Oleh:
Agus Miswanto, MA
[aktivis dakwah, Peminat Kajian Ilmu Hisab dan Keislaman]
1.1.1 Pengertian dan Istilah
Waktu dalam kehidupan manusia memberi
makna yang sangat berarti. Waktu dalam bahasa Inggris dikenal dengan times,
sementara dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-waqt, al-tarikh. Dan di
dalam al-qur’an, waktu disebut dengan beberapa istilah seperti al-‘Ashr (waktu
Ashar), al-Maghrib (waktu tenggelamnya matahari), al-Subh (waktu subuh),
al-Lail (waktu malam), an-Nahar (waktu siang), ad-dhuha (waktu pagi). Banyaknya penyebutan istilah waktu dalam al-qur’an
memberikan makna bahwa waktu itu sangat penting bagi manusia. Oleh karena itu,
sistem (pola) waktu menjadi hal yang sangat krusial dalam Islam, karena segala
aspek ibadah dalam Islam sangat erat kaitanya dengan waktu. Pola penetuan waktu
tersebut dikenal dengan penaggalan, tarikh, taqwim, dan lain-lain.
Penanggalan
berasal dari kata tanggal, yang berasal dari bahasa arab Tarikh (تاريح)
yang jama’nya tawarikh (تواريح).[1] Pada pengertian yang lain tanggal berarti kalender (takwim),[2] yang juga berarti
proses, cara, pembuatan penanggalan. Penanggalan berasal
dari kata tanggal yang mendapat imbuhan (pe dan an) yang memiliki arti
pembuatan, pembubuhan, perangkaian, penyusunan tanggal yang di dalamnya
terdapat jumlah tanggal, hari dan bulan.[3]
Jadi penanggalan secara umum sama seperti kalender maupun perhitungan atau
kumpulan tanggal-tanggal, hari-hari, serta bulan yang berada di dalamnya yaitu
terdapat dalam penanggalan tersebut. Kemudian secara istilah penanggalan
memiliki arti, yaitu: 1) Hari dalam bulan: bilangan yang menyatakan hari yang
ke berapa dalam bulan, 2) Perhitungan hari dalam bulan (Tarikh), dan 3)
Daftar hari dalam bulan serta pembubuhan tanggal.[4]
Dalam pengertian yang lain penanggalan adalah kalender yang memuat nama-nama bulan, nama-nama tanggal, nama-nama hari keagamaan, seperti yang terdapat dalam kalender Masehi.[5] Dan penanggalan yang didalamnya terdapat daftar hari dalam bulan, almanak dan takwim.[6] Jadi penanggalan juga berarti kalender, yang dipergunakan untuk perhitungan dalam menentukan hari-hari tertentu yang berkaitan dengan ibadah. Jadi pada zaman dahulu, penanggalan berarti pula sebuah tanda-tanda bagi umat manusia untuk melakukan hal-hal perting yang berkaitan dengan ibadah ataupun perkerjaan yang penting lainnya. Tak hanya itu, penanggalan juga menjadi pertanda dimulainya sebuah kebiasaan yang sudah melekat pada setiap manusia pada zaman dahulu, hal itu dikarenakan belum adanya urutan tanggal sebagaimana saat ini berlangsung. Jadi pada zaman dahulu hanya bisa mengingat dan menghafalkanya secara teliti dan menjadi begitu pentingnya penanggalan tersebut. Sehingga sampai saat ini penanggalan atau kalender dibuat secara detail dan menjadi acuan serta dasar bagi umat manusia dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah dan pekerjaan penting lainnya.
Pengkajian mengenai posisi-posisi geometris benda-benda langit guna menetukan penjadwalan waktu di muka bumi merupakan bagian dari apa yang dalam peradaban Islam disebut Ilmi Haiah yang menurut al-Mas’udi (w.364 H/957 M) merupakan padanan istilah Yunani ‘astronomi’. Ilmu Haiah (astronomi) sering juga disebut Imu Falak, namun istilah ilmu haiah dalam sejarah Islam lebih populer dan lebih banyak digunakan. Ini terbukti nila kita membuka Program al-Jami’ al-Kabir, misalnya, akan terlihat bahwa istilah ‘ilmu haiah’ disebut sebanyak 345 kali, sedangkan istilah ‘ilmu falak’ hanya 97 kali. Di zaman modern sekarang istilah ilmu haiah tenggelam dan hampir tidak terdengar lagi.
Ilmu Falak (astronomi/ilmu haiah) jauh lebih luas dari sekedar mempelajari posisi geomteris benda langit untuk tujuan praktis seperti penentuan waktu. Hal terkahir ini hanya satu bagian saja dari ilmu falak (astronomi) dan ulama-ulama zaman tengah menamakan yang terakhir ini ‘ilm al-mawaqit’(ilmu waktu). Al Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M) mendefiniskan ‘ilm al-mawaqit’ sebagai “salah satu cabang ilmu haiah (ilmu falak) yang mengkaji waktu-waktu ibadah dan penentuan arah kiblat dan semua arah lain serta kedudukan sutau tempat di muka bumi dari segi bujur dan lintangnya dengan melibatkan pengetahuan tentang langit serta ketinggian, peredaran, sinar dan bayangan kerucut benda langit”. Al-Qalqasyandi juga menyatakan bahwa ilmu waktu merupakan cabang ilmu falak (ilmu haiah) yang paling mulia kedudukannya dalam pandangan syariah. Sedangkan ilmu falak (ilmu haiah) dalam definisi ‘ulama-‘ulama zaman tengah adalah “suatu cabang pengetahuan yang mengkaji keadaan benda-benda langit dari segi bentuk, kadar, kualitas, posisi, dan gerak benda-benda langit”. Pada zaman modern, Muhammad Ahmad Sulaiman mendefinisikan ilmu falak sebagai “ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta berupa benda-benda langit diluar atmosfir bumi, seperti matahari, Bulan, bintang, system galaksi, planet, satelit, komet, dan meteor dari segi asal-usul, gerak, fisik, dan kimianya dengan menggunakan hukum-hukum matematika, fisika, kimia dan bahkan biologi”. Oleh karena itu untuk membedakan ilmu falak dalam arti astronomi dengan ilmu falak khusus mengkaji gerak matahari dan bulan untuk menetukan waktu-waktu ibadah dan arah kiblat, maka ilmu falak yang terakhir ini disebut ilmu falak syar’i.
Ilmu falak syar’I terkadang disebut juga dengan ilmu hisab. Hanya saja penamaan ilmu hisab ini populer di kalangan beberapa fukaha. Sesungguhnya dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam secara umum, terutama di lingkungan para pengkaji sains Islam di masa lampau, ilmu hisab bukan ilmu falak, melainkan adalah ilmu hitung (aritmatika), yaitu suatu cabang pengetahuan yang mengkaji tentang bilangan melalui penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan seterusnya serta penggunaannya untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak ‘ulama fiqh menggunakan ilmu ini untuk melakukan perhitungan faraid dan wasiat. Dalam beberapa Kitab Fiqh besar, seperti az-Zakhirah karya al-Qarafi (w. 684 H/1285 M), ilmu hisab dijadikan satu pembahasan panjang sebagai sarana untuk kepentingan perhitungan pembagian warisan. Para ahli hisab pun juga memanfaatkan teori-teori aritmatika ini untuk kepentingan perhitungan hisab astronomi. Itulah mengapa dengan mudah kemudian ilmu falak (astronomi) diasosiasikan dengan ilmu hisab. Di Indonesia pun juga ilmu falak syar’I sering disebut ilmu hisab.
1.1.2
Sejarah
Orang yang pertama kali menemukan ilmu Hisab
atau astronomi yakni Nabi Idris. Tampak
bahwa wacana persoalan Hisab Rukyah sudah ada sejak waktu itu, atau
bahkan lebih awal dari itu,[7] yang kemudian sering disebut sebagai
peletak dasar prinsip penanggalan. Keterangan ini paling
tidak bisa
ditemukan dalam muqadimah kitab-kitab Falak. Selanjutnya di masa Islam
kemunculan ilmu falak memang belum mashur di kalangan
umat Islam walaupun sebenarnya ada juga di antara mereka yang mahir dalam perhitungan.[8]
Secara formal, perhitungan tahun hijriyyah ditetapkan seiring dengan penetapan hijrahnya Nabi sebagai dasar kalender Hijriyyah yang dilakukan Umar Bin Khattab. Tahun pertama ialah tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah, 1 Muharrom pada waktu itu bertepatan pada hari Kamis Kliwon tanggal 15 Juli 622 M.[9] Dan sejarah mencatat bahwa Daulah Abbasiyah memiliki kontribusi besar bagi pengembangan ilmu astronomi. Ini bisa dilihat seperti dalam upaya menterjemahan kitab Sindihind dari India. Sementara pada masa khalifah Al-Makmun terdapat tumbuhnya ilmu Hisab untuk penentuan waktu shalat, penentuan arah kiblat, gerhana matahari, awal bulam Qamariyyah serta lahirnya para ahli-ahli falak seperti Al-Farghani, Abu Ali Al-Hasan,[10]
Sejak zaman kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, umat Islam sudah terlibat dalam pemikiran Hisab, yang ditandai dengan penggunaan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi.[11] Setelah adanya penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pergeseran penggunaan kalender resmi pemerintah. Semula kelender Hijriyah diubah menjadi kalender Masehi.[12] Meskipun demikian umat Islam masih tetap menggunakan kalender Hijriyah terutama di daerah kerajaan-kerajaan Islam yang bertujuan untuk menetapkan hari-hari yang berkaitan dengan persoalan ibadah seperti tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijjah.[13] Untuk keperluan transaksi serta keperluan perencanaan anggaran negara serta keperluan sehari-hari lainnya dan keperluan ibadah umat Islam, di Indonesia menggunakan dua macam kalender itu.
[1] Asad M.
Alkhalali, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Bulan Bintang, 2007, hlm. 543
[2] W.J.S
Poerwardarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976,
hlm. 511
[3] L. Mardi
Warsito, Kamus Jawa Kuno Indonesia, Jakarta: Nusa Indah, 1978, hlm. 583
[4] W.J.S
Poerwardarminta, op. cit., hlm. 1203
[5] Tahun (kalender)
yang dimilai sejak kelahiran Isa Almasih terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm.
1122
[6] W.J.S
Poerwardarminta, op. cit., hlm. 863
[7] Ahmad Izzuddin,
Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta: Erlangga, 2007, hlm. 47
[8] Ahmad Izzuddin,
Ilmu Falak Praktis, Semarang: Komala Grafika, 2006, hlm. 8-9
[9] Ibid, hlm.
21
[10] Ibid.,
[11]Badan Hisab
& Rukyat DEPAG RI, Almanak Hisab Rukyah, Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, hlm. 22
[12]Kalender Miladiyyah termasuk dalam kalender Syamsiyyah
(Matahari), dan kalender yang dipergunakan sekarang adalah kalender Syamsiyyah
Gregorian, kalender matahari yang telah di reformasi pada tanggal 15 Oktober
1582 oleh Paulus Gregorius XIII. Kalender Miladiyah ini dimulai dari
tahun kelahiran Nabi Isa As, yaitu tanggal 1 Januari
tahun 1 Masehi jatuh pada hari Sabtu Kliwon. Dan kalender ini
mulai digunakan pada tahun 527
Masehi.
[13]Susiknan Azhari,
Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia, Jakarta: Pustaka Pelajar,
2002, hlm. 9-10.
No comments:
Post a Comment