]
Mahmud
Syaitut, AI-f.slcrm Aqidah w,a Sjarvi cih,
(Kairo
_ Dar al-Qalam, 1966), hlm- 10. al Mahmud Syaltut, Min Taniihit at-IsZimi, hlm. 142
[41] Mahmud Syaltut,
Min Taujihat al-Islam, hlm. 142
[44] Mahmud Syaltut, Tafsir al-Quran al-Karim : Al-Ajza’ al-Asyah
al-ula, (Kairo : Dar al-Qalam, 1999), hlm 208
[45]
Mahmud Syaltut, AI-Islam Aqidah
wa Syariah, hlm. 559
[46]
Mahmud Syaltut, Min Huda al-Qur'an, (Kairo: Dar al-Fikr
al-Arabi li al-Mathba'ah wa an-nasr, tt), hlm. 324.
[47]
Abd. Al-Mun'im Khafaji, Al-Azhar fi Alf Am, (Kairo: Al-Maktabat
al-Kitabiyyat al-Azhariyyah, tt), I: 340-341.
[48]
Mahmud Syaltut, Al Qur'an Membangun
Masyarakat, alih bahasa K.H. Dja'far
Soedjarwo, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1996), hlm. 12.
[52]
Mahmud
Syaltut, Min huda al-Qur’an .322-323.
[55]
Ensiklopedi
Hukum Islam diedit oleh Hafihz Dasuki dkk, IV; 1690.
[59]
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Medernitas : Studi Atas
Pemikiran Hukum Fazhar Rahma, (Bandung : Mizan
4996) hlm. 91-92.
[60]
Mahmud
Syaltut, Al-Fatawa, (Kairo: Dar
al-Qalam, 1966) hlm. 253. Lih. Quraisy Shihab, Wawasan
a1-Our an: Tafsir Mandu 'i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,
1996), hlm. 198-199 & 370-371.
[62]
Mahmud Syaltut, Min taujihat al-Islam, hlm 146-148
[63]
Khoiruddin
Nasution, Riba dan Poligami, hlm. 5-6
[64]
Ibid
[65]
Mahmud Syaltut,
Min Taujihatt al-Islam, hlm. 148
[66]
Ibid, hlm. 125-129.
No comments:
Post a Comment