Oleh:
Agus Miswanto, MA
[Aktivis Dakwah, Peminat Kajian Ilmu Hisab dan Keislaman]
Penanggalan atau tarikh yang membudaya di masyarakat Indonesia secara praktis digunakan untuk menentukan peristiwa-peristiwa penting.[1] Setidaknya ada empat macam penanggalan yang berlaku di Indonesia, yaitu penanggalan Masehi, penanggalan Hijriyah, pananggalan Jawa Islam,[2] dan penanggalan Cina yang dikenal dengan penanggalan Tong Shu (Shio).
A. Penanggalan Masehi
Penanggalan
masehi di mulai sejak kelahiran Isa Almasih.[3]
Hal ini didasarkan pada peredaran matahari semu, yang dimulai pada saat
matahari berada di titik Aries hingga kembali lagi ke titik semula.[4]
Jika dikaitkan dengan penanggalan resmi, tahun itu ada pada tanggal 1 Januari 1
M yang kemudian digunakan mulai tahun 527 M. Hitungan hari dalam setahun 365
untuk tahun pendek (basitoh) dan 366 untuk tahun panjang (kabisat).
Jumlah bulan adalah 12 yaitu: Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli,
Agustus, September, Oktober, November, Desember. Bulan ke 1,3,5,7,8,10, dan 12
berumur 31 hari dan lainya berumur 30 hari kecuali bulan Februari berumur 28
untuk tahun basitoh dan 29 hari untuk tahun kabisat. Ketentuan tahun kabisah
adalah tahun yang habis dibagi 4 tetapi setelah tahun 1582 ada sedikit
perubahan dan pada tahun ini tepatnya pada tanggal 56 Oktober 1582 penambahan
hari yang dilakukan oleh Paus Gregorius XIII yaitu tanggal 5 Oktober (menurut
perhitungan J. Caesar) dijadikan tanggal 15 Oktober, jadi ada penambahan 10
hari dan untuk penentuan tahun panjang/kabisat dibuat ketentuan tahun-tahun
yang habis dibagi 400 atau dapat dibagi 4. Ketentuan itu dapat dilakukan dengan syarat tidak
habis dibagi 100 adalah tahun kabisat karena peredaran matahari yang sebenarnya
membutuhkan waktu 365, 2422 hari (365 hari
5 jam 48 menit dan 46 detik).[5]
B.
Penanggalan
Cina (Tiongkok)
Bagi bangsa
Cina,
pembuatan almanak telah dikenal sejak 5000 tahun yang lalu (Tiongkok purba). Penanggalan ini dikenal dengan sebutan
kalender bulan,
yin li atau kalender petani (nong liek) karena diperuntukan bagi
upaya untuk mengetahui perubahan musim yang terjadi terhadap siklus di bumi.
Praktek ini bertujuan agar manusia bisa mengetahui gejala alam yang sedang dan
akan terjadi. Perhitungan tersebut didasarkan pada perhitungan ilmu feng
shui, yakni dimensi waktu yang didasarkan pada konsep ilmu astronomi tiongkok
purba dan mengacu pada pengaruh
peredaran matahari dan bulan terhadap bumi.[6] Dan dalam sejarah Cina, faham yang mempelajari perhitungan
waktu-waktu serta bulan-bulan yang bertujuan agar selaras dengan tenaga-tenaga
alam dinamakan madzhab Yin-Yang. Mazhab
Yin-Yang menghubungkan keempat musim dari keempat mata angin yaitu musim
panas dihubungkan dengan selatan, musim dingin dengan utara, musim semi dengan timur, musim gugur
dengan barat. Paham ini yang juga memandang perubahan siang dan malam
mencerminkan perubahan keempat musim dalam satu tahun dalam skala kecil yaitu pagi mencerminkan musim semi, siang mencerminkan musim panas, malam
mencerminkan musim gugur, larut malam mencerminkan musim dingin.[7] Tahun dilambangkan dengan nama-nama binatang (Shio)
yang jumlahnya 12 nama binatang, yaitu: Tikus, Kerbau, Macan, Kelinci, Naga,
Ular, Kuda, Kambing, Kera, Ayam, Anjing, Babi.[8]
C. Penanggalan Jawa Islam
Penanggalan
jawa Islam adalah
penggabungan antara system
penanggalan Hindu (saka)[9]
dan Hijrah
yang diberlakukan pada tahun 1633 M yang bertepatan tahun 1043 H atau 1555 Saka,[10]oleh
Sri Sultan Agung Hanyokrokusumo dari
kerajaan
Mataram Islam.[11] Secara teknis, nama hari dari kalender
Sultan Agung berasal diadopsi dari
bahasa arab yakni: Ahad, Isnain, Tsalasa,
Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabtu. Nama-nama itu dipakai sejak pergantian
kalender saka (jawa
asli) menjadi
kalender jawa Sultan Agung, ilmiahnya
dikenal dengan Anno Javanico, yang
dimulai pada tanggal 1 suro tahun Alip 1555 [1 Muharram 1042H/8 Juli 1633M].[12]
Sistem penanggalan ini mengambil prinsip
dari tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi.[13]
Dalam satu tahun terdapat 12 bulan,
yaitu Suro, Sapar, Mulud, Bakdomulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah,
Poso, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Bulan-bulan ganjil berumur 30 hari,
sedangkan bulan-bulan genap berumur 29 hari, kecuali bulan ke 12 (Besar)
berumur 30 pada tahun panjang. Satu tahun berumur 354.375 hari (354 3/8 hari),
sehingga daur (siklus) penanggalan Jawa Islam ini selama 8 tahun (1 windu) dengan ketetapan bahwa urutan
tahun ke 2,5, dan 8 merupakan tahun panjang (Wuntu: 355 hari) sedangkan lainya
merupakan tahun pendek (Wastu: 354 hari).[14]
Dan nama-nama tahun dalam setiap windu (8
tahun), adalah sebagai berikut: (1) Tahun
Alip, (2)Tahun
Ehe, (3) Tahun
Jimawal, (4) Tahun
Je, (5) Tahun
Dal, (6) Tahun
Be, (7) Tahun
Wawu, dan (8) Tahun
Jimakir. Dan kesatuan
waktu dalam windu ini masih dirinci lagi dalam kesatuan yang lebih besar, yakni
kesatuan fase dalam setiap 4
windu,
yaitu: windu Adi, windu Kunthara, windu Sancaya, dan windu Sengara. Dan setiap kesatuan fase empat winduan dikenal dengan tumbuk. Sehingga
tumbuk 1 sama dengan 4 windu atau 32 tahun, tumbuk 2 sama dengan 8 windu atau 64
tahun, dan seterusnya. [15]
D. Penanggalan Hijriyah
Secara
prinsip, penanggalan ini merupakan tahun atau kalender yang perhitunganya
dimulai sejak Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah.[16]
Perhitungan sistem ini didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi.[17]
Satu tahun terdapat 12 bulan yaitu Muharram, Shofar, Robi’ul Awwal,
Robi’ustsani, Jumadil Ula, Jumadil Akhiroh,
Rojab, Sya’ban, Romadhon, Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Jumlah hari
dalam 1 tahun di tetapkan 354 11/30 hari. Oleh karena itu diadakan daur waktu yang berumur 30 tahun dan di dalamnya terjadi tahun kabisah sebanyak
11 kali yaitu pada tahun ke 2,5,7,10,1315,18,21,24,26, dan 29. Tahun yang
angkanya setelah dibagi 30 bersisa tepat dengan angka-angka tersebut di atas
adalah tahun kabisat yang berumur 355 hari, dan yang tidak tepat adalah tahun
basitoh berumur 354 hari. Umur bulannya adalah 30 hari untuk bulan ganji dan 29
hari untuk bulan genap kecuali bulan Dzulhijjah kalau kabisat berumur 30 hari.[18]
[1] Badan Hisab
& Rukyat DEPAG, op. cit., hlm. 40
[2] Muhyiddin
Khazin, op. cit., hlm. 105
[3] Departeman
Pendidikan Nasional, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, hlm. 1122
[4] Badan Hisab
& Rukyat DEPAG, op. cit., hlm. 40
[5] Ilya Asyhari
Nawawi, op. cit., hlm. 20
[6] Mas Dian, MRE, Tong
Shu Almanak Tahun 2002, (Semarang: PT Elexmedia, hlm. 1
[8] Ibid, hlm.
54
[9]Sistem
penanggalan Hindu, yang dikenal dengan penanggalan Soko, yakni sistem
penanggalan yang didasarkan pada peredaran matahari mengelilingi bumi.
Permulaan tahun Soko ini ialah hari Sabtu (1 Maret 78 M), yaitu satu
tahun setelah penobatan Prabu Syaliwahono (Aji Soko) sebagai raja India. Oleh
sebab itulah penanggalan ini dikenal dengan penanggalan Soko.C. C. Berg,
diterjemahkan S. Gunawan, Penulisan Sejarah Jawa, Yogyakarta: Budaya
Karya, 1985, hlm. 93
[10] Sejak tahun
1554, tahun saka tidak dipakai lagi di Jawa. Tetapi praktek itu masih berlaku
dan dipakai di Bali untuk hitungan Sembilan (nawawara), kelemahan
Makhluk (paringkelan), wuku dan lain-lain. Sementara di Jawa
setelah dipadukan oleh Sultan Agung, kalender tersebut dipakai di Jawa dan
menjadi standar baru dalam penulisan sastra Jawa termasuk primbon di kalangan
masyarakat Jawa, para ahli kebudayaan hingga kini masih menggunakan petung
Jawa dan primbon. M. Hariwijaya, op. cit., hlm.
238
[11] Muhyiddin
Khazin, op. cit., hlm.188
[12] M. Hariwijaya, Islam
Kejawen, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006, hlm. 273
[13] Muhyiddin
Khazin, op. cit., hlm.188
[14] Ibid, hlm.
119
[15] Kesatuan
waktu windu dalam satu tahun ada 12 bulan, yaitu:”Kasa, Karo,
Ketelu, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa, Apit Lemah, Apit Kayu”.Jakob
Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Yogyakarta: CV. Qalam, 2002, hlm.
91
[16] Departeman
Pendidikan Nasional, op. cit., hlm 1122
[17] Badan Hisab
& Rukyat DEPAG, op. cit., hlm. 43
[18] H. Ilya Asyhari
Nawawi, op. cit., hlm. 21
No comments:
Post a Comment