Ustadz Agus Miswanto, MA
Disampaikan dalam forum
pengajian Ahad Pagi PCM Kajoran, pada 27 Oktober 2019 di Masjid al-Jihad SMP
Muhammadiyah Sambak, Kajoran.
QS
al-A’raf [7]: 26-28
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا
عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ ﴿٢٦﴾
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم
مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا
تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ
أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ ﴿٢٧﴾ وَإِذَا
فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا
بِهَا ۗ قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ
بِالْفَحْشَاءِ ۖ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا
تَعْلَمُونَ ﴿٢٨﴾
PENGERTIAN
Istilah pakaian
di dalam Alqur’an disebut dalam berbagai ungkapan. Dianataranya adalah libas,
tsiyab, sarabil, jilbab, dan zinah.
a)
Al-Libas.
Al-Libas pada awalnya bermakna penutup apa pun yang
ditutup. Dan fungsi pakaian sangat jelas yaitu untuk menutup tubuh, atau bagian
tertentu dari tubuh manusia. Sehingga cincin yang kecil yang menutup sebagian
jari manusia pun disebut sebagai al-libas. Al-Qur’an menjelaskan sebagai
berikut: kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai. (QS.
An-Nahl [16]: 14)
Menurut Qusaih Syihab, bahwa kata al-Libas digunakan oleh
Alqur’an untuk menunjukan pakaian lahir dan batin. Yaitu tidak sekedar pakaian
fisik yang nampak dari luar, tetapi juga pakaian moral dan juga spritual. Dalam
hal ini, Nabi SAW pernah menyatakan pakaian spiritual itu, yaitu: al-iman
uryan wa libasuhu at-taqwa (Iman itu telanjang, dan pakain iman itu adalah
ketakwaan).
Dalam (QS
al-A’raf [7]: 22, 26, 27 terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri
manusia adalah tertutupnya aurat, namun karena godaan syaitan, aurat manusia
menjadi terbuka. Dengan demikian aurat yang ditutup dengan pakaian akan
dikembalikan pada ide dasarnya. Maka wajarlah jika pakaian dinamai dengan
tsaub/tsiyab yang berarti sesuatu yang mengembalikan aurat kepada ide dasarnya,
yaitu tertutup. Kata staub/tsiyab untuk menunjuk pengertian pakaian yang
bersifat fisik-matrial, yaitu pakaian lahir.
b)
Sarabil
Menurut Quraish
Syihab, bahwa banyak kamus Arab yang menjelaskan kata sarabil bermakna
pakaian apapun jenisnya. Dalam QS al-Nahl: 81 dijelaskan bahwa pakaian
berfungsi menagkal sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan.
Sementara QS Ibrahim: 50 menjelaskan tentang siksa yang akan dialami oleh
orang-orang berdosa kelak di hari kemudian, yaitu pakaian mereka dari pelangkin
(ter). Artinya ada pakaian yang menjadi alat penyiksa bagi orang-orang berdosa.
c)
Zinah
Secara bahasa, al-zinah
artinya perhiasan dan keindahan. Al-zinah digunakan oleh Alqur’an untuk merujuk
pada pengertian pakaian yang indah dan bagus. Karena pada prinsipnya, manusia
memakai segala sesuatu di tubuhnya dalam rangka untuk mendapatkan nilai
estetika (keindahan). Manusia senantiasa menciptakan segala sesuatu yang
menarik dan unik untuk dipakai sehingga tubuhnya terlihat indah dan lebih
menarik dipandang oleh orang lain QS Al-A’raf[7]:31) dan (QS
al-A’raf[7]: 32)
d)
Jilbab
Al-Qur’an menyebut kata jilbab untuk menunjuk pada
pengertian pakaian khusus yang dipakai oleh kaum perempuan, yaitu pakaian
panjang yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sementara
menurut penjelaskan tafsir yang dikeluakan oleh Departemen Agama, al-Qur’an
dan terjemahnya, bahwa yang dimaksud dengan Jilbab ialah sejenis baju
kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada. (QS al-Ahzab
[33]: 59)
Dilihat dari istilah dan maknanya yang dikandung di
dalam Al-Qur’an di atas, pakaian
di dalam Islam tidak sekedar segala sesuatu yang dipakai bersifat fisik.
Tetapi, segala sesuatu yang dipakai manusia yang bersifat spiritual dan moral. Oleh
karena itu, pakaian dalam perspektif Islam maknanya sangat dalam, tidak sekedar
dimensi fisik tetapi menyangkut sisi dalam manusia. Berpakaian di dalam Islam
tidak sekedar mewujudkan penampilan yang indah dipandang mata, tetapi juga bagi
yang memakainya menumbuhkan kesadaran moral dan spiritual. Demikian juga bagi
orang yang melihat, akan menubuhkan penghargaan dan kesadaran moral yang baik.
Dan tidak sebaliknya, yaitu menumbuhkan syahwat, kejahatan, dan prilaku
brutal.
FUNGSI DAN TUJUAN
PAKAIAN :PENUTUP AURAT (AL-SAUAT)
Menutup aurat bagi manusia merupakan
merupakan suatu fitrah dasar, yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hal ini diisyaratkan oleh Allah ketika
menceritakan Nabi Adam dan Hawa, dimana kedua insan ini ketika terusir dari
surga dalam keadaan telanjang, mereka berdua berusaha keras untuk merangkai
dedaunan dan merajutnya untuk menjadi pakaian, yang dapat menutupi aurat mereka
Q.S. Al A’raf: 26).
Sauat dalam ayat di
atas terambil dari kata sa-a, yasu’u yang berarti buruk, tidak menyenangkan.
Kata al-sauat maknanya sama dengan al-‘aurat, yang terambil dari
kata ‘ar yang bermakna onar, aib, dan tercela. Keburukan tidak selamanya dalam
arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi dapat juga karena adanya faktor
lain yang mengakibatkanya buruk. Demikian halnya dengan aurat (sauat),
tidak ada sesuatu yang buruk dengan bagian tubuh itu, tetapi keterlihatan
itulah yang menyebabkan buruk. Karena Islam menghendaki aurat itu tetap
tertutup dan tidak diperlihatkan kepada orang lain. Quraish Syihab menjelaskan
bahwa ide dasar aurat adalah terturup (tidak terlihat) walau oleh yang
bersangkutan. Sementara dalam terminologi syari’ah, aurat adalah bagian tubuh
yang diharamkan Allah untuk diperlihatkan kepada orang lain. Yang dimaksud
orang lain bagi seorang wanita adalah selain suami dan mahramnya.
KRITERIA DAN ADAB
BERPAKAIAN
Produk
pakain muslimah (jilbab) itu bermacam-macam, dan Islam tidak menentukan secara spesifik. Walaupun demikian Islam memberikan kriteria bagi busana muslimah yang
sebaiknya mereka kenakan. Prof. Dr. Yunahar Ilyas, MA dalam bukunya Tafsir
Tematis Cakrawala Al-Qur’an, memberikan penjelasan berkenaan dengan kriteria
bagi pakaian Muslimah. Menurut beliau bahwa prinsip-prinsip busana bagi wanita
muslimah adalah tidak jarang dan ketat, tidak meyerupai laki-laki, tidak
menyerupai non-Muslim, serta pantas dan sederhan, bukan pakaian kesombongan.
Untuk batas aurat laki-laki, Imam malik, Syafi’i dan Abu
Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib menutup seluruh badanya dari pusar
hingga lulutnya. Meskipun ada yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari
anggota tubuh laki-laki hanya yang terdapat antara pusar dan lutut, yaitu alat
kelamin dan pantat. Sedangkan batas aurat wanita, ada perbedaan pendapat para ulama
sebagai berikut:.
1.
Ulama Muataqaddimin (klasik)
batasan bagian tubuh yang harus ditutup dan
bagian yang terbuka. Golongan Pertama, seluruh anggota badan
adalah wajib tertutup kecuali karena faktor darurat (dalam keadaan terpaksa)
seperti terkena angin sehingga bagian tubuh tersingkap dengan tanpa sengaja.
Pendapat ini didasarkan pada pemahaman dari QS An-Nur[24]: 31). Ungkapan
kata illa ma zhahara minha yang bermakna kecuali yang nampak,
dimaksudkan sebagai penampakan yang tanpa disengaja. Yaitu pada prinsipnya
anggota tubuh itu tertutup, tetapi karena ada faktor dan lain hal, maka bagian
tubuh itu nampak kelihatan. Tetapi bukan karena faktor kesengajaan. Sehingga,
mereka berkesimpulan bahwa, pada prinspinya bahwa seluruh tubuh adalah
tertutup, tidak boleh diperlihatkan kecuali dalam keadaan terpaksa dan tanpa
kesengajaan. Mengomentari pendapat tersebut, Syaikh
Mutawalli berpendapat bahwa agama tidak mewajibkan seorang perempuan muslimah
untuk mempergunakan penutup wajah, demikian juga Islam tidak melarangnya
seandainya ada yang hendak mempergunakannya. Oleh karena itu bagi orang-orang yang tidak setuju
dengan mereka yang mempergunakannya, maka tidak pantas untuk menolaknya.
Golongan Kedua, tidak semua anggota tubuh
tertutup, tetapi ada bagian tubuh yang memang boleh dibiarkan terbuka. Pendapat
ini berangkat dari pemahaman “kecuali apa yang tampak” dimaknai sebagai hal
yang biasa atau dibutuhkan keterbukaanya sehingga harus tampak. Kebutuhan disni
dimaksudkan akan menimbulkan kesulitan kalau harus tertutup. Pendapat ini
dipegangi oleh mayoritas ulama ahli fiqh. Misalnya Al-Qurtubi dengan mengutip
pendapat dari Said bin Zubair, Atho’ dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang
boleh dilihat dari wanita adalah wajah, kedua telapak tanganya, dan busana yang
dipakainya. Sedangkan Ibn Abbas dan Qatadah berpendapat bahwa setengah tangan
perempuan, gelang, cincin, anting, celak, dan yang semacamnya boleh untuk
dilihat. Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa kedua kaki wanita bukan
termasuk aurat. Dan Abu Yusuf juga berpendapat bahwa kedua tangan perempuan
juga bukan aurat.
2.
Ulama Muta’akhirin (Kontemporer)
Quraish Shihab dengan mengutip pendapat dari
Muhammad Thahir bin Asyur, menyatakan bahwa jilbab adalah bagian dari tradisi
Arab. Dan tradisi bukanlah kewajiban agama yang harus diikuti. Lebih jauh
Quraish Shihab menjelaskan bahwa tidak semua perintah yang ada di dalam
Al-qur’an dan as-Sunnah itu berarti suatu kewajiban, tetapi ada perintah dalam
arti “sebaiknya”, bukan “seharusnya”. Perintah yang bermakna seharusnya,
berarti bahwa perintah itu merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat
ditinggalkan, sehingga meninggalkan perintah tersebut dianggap sebagi dosa.
Sedangkan perintah yang bermakna sebaiknya, berarti bahwa perbuatan yang
dituntut dalam perintah tersebut adalah anjuran yang sangat ditekankan untuk
dilakukan, tetapi bukan suatu kewajiban yang kalau ditinggalkan berakibat dosa.
Perintah berkaitan dengan jilbab, menurut Quraish, masuk dalam kategori
“sebaiknya”.
Dari apa yang dipaparkan oleh Quraish shihab,
dapat dipahami bahwa menutup aurat adalah sesuatu yang menjadi inti pokok dari
agama. Tetapi bagaimana menutupnya itu diserahkan kepada manusia untuk
menentukan sesuai dengan kemaslahatan, tradisi lokal, dan kebudayaan
masing-masing. Sehingga, pakaian boleh berbeda, modepun bermacam-macam, tetapi
intinya adalah menutup aurat.
No comments:
Post a Comment